Just a Thought


The lights reveals as I walk into the dawn
Dreaming of glory back in the Old Town
Where my mind keeps wallowing
You take a beautiful thing
Pull off my broken paralyzed wings
There will be no more drowning

Dirty Dice


Jika biasanya aku hanya butuh waktu satu bulan untuk menyelesaikan screenplay sampai dengan draft ketiga, sudah hampir 2 minggu screenplay-ku masih berupa raw material yang belum kelihatan ‘warna’nya. Payah! Salahku juga kenapa aku memaksa Padma ikut dalam project ini. Dari awal sudah kusadari bahwa nantinya pasti bakal repot. Mendengarkannya berteori kesana kemari.
Banyak hal yang aku pertaruhkan ketika memutuskan untuk ‘mengontrak’nya menjadi co-scriptwriterku, termasuk menghapus Ale dari list credit title. Maklum jika nantinya mungkin Ale akan membenciku seumur hidup. Tidak ada yang immortal di dunia ini. Yang pasti aku yakini hanya kematian dan kelahiran. Segala yang ada diantaranya pasti berubah.
Film terbaruku, Biru Hari Suri, adalah sebuah film bergenre surealis. Bercerita tentang perjuangan seorang musisi wanita yang sedang menjalani pemulihan adiksi terhadap narkoba. Bagaimana beratnya berperang melawan dirinya sendiri sekaligus menghadapi rumitnya permasalahan psiko-sosialnya sebagai istri, ibu, dan anggota masyarakat. Porsi monolog interpersonal akan lebih banyak dalam film yang berdurasi tidak lebih dari 20 menit ini. Karena tujuan utama pembuatan film ini tidak lain untuk menunjukkan sebuah penyakit otak yang disebut adiksi dan penderitaan yang diakibatkannya. Settingnya kuambil di Yogyakarta, kota yang katanya damai itu.

Myth by Keane

I heard many songs and lyrics, but today, this song is such a coolest and gloomiest kind. Myth by Keane. Check this one out!
://www.youtube.com/watch?v=K64_KdHdpdE

The Journey

Aku tidak pernah merasa seputus asa saat ini menjalani duniaku. Mungkin ini adalah titik dimana aku kehilangan keyakinan yang selama ini aku imani. Ketika aku hanya dapat berkata dalam hati bahwa, baiklah ini adalah perjalananku, pencarian kedamaian dan sekaligus spiritualitas. Harus aku akui bahwa selama ini aku hidup dalam konstruksi normativitas. Di satu sisi, aku menemukan sebuah eksplanasi bahwa ini adalah caraku untuk melalui persimpangan dan pergesekan yang harus kukompromikan setiap waktu. Jalan hidupku yang baru, yang baru aku pilih.

Nangkring Nang Angkringan



Satu lagi ‘budaya’ yang tidak bisa dilepaskan dari Jogja. Ngangkring, alias makan di angkringan. Beberapa waktu lalu, aku dikunjungi oleh salah satu teman dari Jakarta. Setelah lama muter-muter di Togamas Gejayan, akhirnya kami kelaparan dan dia mengajakku mampir ke Hoka-hoka Bento Jakal. Aku tersenyum geli, karena terakhir kali aku makan masakan Hokben ketika semester akhir kuliah bersama Kadek, Meiza, dan Luci. OMG, hampir 2 tahun yang lalu. Walaupun aku suka makan makanan Jepang, tapi kalau Hokben, kayaknya aku pikir-pikir lagi. Bukan karena harganya, tapi rasa makanannya kurang nJepang aja
.

Berburu Gado Gado



Alohaaa!!!
Mei udah diujung tanduk, dan aku masih belum menyetorkan tulisan sama sekali pada blog kesayanganku ini. :D
Hari ini aku ingin sharing tentang... Gado-gado. Yes, gado-gado.
Salah satu makanan favoritku selain pecel tentunya. Sepertinya aku memang memiliki kencenderungan mencintai makanan berbumbu kacang: siomay, batagor, sate, rujak, tahu tek-tek, dan gado-gado. Apalagi?. Di Jogya, gado-gado memiliki 2 versi: lotek vs gado-gado. Mungkin mirip dengan rujak vs campur (semacam rujak yang sayurnya dikurangi dan ditambah dengan krupuk mie...semoga kalian tidak bingung membayangkannya). Jangan tanya gimana rasanya lotek, karena sampai sekarang aku masih belum sempat mencobanya. Tapi kata beberapa teman, lotek rasanya mirip gado-gado hanya saja porsi sayurannya lebih banyak.

Iris

Bingkai II
Sang Penikmat Jaman

Membuat film itu adalah panggilan jiwa. Karena bagiku, menjadi sutradara lebih merupakan sebuah jalan hidup dari pada suatu pencapaian. Memulai belajar memaknai kehidupan sekaligus bereksperimen. Naif jika seorang sutradara hanya mampu menggambarkan sebuah realitas berdasarkan mimpi atau imajinasinya saja. Menjadi sutradara artinya berani mengalami, termasuk mencoba pengalaman yang paling ekstrem sekalipun. Bagaimana bisa menggambarkan dengan sempurna pedihnya ditinggalkan seorang kekasih jika belum pernah merasakan jatuh cinta dan patah hati. Tapi, untuk memvisualisasikan kematian, tidak harus mati lebih dulu. Tapi, sutradara harus menjadi orang yang serba tahu, serba bisa, karena dia satu-satunya yang berkuasa mengeksekusi sebuah film. Jadi, untuk menjadi sutradara, eksperimen itu mutlak.

Iris

Bingkai I
Ketika Surga itu Konon


Ini adalah kali keduaku memasuki studio RTV, dan aku diundang untuk menjadi salah satu bintang tamu di sebuah talkshow, FRAME!. Kumasuki sebuah ruangan besar dengan deretan kursi yang di atur sedemikian rupa, panggung dengan konsep minimalis elegan, sebuah sofa putih, backdrop abstrak berwarna hitam, tidak terlalu banyak detil, hanya dua buah furniture bergaya kontemporer yang menjadi pelengkap blocking-stage.
“Mas Wishnu ya? Silakan masuk mas, sudah ditunggu” seorang kru menyapaku. Kemudian menunjukkan sebuah ruangan lain yang terletak di belakang panggung.

Dunia Kecilku di Yogyakarta


Tidak ada yang istimewa disini. Kamarku berukuran 3x3m dengan kamar mandi di dalam. Furniture seadanya, satu-satunya barang yang wajib ada di kamarku adalah stereo-set. Tidak perlu ada kulkas atau saluran TV kabel, yang penting bisa mendengarkan musik. Hooo... really, I can’t live the day without listening to the music. Kamarku berada di lantai dua, dengan akses langsung ke udara terbuka, karena memang arsitektur bangunan di sini dibuat terbuka, sehingga akses matahari langsung dapat dinikmati. Alhamdulillah. Setiap pagi hari bisa menghirup udara Kaliurang yang sejuk. Penghuni kost ini sekitar 25 orang, kebanyakan dari mereka adalah mahasiswa UII, sebagian lagi mahasiswa UGM dan karyawan. Aku tidak begitu mengenal teman-temanku disini, hanya beberapa saja yang sering kusapa ketika berpapasan di parkiran. Mereka sibuk dengan urusan dan teman masing-masing. Terlebih lagi, karena di kamar mereka sudah tersedia fasilitas lengkap, jadi tidak perlu merepotkan orang lain. Mahasiswa jaman sekarang.

Indomie dan Generasi Gadget

Aku belum sempat mengamati secara mendalam bagaimana mahasiswa jaman sekarang bergaul, tapi dari beberapa teman yang pernah sharing, dapat aku simpulkan bahwa mentalitas orang muda saat ini lebih fragile dibanding generasi sebelumnya. Harus diakui, generasi tahun 90an sampai dengan awal 2000 merupakan generasi-generasi non-gadget freak. Dijaman itu handphone masih monophonic dan tidak bisa internetan, layarnya masih kuning jeruk, tidak ada Blackberry, Facebook, dan Twitter. SMS pun masih jarang, karena hanya sebagian orang saja yang menggunakan handphone. Pola-pola komunikasi pun masih relatif tidak berubah. Konsumsi informasi ini lah yang kemudian membangun konstruksi preference dan persepsi publik secara umum. Kami tidak overwhelmed dengan beragam informasi dan resorces diluar sana. Jadi ketika kami mendapatkan informasi yang tidak layak, misalnya tentang pornografi atau kekerasan, kami lebih siap karena frekuensinya tidak bertubi-tubi. Selain itu kami lebih steady karena kami bukan generasi Indomie yang semuanya serba instan. Contoh paling mudah adalah: untuk membuat sebuah tugas paper kuliah, kami harus jalan kaki dulu ke warnet untuk mencari bahan, kemudian jalan kaki lagi ke rental untuk mengetik, ngeprint, baru kemudian dijilid. Kini jaman telah berubah, take-home assignment sekarang ini kebanyakan sudah paperless!

Primanet, Thanks for Saving My Boring Day

Entah apa jadinya jika saya tidak menemukan tempat yang satu ini. Boleh dibilang, tempat ini menjadi salah satu tempat pelarian saya di Yogya. Kenapa?
THIS is not an ordinary warnet sodara sodara...
Tempat ini merupakan referensi dari Sabti, teman kerja saya yang juga movie bugs. Beberapa waktu yang lalu saya agak keki juga kalo weekend males ngapa-ngapain di kosan, apalagi sekarang musim hujan, mau keluar juga males kan? Akhirnya sebelum weekend tiba, saya selalu hunting film ataupun drama untuk bekal weekend lengkap dengan timbunan logistik. Alhamdulillah, Sabti menunjukkan tempat yang tepat ketika saya galau. Perfetto!

Mencicipi Ramen Dinasti Han

Wisata kuliner saya kali ini adalah mencoba menikmati ramen di salah satu warung ramen yang lumayan laris di Yogya, namanya Nikkou.
Banyak yang tidak tahu bahwa ramen merupakan makanan khas yang berasal dari Cina, dan kemudian menjadi sangat populer di Jepang. Karena memang Jepang-lah yang telah mere-branding ramen dengan ‘kemasan’ baru.

Bernostalgia dengan Backstreet Boys


Halo!
Apakabar Aprilmu? Yogyakarta mulai hujan lagi, dan unpredictable. Well yes, seperti hari ini juga. Tidak banyak aktivitas di kantor, hanya mengirimkan e-mail, mengecek beberapa pekerjaan, dan berbincang santai dengan teman sekantor. Hmm... sedari kemarin saya sedang ingin bernostalgia dengan lagu-lagu lama. Lagu-lagu tahun 90an dan awal 2000an. Salah satunya adalah Backstreet Boys (BSB). BSB, agak telat juga kalau saya suka sama boyband yang asal Amerika ini, karena dulunya saya bukan penggemar mereka.

Back to You

Saya membuka tulisan ini dengan sedikit curhat dan update dari beberapa pengalaman saya menjadi warga baru di salah satu daerah spesial di Indonesia, Daerah Istimewa Yogyakarta.
Terhitung awal bulan Desember 2012 secara de-facto saya meninggalkan Surabaya, kota yang telah mengajarkan saya banyak hal, tentang hidup...
Saya jadi berpikir bahwa takdir itu diawali dari sebuah 'kebetulan' dan terjadi saat injury time...dimana saat kita tidak memiliki banyak waktu untuk berpikir atau mempertimbangkan sebuah keputusan dalam hidup kita. Take it or leave it...