Aku tidak pernah merasa seputus
asa saat ini menjalani duniaku. Mungkin ini adalah titik dimana aku kehilangan
keyakinan yang selama ini aku imani. Ketika aku hanya dapat berkata dalam hati
bahwa, baiklah ini adalah perjalananku, pencarian kedamaian dan sekaligus
spiritualitas. Harus aku akui bahwa selama ini aku hidup dalam konstruksi
normativitas. Di satu sisi, aku menemukan sebuah eksplanasi bahwa ini adalah
caraku untuk melalui persimpangan dan pergesekan yang harus kukompromikan
setiap waktu. Jalan hidupku yang baru, yang baru aku pilih.
Sekaranglah saatnya aku berdamai
dan menerima setiap kemarahan, kekecewaan, kepedihan, dan apapun yang membuatku
menjadi makhluk setengah mati.
Kadang aku berpikir aku terlalu
keras menuntut alam untuk berbaik hati padaku. Tetapi kemudian aku berpikir
lagi mungkin saja aku yang terlalu naif serta menjadikan semuanya menjadi tidak
sederhana.
Bumi masih akan tetap berotasi
dengan sempurna bersama dengan harapan manusia yang tidak tidak selalu nyata.
Karena semesta itu hidup, kurasa ia akan menjaga makhluk yang hidup di dalamnya
dengan caranya sendiri, yang selalu tidak dapat kumengerti. Kusadari ternyata
aku terlalu merisaukan bagaimana bila hujan tidak lagi membasah atau oksigen
tiba-tiba lenyap dari bumi. Meski sejujurnya aku tidak sanggup mengikhlaskan
diriku ketika malah aku yang menjadi penyebab kepedihan dan kekecewaan bagi
setiap cinta yang aku terima. Bukan kekhawatiran, tetapi pernyataan bahwa aku
telah gagal mewujudkan kebaikan yang diamanatkan padaku. Masa dalam sisa
hidupku tidak akan mampu menebus setiap doa, keyakinan, dan harapan yang telah
terlanjur terjanjikan. Tidak perlu lagi aku mencari-cari, menerka-nerka, dan
menghitung-hitung pertanyaan yang selama ini menyibukkan saraf otakku. Waktu
telah menjawabnya dengan sangat konkrit sekaligus dramatis. Aku kalah telak.
Maafkan aku.
Bersyukurlah bagi kalian yang
telah menemukan cinta. Lebih dari cukup untuk memberikan nyawa bagi jiwa dan
raga selama nafas masih terhela. Berterimakasihlah pada semesta atas apapun
yang menghidupkan keyakinan untuk memperjuangkan keluhuran tidak hanya untuk
diri, tetapi untuk semua. Bersyukurlah untuk jiwa-jiwa yang damai.
Setiap hati adalah layang-layang
kertas yang terbang mengikuti kemana angin akan membawanya jauh tinggi atau
bahkan menghempaskannya hingga remuk. Tetapi cinta dan keyakinan hanya akan
tinggal ketika memang ia memilih untuk tinggal. Bagi beberapa orang menjadi
sesuatu mudah diraih, sementara bagi sebagian yang lain menjadi bagian tersulit
bahkan tidak pernah memiliki kesempatan untuk merasakannya. Mereka berpikir
bahwa perjuangan mereka telah usai, padahal tanpa disadari mereka sebetulnya tidak
pernah meninggalkan tempat mereka berdiri.
Atau, mungkin benar segala pencarian telah dilakukan, menilai setiap
detil yang ditemui, mengalami setiap rasa yang datang, mengecap semuanya tanpa
terlewati, namun nyatanya mereka hanya sibuk dengan isi kepala dan rumit dengan
ketakutan dalam hati mereka sendiri, pada akhirnya.
Kemarahan dan kekecewaan tidak
selalu harus termaafkan dengan indah. Dendam dan kepedihan bukan hal yang
mutlak untuk dilupakan dan dikubur dalam-dalam oleh sejarah dan waktu. Kupikir
setiap perasaan apapun berhak mendapatkan apresesiasi, memiliki tempat yang layak
berdampingan dengan damai dengan perasaan-perasaan yang lainnya tanpa
diskriminasi. Hanya itu yang akan menjadi sebuah refleksi untuk membuktikan hakikat
kemanusiaan. Kecuali bila memilih untuk menjadi makhluk hibrid dengan sensor
indra yang lumpuh. Diprogram hanya untuk menerima positivitas dan normativitas
saja. Mengalah pada konstruksi keadaban dan tunduk pada aturan yang disebut
budi pekerti luhur. Padahal mereka sendiri tidak benar-benar paham bahwa
sesungguhnya mereka mengebiri esensi jiwa mereka sendiri. Mengapa harus mengaku
baik-baik saja saat terluka? Apakah menjadi sebuah dosa tak terampuni apabila
sebuah kemarahan dan kekecewan pada akhirnya terucapkan? Mengapa ekspresi
demikian harus disunyikan dalam kolong bawah sadar kemudian berdoa semoga iblis
yang membawanya segera terbakar jauh di lubang neraka.
Menyimpan dendam itu berbahaya,
katanya. Mengekspresikan kemarahan dianggap sebagai kelemahan. Dan
mengungkapkan kepedihan malah dianggap lebih memalukan lagi. Apakah alam memang
didesain menjadi sebuah media yang tidak permisif? Terutama bagi setiap substansi
yang berasal dari kutub negatif. Kurasa alam bukan milik siapa-siapa. Sesama
kontraktor memiliki hak dan kewajiban yang sama untuk mengekspresikan diri.
Setiap manusia adalah pengembara yang berjiwa bebas. Lantas mengapa setiap
kehendak harus terbatasi? Mengapa setiap arah yang berbeda dianggap
penyimpangan?
Mereka tidak harus mengetahui
setiap detil yang ada dalam kepalaku, namun kupikir akan sangat adil jika
masing-masing dapat saling menghormati apapun yang dimiliki dan tidak dimiliki,
apa yang diimani dan apa yang diingkari. Mustahil menuntut orang lain menjadi
sesempurna yang kita kehendaki. Toleransi pun hanya niscaya bila dipaksakan. Setiap
perjalanan adalah keputusan yang sangat personal, jika dianggap sesat, tidak
perlu dihakimi. Tinggalkan saja.
0 komentar:
Posting Komentar