Alohaaa!!!
Mei udah diujung tanduk, dan aku masih belum
menyetorkan tulisan sama sekali pada blog kesayanganku ini. :D
Hari ini aku ingin sharing tentang...
Gado-gado. Yes, gado-gado.
Salah satu makanan favoritku selain pecel
tentunya. Sepertinya aku memang memiliki kencenderungan mencintai makanan
berbumbu kacang: siomay, batagor, sate, rujak, tahu tek-tek, dan gado-gado.
Apalagi?. Di Jogya, gado-gado memiliki 2 versi: lotek vs gado-gado. Mungkin
mirip dengan rujak vs campur (semacam rujak yang sayurnya dikurangi dan
ditambah dengan krupuk mie...semoga kalian tidak bingung membayangkannya). Jangan
tanya gimana rasanya lotek, karena sampai sekarang aku masih belum sempat
mencobanya. Tapi kata beberapa teman, lotek rasanya mirip gado-gado hanya saja porsi
sayurannya lebih banyak.
Ah, jadi inget gado-gado terenak di Surabaya,
Handayani! Serius, gado-gado Handayani adalah gado-gado paling haujiek yang
pernah aku santap. Porsinya juga mantap, walaupun harganya agak relatif mahal,
12 rebu per porsi. Ono bondo ono rupo, rek.
Beberapa waktu yang lalu, Kiki, temen kosku,
pernah mengajakku makan gado-gado di sekitar jalan Sagan. Namanya gado-gado bu
Bagyo, katanya sih enak, dan terkenal pula. Warungnya biasa-biasa aja, tapi
pengunjungnya seolah nggak pernah sepi. Setelah mengambil posisi PW, aku pesan
seporsi gado-gado, sementara Kiki memesan lotek. Pas, nanti aku bisa nyicip
rasanya lotek gimana. Hehehe.
Lumayan lama juga mengantri dan menunggu
santapan kami datang, Kiki bilang kalau bumbunya masih diuleg, nggak pake bumbu
instan gitu. Oh, baiklah. Semoga penantian kami sebanding dengan rasa. 20 menitan
manyun, akhirnya pesanan kami datang. Porsinya tidak terlalu banyak, standar
lah untuk harga 10 ribu rupiah per piring. Kalau soal rasa, jujur saja masih
kalah sama Handayani. Kalau masih ada makanan lain, mungkin aku akan memilih
makan penyet atau nasi goreng saja. Intinya, aku nggak akan balik kesana
lagi. Hehe.
Masih sama Kiki, beberapa hari kemudian, aku
diajak makan gado-gado lagi. Kali ini di dekat perempatan lampu merah UGM.
Jakal km 4,5 an, hanya beberapa meter dari bengkel Si Tepat. Ibu penjual
gado-gadonya seorang keturunan Tionghoa. Tante, gitu kemudian aku memanggilnya.
Lotek, SGPC, Gado-gado, aku membaca stiker yang menempel pada gerobag warna
hijau. Kami berdua sama-sama memesan sepiring gado-gado. Dan waaaaahhhh....
rasanya pas banget sama lidahku. Manis. Rasanya beda banget dengan gado-gado
Jawa Timuran or Suroboyo yang bumbunya cenderung berwarna pucat dan rasanya
gurih. Kalau gado-gado ini seperti bumbu sate, :D, cuman nggak pake irisan bawang
dan petis. 8 ribu saja udah bisa nikmatin gado-gado komplit versi Jogja:
ketupat, sayur mayur, telor bulet, dan gorengan (bakwan). Ya baru di Jogja
inilah aku tahu kalau gado-gado itu ditambahi sejenis bakwan, kentangnya
goreng, bumbunya berwarna coklat kehitaman dan aku tidak menemukan seladaaaa...
Aku juga udah nyoba gado-gado di FTP UGM,
rasanya masih lebih ‘menggigit’ gado-gado si Tante. Gado-gado lampu merah UGM
sepertinya masih top number one untuk referensi. Dalam satu minggu, akan selalu
ada 1 atau 2 hari aku mampir untuk membeli sarapan disana.
0 komentar:
Posting Komentar