Bingkai I
Ketika Surga itu Konon
Ini adalah kali
keduaku memasuki studio RTV, dan aku diundang untuk menjadi salah satu bintang tamu di
sebuah talkshow, FRAME!. Kumasuki
sebuah ruangan besar dengan deretan kursi yang di atur sedemikian rupa,
panggung dengan konsep minimalis elegan, sebuah sofa putih, backdrop abstrak
berwarna hitam, tidak terlalu banyak detil, hanya dua buah furniture bergaya
kontemporer yang menjadi pelengkap blocking-stage.
“Mas Wishnu ya? Silakan masuk mas, sudah
ditunggu” seorang kru menyapaku. Kemudian
menunjukkan sebuah ruangan lain yang terletak di belakang panggung.
Wangi pengharum
ruangan beraroma lavender lembut menyesap hidungku. Ruangan ini tidak terlalu
luas, hanya ada sebuah meja bundar dan 4 buah kursi mengelilinginya. Seorang perempuan muda mempersilakanku masuk.
“Selamat siang,
saya Padma, silakan duduk”
Kutaksir usianya
kisaran antara 26 sampai 28 tahunan. Dilihat dari penampilannya, ia presenter berita,
sepertinya. Ia menyalamiku.
“Sebelum on-air,
kita briefing dulu ya mas Wishnu”
Kemudian ia mengambil
pulpen dan membetulkan posisi duduknya. Tepat berseberangan denganku. Blus warna hijau muda, celana bahan warna
abu-abu, rambut sebahu, berombak, tanpa kacamata, tinggi sekitar 168, tidak
sampai 170 senti meter, 50 kilo gram, bermata hitam, kulit kuning langsat. Tipikal
protagonis dengan karakter feminin yang sangat kuat.
Terus kuamati makhluk di depanku, seolah aku sedang melakukan casting untuk
talent film.
“Selama tiga
puluh menit nanti, saya akan menanyakan pertanyaan tentang film terbaru mas
Wishnu yang berjudul Ketika Surga itu Konon. Mulai dari ide dasar, risetnya,
produksi, sampai dengan post-produksinya”
Aku terhenyak karena tiba-tiba matanya membuyarkan ‘screening’ku.
“Oke” jawabku datar menyembunyikan kegugupanku.
“Mungkin saya juga akan mengembangkan
pertanyaan pada latar belakang anda sebagai seorang film director” tambahnya.
“Owh…”aku masih berusaha bersikap biasa, tanpa ekspresi.
“Ini script beberapa
pertanyaan yang nanti akan saya tanyakan”
Disodorkannya
selembar kertas yang ia pegang. Kubaca sekilas. Kuletakkan kembali.
“Bagaimana mas
Wishnu? Tidak keberatan bukan dengan pertanyaan-pertanyaan kami?”
Aku hanya
mengangkat bahu.
Hidupku memang
tidak bisa dipisahkan dari kamera. Tetapi menjadi seseorang yang berada di
depan kamera bukan hobi dan cita-citaku. Pada awalnya, talkshow ini kupikir hanya akan mengeksplor tentang produksi dan
tujuan pembuatan filmku, atau membantu menjadi media promosi, tapi ternyata
dugaanku salah. Walaupun aku tahu bahwa filmku akan mengundang kontroversi,
tetapi aku tidak menduga akan secepat itu. Apalagi menjadi pembahasan di dunia
media mainstream, televisi. Kuakui, aku tidak begitu menyukai media yang
bernama televisi, terutama televisi nasional, yang menurutku telah menjadi
media informasi yang ‘sesat’. Ya, karena selain banyak informasi yang tidak
benar, televisi harus patuh pada kitab rating yang standarnya juga tidak jelas.
Setelah satu jam
lamanya menjadi objek di acara talkshow itu, rasa-rasanya
seperti seribu tahun lamanya. Selain karena aku satu-satunya pria di acara itu,
ternyata si news anchor juga mengundang beberapa nara sumber lain yang berasal
dari berbagai latar belakang. Ada seorang ibu muda yang profesinya sebagai pengamat
pendidikan, satu lagi perempuan setengah baya mengakunya aktivis perempuan dan
anggota komnas perempuan, dan satu lagi, seorang perempuan pengamat industri
perfilman. Dua diantaranya sering kulihat laris di beberapa acara tivi. Singkat
kata, film-ku ditelanjangi dari banyak
sudut pandang. Peduli amat.
“Ini kartu nama
saya, silakan hubungi saya kapan saja jika mas Wishnu membutuhkan kami untuk karya-karya
selanjutnya” presenter itu menyodorkan kartu namanya.
Gayatri
Padmasari. News Anchor. Kubaca.
“Terimakasih” jawabku dan berlalu.
***
Sudah setengah
jam lebih aku hanya memandangi layar kosong monitor di depanku. Mataku pun juga
masih belum mau terpejam. Hampir jam setengah tujuh
pagi, gumamku. Dan aku belum memejamkan mata sejak semalam. Kuambil tetes mata
di sebelah cangkir kopiku. Kuteteskan beberapa kali pada kedua mataku.
Dan ah… aku menikmati kesejukan itu
beberapa detik.
“Halo” kuangkat
telepon genggamku yang berdering.
“Selamat pagi Wishnu, bukain pintu dong, kubawain sarapan niiiihh...”
Ah, kalau rejeki memang tidak akan kemana, Tuhan memang Maha Tahu. Aku
berdiri dan segera menuju pintu apartemen.
“Haaaaiiii...pasti kamu belum mandi kan? Mandi dulu sana, abis itu kita
sarapan” Perempuan ini bernama Tiara, aku memanggilnya Tia, seorang penari dan
artis. Kami mulai dekat semenjak pembuatan filmku Ketika Surga itu Konon. Dan
kedekatan itu semakin intens beberapa minggu belakangan ini.
Tanpa kuminta persetujuan, kubuka kotak makan dari sterofoam yang
ditaruhnya, dan bubur ayam yang masih panas itu pun langsung kusantap.
“Pagi tadi Hans BBM aku, dia minta kita meeting jam 9 di tempat biasa, udah
tau kan?” Dia mengambil kursi dan duduk disebelahku. Matanya yang dipoles
eye-shadow warna jingga segar itu memandangiku.
Aku menggeleng, tanpa kuhiraukan. Ia kemudian menghela nafas, sepertinya ia
sedang mencari-cari sesuatu.
“BB-ku mati” akhirnya kujawab
“Tapi bisa kan?, kalo kamu capek, biar aku yang nyetir... oke?” Ditaruhnya
segelas air putih disamping kotak makananku. Kembali mata itu menatapku tanpa berkedip,
menunggu persetujuanku.
Tak kuhiraukan. Terus ku selesaikan suapan demi suapan bubur ayam di
hadapanku.
Aku kadang heran dengan perempuan yang satu ini. Sudah terlalu sering dia
membawakanku sarapan, atau sekedar membereskan apartemenku yang tidak pernah
rapi. Disela-sela jadwalnya yang padat, masih juga dia menyempatkan diri untuk
meneleponku, menanyakan hal-hal yang menurutku tidak penting.
“Nanti setelah mandi aku putuskan”
Kuambil handuk dan segera menuju kamar mandi.
***
“I say you don’t show, don’t move. This time is slow. I say...take me out.”
aku bersenandung lirik Take me Out-nya Franz Ferdinand dari CD yang kuputar.
Kulihat Tia hanya tersenyum simpul dibalik kemudi dan kacamata hitamnya. Harus
kuakui, dia memang cantik, seksi, dan mempesona dengan lipstik nude-pink yang
memoles bibir tipisnya. Aku sempat menanyakan padanya mengapa dia tertarik
bermain di filmku, padahal bayarannya tidak seberapa jika dibandingkan dengan
tawaran sinetron stripping dari beberapa stasiun tivi swasta. Dia hanya
tersenyum dan mengatakan bahwa ingin membantuku menciptakan karya terbaik. Aku
tidak mengerti apa maksudnya, tapi yang pasti, berkat aktingnya pula filmku
menjadi salah satu nominator di festival film bergengsi di Amerika. Tidak salah
aku mengajaknya bermain dalam filmku. Kamu memang sangat menjual, Tiara Amaris.
Aku pun tersenyum.
“If I move this could die. If eyes move this could die. I want you...to
take me out”
Tak seperti biasanya, jalanan ini relatif lengang, padahal rush-hour. Tia
melajukan kendaraannya sangat santai dan nyaman. Selain seorang artis yang
bagus, ternyata ia juga seorang pengendara yang piawai, batinku.
“Then, apa materi roadshownya sudah jadi?” lampu traffic light menyala
merah.Tia meghentikan laju kendaraannya dan membuka pembicaraan.
“Belum”
“Gimana dong, padahal hari ini Hans ingin kamu preview agenda dan teknis
pelaksanaanya, karena lusa dia akan berangkat ke L.A. Makanya dia meminta kita
meeting siang ini”
“Kan bisa die-mail” kuselonjorkan kakiku dan merendahkan sandaran kursiku.
“Baca e-mail dan ngobrol face-to-face itu beda, Wishnu... Diskusi face
to-face itu lebih clear daripada surat-suratan”
“Hans kan bisa pake Skype, ya kecuali dia gaptek”
“Aaaahh...bukan masalah gaptek atau tidak. Kurasa Hans punya akun skype,
tetapi dia ingin kamu presentasi dan ngobrolin ini secara langsung, tidak lewat
internet. Hans selalu menanyakan kapan kamu akan mempresentasikannya, dan kamu
selalu menunda-nundanya. Jangan-jangan kamu belum memikirkan ide promosi sama
sekali ya?”
“Sutradara yang memproduksi film tanpa memikirkan post produksi, itu
namanya sutradara bodoh” jawabku cuek
“Lantas? Kenapa tidak kamu share jauh-jauh hari? Kita ini tim. Kita juga
harus tahu rencana kamu kedepannya. Setahuku, ketika aku main film, dari awal
si sutradara selalu ngasi tahu timeschedule mulai dari pra produksi sampai post
produksi pada semua krunya, termasuk kepada kami, para pemain”
“Ya bagus itu”
“Nah... kenapa kamu tidak melakukan hal yang sama seperti mereka”
“Ya karena aku berbeda dengan mereka”
“Oh my God, Wishnu... itu etika. Cara kerja, tanggung jawab yang seharusnya
dilakukan oleh seorang film director. Nggak bisa dong kamu bikin rencana
dadakan dan merubah-rubah rencana seenaknya. Kita kan juga punya kerjaan lain
yang musti kita sinkronkan dengan kerjaanmu” ujar Tia dengan nada yang mulai
meninggi
“Mereka itu hanya membuat film terlihat bagus. Film yang terlihat bagus itu
banyak, nyampah, tapi film yang luar biasa itu legend” tukasku
Tia menatapku, kubalas menatapnya.
“Whatever!!!” kemudian ia menginjak
pedal gas kuat-kuat.
Kenapa perempuan ini sangat emosional, apa ada yang salah dengan
pernyataanku. Kurasa aku menjawabnya dengan benar, aku juga tidak menyinggung
perasaannya. Jika dia menginginkan aku harus berdiskusi face-to-face dengan
Hans, sedangkan Hans harus berangkat ke luar negeri, menurutku bukan masalah
besar jika berdiskusi melalui internet. Kenapa harus dipersoalkan?
Hans adalah produser filmku. Aku tidak begitu mengenalnya secara personal.
Yang aku tahu, dia pebisnis yang kaya, jaringannya luas. Sejauh ini kami masih
bekerjasama di satu judul film. Jika sebelum-sebelumnya aku lebih banyak
menggunakan dana pribadiku untuk membiayai proyek filmku. Kini aku mencoba
berkolaborasi dengan produser profesional untuk mendukung karyaku. Aku
bersyukur, ini adalah film pertamaku yang mampu masuk screening Sundance Film
Festival di Amerika. Setelah belasan tahun hanya mampu menjadi macan di kandang
sendiri, kini karyaku bisa dinikmati khalayak internasional.
“Kupikir kau tak jadi datang, bro” Hans menyalamiku dan mempersilakanku
duduk
“Maaf, kami terlambat pak bos” Tia merespon
Kami bertiga kemudian duduk melingkari meja.
“Kamu pesan apa, Wis?” Tia menyodorkan daftar menu
“Kopi”
“Espresso apa Latte”
“Apa aja, yang penting ada kopinya” jawabku tanpa mengamati daftar yang ada
di hadapanku.
“Untuk promo, aku sudah menyiapkan rencana, karena beberapa kolegaku sudah
menanyakan tentang premier Ketika Surga itu Konon, aku ingin membuat publikasi
besar-besaran di media. Kebetulan aku punya banyak kenalan orang tivi dan surat
kabar. Dananya memang tidak sedikit, tapi aku optimis, respon masyarakat pasti
positif dengan peluncuran film ini. Nih coba baca rundown-nya” Hans menyodorkan
tabletnya padaku. Kubaca layar demi layar.
“Terlalu ordinary, aku butuh yang tidak biasa” kukembalikan tablet itu
padanya
“Yang tidak biasa itu yang gimana? Apa menurutmu kurang spektakuler?” tanya
Hans penasaran
“Roadshow ke kota-kota dengan mengundang wartawan tivi, itu cara kuno, cara
mainstream, aku tidak mau film-ku dijual dengan cara yang dangkal seperti itu”
jawabku datar
“Maksudmu?” Hans semakin penasaran
“Sepertinya aku harus mengajarimu bagaimana membangun brand. Bukan cuma
barang saja yang harus dibranding, film juga butuh branding. Aku tidak mau
karyaku dibranding dengan cara-cara yang kebanyakan orang lakukan”
“Aaaahh...aku tak paham apa yang kau maksud, Wishnu” dahi Hans mengernyit
“Aku paham kenapa kau tidak mengerti, karena yang kau tahu hanya bagaimana
mendapatkan profit yang sebanyak-banyaknya” kusesap kopi panas dihadapanku
Aku tahu Hans mendongkol karena aku tidak memberikan penjelasan yang
memuaskan. Raut mukanya berubah, mungkin juga dia tersinggung dengan kalimatku.
No problem. Dalam sebuah kerjasama, memang harus saling adaptasi dan pengertian
terhadap karakter masing-masing.
Handphone-ku berbunyi. Sebuah pesan baru.
“Selamat siang mas Wishnu, malam ini ada waktu? Bisa kita ngobrol? –Padma”
News anchor itu rupanya. Ada perlu apalagi dia. Apa masih kurang puas
dengan wawancara on-air kemarin lusa?.
“Materi promonya akan aku buat, setelah itu aku kirim via email” aku
membuka kembali pembicaraan
“Baiklah, akan aku pelajari” jawab Hans ketus, tanpa memandangku.
Aku tidak kaget jika Hans marah atau sebal dengan sikapku. Karena dia bukan
orang pertama yang mengalaminya. Banyak yang bilang aku ini orangnya
menyebalkan, menjengkelkan, arogan, dan yang jelek-jelek. Bagiku, like and
dislike, lover and hater, itu biasa. Soekarno saja yang memiliki jasa luar
biasa pada kemerdekaan Indonesia ternyata masih memiliki banyak musuh. Aku
hanya ingin mengungkapkan apa yang ada dipikiranku sama dengan apa yang aku
rasakan. Jika itu menyakitkan bagi orang lain, anggap saja itu harga yang harus
aku bayar.
Usai dari pertemuan dengan Hans siang itu, Tia mengantarku ke workshop. Aku
memiliki mini studio sekaligus production house untuk membuat film dan beberapa
iklan. Intuisi Production. Hampir 50 film dan puluhan iklan layanan masyarakat aku
buat secara independen di studio ini, sebagian besar adalah proyek pribadiku. Aku
tidak memiliki banyak personil, hanya 4 orang yang aku hire-sebagai kru tetap,
selebihnya adalah teman-temanku yang aku kontrak per project. Kru tetap
tersebut yang mengerjakan pekerjaan-pekerjaan rutin, antara lain administrasi
dan keuangan, marketing, art/creative director, dan maintenance peralatan.
Intuisi adalah duniaku, tempat dimana aku menuangkan segala kegelisahan yang
aku rasakan. Melalui film aku menyuarakan suara yang tidak bisa bersuara. Isu-isu
yang dianggap tabu, terlarang, dan tidak pantas di masyarakat. Aku tidak
berjuang sendirian, karena aku telah mengembangkan jaringan pada
komunitas-komunitas serta mahasiswa yang memang memiliki ketertarikan pada
isu-isu sosial. Mereka inilah yang mendukungku, membantuku melahirkan ide,
sampai pada tahap eksekusi. Aku bisa berjam-jam, bahkan berhari-hari berada di
sini. Mungkin hanya hantu di pohon mangga di depan studioku yang bisa menyaingi
eksistensiku di ruangan yang mirip dengan gudang atau bengkel.
“Erika, tolong kontak koordinator-koordinator komunitas dan LSM yang pernah
bekerjasama dengan kita. Infokan kepada mereka, besok malam kita meeting
disini. Sekalian panggilkan Edo untuk ke ruanganku ya. Trims.” Pintaku pada
Erika, salah satu partnerku yang multitasking: admin merangkap finance sekaligus
sekretaris. Dia juga yang mengurus hal-hal kecil teman-teman lainnya mulai dari
kasbon sampai dengan logistik.
Sedangkan Edo adalah seorang yang aku percaya sebagai penata artistik di
film-filmku, merangkap desainer kreatif, dan kadang aku tugaskan sebagai
koordinator pra produksi. Perkawanan kami termasuk awet, walaupun Edo tidak
terlibat langsung berdirinya Intuisi, tetapi dia memberikan kontribusi yang
cukup besar bagi perjalanan Intuisi pada tahun-tahun selanjutnya. Banyak yang
bilang, sikap low-profile-nya lah yang menyeimbangkan hubungan kami. Mungkin
saja. Memang, aku akui, tidak pernah sekalipun aku mendengar Edo mengeluhkan
atau membantah setiap keputusanku. Ya memang begitu seharusnya.
Setelah kami berdiskusi panjang, aku pun kembali berjibaku dengan layar
datar di hadapanku. Kurasakan mataku sangat berat, rasa kantuk yang tidak bisa
kutahan lagi. Entah harus minum berapa cangkir kopi lagi untuk membuat mataku
berkompromi. Dan aku baru ingat jika aku belum tidur sama sekali sejak kemarin.
“Mas, ada yang cari... aku suruh masuk atau disuruh tunggu diluar?” Suara
Erika membuyarkan kantukku seketika.
“Suruh kesini aja, sekalian aku minta kopi lagi ya...”
“Oke mas” Erika berlalu dari pintu
Aku bergegas menuju wastafel yang tidak jauh dari meja kerjaku. Kubasuh
wajah dan rambutku, berharap kantuk ini lenyap.
“Permisi...” kudengar suara dari pintu ruanganku
“Hai...masuk...”kupersilakan ia masuk
“Apa aku datang di saat yang tidak tepat?” Ia masih ragu untuk memasuki
ruanganku yang amburadul
“Oh...enggak...enggak juga, silakan duduk” Kutarik kursi di sebelahku
“Thanks Mas”
“Ada kepentingan apa, Padma?” tanyaku to the point. Karena aku memang tidak
pandai berbasa basi.
“Hanya ingin ngobrol, boleh?” jawabnya seraya tersenyum.
“Tentang?” tanyaku
“Apa saja, terutama tentang film-film mas Wishnu. Setelah kita mengundang
anda sebagai bintang tamu di FRAME!, aku browsing tentang film-film anda dan
mengumpulkan informasi tentang anda juga, karena ada beberapa hal yang menarik
perhatianku, maka aku ingin mendapatkan klarifikasi langsung dari anda”
tuturnya
“Begitu ya?” jawabku datar
“Keberatan?” Ia mencondongkan wajahnya. Perempuan ini tipikal pengejar,
batinku.
“Kenapa harus keberatan. Mungkin google lebih detil menjelaskan daripada
kamu tanya ke saya”
“Permisi, mas kopinya...” Erika muncul dari pintu
“Thanks, Rik. Oh ya, kamu minum teh atau kopi?” Kutawarkan minuman pada Padma
“Hehehe, air putih saja. Terimakasih” jawab Padma
“Aku juga Rik, minum air putih bisa jadi pilihan bijak” selorohku asal
Malam ini aku melihat Padma berbeda dari pertama kali ketika bertemu di
studio RTV beberapa waktu yang lalu. Dia terlihat lebih muda dengan balutan
denim dan t-shirt putih polos dan scarf warna merah marun senada dengan sepatu
flat yang ia kenakan. Rambutnya diikat kebelakang, tidak terlalu rapi, beberapa
helai rambut jatuh menutupi telinga dan lehernya yang jenjang. Tidak
bermake-up, tidak juga polesan lipstik. Sangat natural.
“Usiamu berapa, Padma?” tanyaku tiba-tiba.
“Eh?!” Padma terkejut mendengar pertanyaanku
“Usiamu berapa?” aku mengulang pertanyaanku
“Bagi sebagian orang, usia itu kadang menjadi fakta personal
lho...”responnya datar
“Kenapa? Ada yang salah dengan usia”
“Ya mungkin mereka tidak nyaman kalau orang lain tahu usia mereka”
“Malu kalau ketahuan sudah tua, atau khawatir dianggap masih kanak-kanak?”
kejarku
“Ya mungkin saja”
“Dan kamu termasuk dari mereka yang punya pola pikir yang tidak masuk akal
itu?”tandasku
Padma menatapku
“Dua puluh enam kurang 2 bulan” jawabnya.
“Untuk usia yang masih relatif muda, kamu punya karir yang bagus”
kutambahkan
“Bekerja di dunia broadcasting itu banyak tantangannya”
“Begitu ya”
“Menurut mas Wishnu?”
“Tivi bukan duniaku” kujawab tanpa ekspresi seraya kusandarkan punggungku
pada sandaran kursi
“Film dan televisi kan dua hal yang tidak bisa dipisahkan, banyak film yang
juga menggunakan jasa televisi sebagai media publikasi” Padma meneruskan
“Tapi tidak semua film mau masuk tivi” kupotong
“Karena memang televisi punya sensor sebelum sebuah tayangan disiarkan, dan
itulah kenapa tidak semua film bisa diputar di televisi ” Padma mulai
berargumen
“Itu namanya diskriminasi”
“Eh?!”
Pembicaraan kami sejenak terhenti karena Erika masuk membawa dua mug berisi
air putih dan kudapan.
“Tidak masalah kalau filmku tidak bisa ditayangkan di tivi, karena memang
filmku bukan konsumsi pemirsa sinetron” kulanjutkan. Kuambil salah satu mug
yang ada di depanku, dan meminumnya beberapa teguk.
“Aku tahu, karena memang filmmu terlalu vulgar untuk ditayangkan di
televisi. Tetapi masih bisa disiasati kok dengan membuang beberapa adegan
kekerasan dan eksplotasi seksualnya”
“Tidak” tukasku keras. Kucondongkan badanku dan kutatap tajam perempuan di
hadapanku.
“Itulah mengapa aku tidak pernah menyukai dunia kalian. Kalian tidak bisa
menghargai karya dan malah akan merusaknya. Kalian hanya menjadi budak rating
dan memanfaatkan kebodohan masyarakat” kata-kataku mulai tajam.
Bagi orang yang mengenalku dengan baik, mereka paham bahwa aku termasuk
sutradara yang anti sensor. Meskipun aku tidak se ekstrem Quentin Tarrantino
yang anti digitalisasi, namun aku sangat terusik jika film-filmku dicampuri
dengan kepentingan komersil yang tidak masuk akal.
“Mengeksploitasi tubuh perempuan dalam film, apa itu bukan budak konstruksi
sosial? Apa anda tidak menyadari bahwa dengan karya anda, anda menjadi salah
satu agen yang membuat perempuan semakin menjadi kaum yang tertindas?” suara
Padma tidak kalah meninggi.
“Aku tidak heran jika kamu berpendapat demikian, karena pola pikirmu adalah
pola pikir yang mainstream. Feminisme itu mainstream, itulah kenapa aku jenuh
dengan isu-su jender dan kesetaraan. Aku ingin menunjukkan wacana yang lain”
“Perempuan bukan kaum yang lemah, pak sutradara” Padma mencondongkan
tubuhnya. Wajah kami hanya berjarak beberapa sentimeter saja.
“Tapi dengan perjuangan kalian yang menuntut persamaan, itu sudah
menunjukkan kalau kalian tertindas, bukan?” kilahku datar
“Baiklah, aku paham. Kita memang punya logical framework yang bertolak
belakang” Padma menghela nafasnya. Perempuan itu kemudian meneguk air putihnya,
dan merapikan ikatan rambutnya. Tak lama kemudian ia berdiri dari duduknya dan
melangkah menuju pintu keluar.
“Silakan datang lagi jika butuh informasi lain, nona...” aku berdiri dan
mengantarkannya sampai pintu ruangan.
“Thanks untuk jamuannya” ujarnya menutup percakapan dan berjalan keluar
studioku. Beberapa menit kemudian kudengan suara mesin mobil dihidupkan.
***
0 komentar:
Posting Komentar