Gebrakan Baru Disney dalam The Sorcerer’s Apprentice


Disney Corp. come back !. Dalam film terbarunya yang berjudul Sorcerer’s Apprentice, Disney menggandeng aktor legendaris Nicholas Cage untuk membintangi film drama (komedi) ini. Film ini berkisah tentang seorang penyihir, Balthazar (Cage) yang mencoba menyelamatkan dunia dari kehancuran akibat kebangkitan kembali seorang penyihir jahat bernama Morgana le Fay(Alice Krige). Satu-satunya cara untuk menghancurkan Morgana adalah Balthazar harus menemukan seorang murid titisan Merlin, yang disebutnya Prime Merlinean (Merlinean Utama) yang diperankan oleh seorang aktor pendatang baru Jay Baruchel seperti layaknya film sihir, film ini juga mengingatkan kita pada film serial Harry Potter, The Cronichels of Narnia, dan Eragon. Balas dendam dan roman masih menjadi tema menarik untuk dikisahkan. Yang unik dari fillm ini adalah, selain alur cerita yang cukup rapi dan ringan, setting tempat yang diambil adalah masa kini kehidupan modern, yaitu menampilkan sisi kota New York dengan crowd-nya. Ini yang membedakan film ini dari Harry Potter dan film-film sihir lainnya yang selalu menampilkan era jaman pertengahan (renaissance). Sebagai konsekuensinya, film ini cukup lihai mencari benang merah tanpa mengurangi sisi entertanment-nya, yaitu dengan memasukkan unsur fisika (ilmiah) sebagai tantangan dalam menjelaskan ilmu sihir. Pemilihan karakter tokoh yang pas dan konflik yang terbangunpun juga mampu mengalir dengan smooth sehingga penonton mampu terbawa dalam emosi yang tervisualisasi. Selain itu, unsur komedi yang ditambahkan juga tepat sasaran yang membuat film ini terkadang menggelikan. Kehadiran Alfred Molina sebagai tokoh antagonis disini juga memberikan tensi yang berbeda dalam setiap scene. Good Job !!!

Dari sekian film yang saya tonton dalam sebulan ini, baru film Sorcerer’s Apprentice yang menurut saya paling entertaining, kecuali bila anda ingin mendapatkan film dengan kesan yang berbeda. Namun bila anda menginginkan sebuah tontonan ringan, menghibur, dan no hard feeling sesudahnya, saya merekomendasikan film ini sebagai must-see movie J. Jangan lupa bawa cemilan ya.... Enjoy!!!

Badai Serotonin


Tanah itu masih basah. Aroma itu sangat khas tercium di hidungnya. Egi hafal benar dengan bau itu. Bau yang mengingatkannya pada seseorang yang sekarang telah berlalu. Dan waktu telah menggilas semuanya tanpa tersisa, kecuali kenangan yang masih utuh tersimpan di kepalanya. Kenangan yang hanya ia bagi dengan dirinya sendiri. Betapa hidup sangat tidak adil, batinnya.

Egi sayang,

Aku tau saat ini engkau tidak sedang memikirkan aku. Aku tahu bahwa saat ini pikiranmu masih terbelenggu bayang-bayang itu. Aku telah mengetahui semuanya bahkan sebelum kamu mengetahuinya.

Satu dekade bukan waktu yang sebentar buatku. Banyak hal yang telah terjadi dan terbangun di sana, harapan, cita-cita, hasrat, dan kasih sayang. Dan kamu mengetahui, bahwa aku memilih untuk menjalaninya disini, bersamamu.

Egi sayang,

Aku telah kehilangan kata dan bahasa untuk mengungkapkan batapa aku sangat terluka, kecewa, dan marah. Entahlah, apakah seharusnya aku marah padamu atau padanya...atau pada diriku sendiri. Aku sedang hilang, Egi...

Sejujurnya aku benci memiliki perasaan ini, namun aku juga sangat membenci kejujuranmu. Jauh sebelumnya aku berkata pada diriku bahwa aku telah mempersiapkan segalanya untuk perjalanan kita. Bahkan aku telah siap jika memang aku harus melepaskanmu. Aku menyadari bahwa aku bukanlah seseorang kekasih yang kau impikan. Aku tidak bisa memberikan sesuatu yang kau inginkan sebagaimana yang telah kau terima saat ini. Kau telah memiliki kebahagiaan yang kau bangun sendiri dengan duniamu, dengan peran-peran yang kau pilih sendiri. Tidak Egi, aku tidak akan berbicara tentang sebuah egoisme. Jika menurutmu, kompromi adalah segala-galanya, tawar menawar adalah jalan bijak untuk mendapatkan suatu kesepakatan bersama, tidak bagiku. Disinilah perbedaan kita. Kita berpijak pada bumi yang berbeda. Bagiku, cinta bukan lah transaksi perdagangan, komitmen bukan material yang dapat ditawar dan diperjualbelikan. Dan aku tidak akan pernah menjualnya.

Egi sayang, silakan kamu muntahkan semua argumentasi yang kau anggap logis di hadapanku, dan kini aku telah muak menelan semuanya. Walaupun aku sangat menyayangimu dengan sepenuh hatiku, namun aku tetap akan terhina ketika kejujuranmu kau ungkapkan dengan tanpa rasa bersalah. Bisakah kau memahami bagaimana terlukanya aku saat aku tahu, dengan segala kesadaranku, bahwa aku bukan lagi seseorang yang kau pikirkan ketika kau terjaga. Aku tidak lagi menjadi penghantar saat kau akan terlelap. Dan mungkin kau malah tidak pernah berharap untuk bertemu denganku, meskipun dalam mimpi. Dan aku merasakannya dengan sepenuh hatiku juga. Aku tahu bahwa itu adalah salah satu upayamu untuk berlari meninggalkan segala yang kau anggap siksaan bathin. Keadaan yang membuatmu kehilangan dirimu seutuhnya. Aku terluka...sangat terluka.

Egi sayang, aku tidak butuh sesumbar picisan atas nama hak asasi manusia yang kamu dewa dewakan jika kamu sendiri tidak pernah tahu apa esensi hak yang paling asasi itu sendiri. Jangan lagi menguliahiku tentang kebebasan jender yang juga kau agung-agungkan. Sembah saja patung liberty sebagai bentuk penghambaanmu pada kebebasan. Simpan semua omong kosongmu, sayang...karena aku telah menutup telingaku rapat-rapat.

Satu kata yang sebenarnya tidak ingin aku ungkap kepadamu. Namun kupikir, aku tidak lagi memiliki terminologi lain yang kuanggap sepadan makna dengan apa yang sedang terjadi saat ini kecuali pengkhianatan. Kau tahu, pedih ku rasakan jika aku mengingat semua pertengkaran kita. Tidak hanya kau yang tersiksa. Aku pun demikian. Kalau boleh aku protes pada kaum feminis yang mengagung-agungkan kesetaraan hak, bahwa saat ini aku telah terluka oleh mereka. Mereka tidak pernah memahami bahwa tidak sesimpel itu menerapkan teori-teori tai kucing itu pada setiap manusia. Menurut mereka aku korban ketidakberdayaan perempuan, dan mereka juga pasti akan memperolok-olokku dengan nasihat-nasihat murahan dan menempatkanku pada sudut ketakberdayaan. Bodohnya aku... tapi aku waras.

Egi, maafkan aku yang telah hilang kendali. Semuanya aku lakukan bukan tanpa alasan. Karena aku menghargaimu, dan aku menghormatimu lebih dari siapapun. Silakan saja kamu tidak menerimakan segala yang kulakukan. Tapi aku akan tetap memperjuangkan apa yang kuanggap berharga untuk kuperjuangkan, sampai kau menyadarinya...sampai kau menyadari bahwa mungkin kau telah kehilangan semuanya. Sekarang, silakan kau pilih kebahagiaanmu... karena seperti yang kau pernah katakan padaku, bahwa kebahagiaan tidak raih, tapi dipilih...diciptakan.

Padma.

Dilipatnya kembali kertas itu dan menaruh di sisi tempat tidurnya. Egi masih menatapi relung-relung kamarnya yang sunyi seolah ia tengah menggambar sesuatu disana. Ditariknya nafasnya perlahan namun berat. Satu persatu peristiwa terlintas di benaknya, silih berganti. Tanpa ia sadari, ada perih yang tiba-tiba menyusupi lubuk jiwanya.

Tak ada suara. Masih sama seperti malam-malam sebelumnya. Lengang. Bahkan suara cicak dan nyamuk pun enggan. Seseorang itu masih terjaga dengan sejuta drama di benaknya.

(I would like to appreciate to those who have inspired me for writing this prose. Anyway, this prose is fairly fiction and doesn’t have retentions for any purposes... Enjoy!!!)

Insepsi dan konstruksi mimpi


pada awalnya saya tidak memiliki banyak ekpektasi pada film ini. saya hanya berpikir bahwa film ini pasti akan menyuguhkan suatu konsep yang biasa-biasa saja dengan permainan efek visual. film yang dibintangi oleh beberapa aktor papan atas hollywood, misalnya leo di caprio, joseph gordon-levitt dan marion cotillard ini ternyata mampu memberikan sebuah konsep yang cerdas dan baru. film ini mengingatkan saya pada film the matrix beberapa tahun yang lalu yang juga menyuguhkan konsep pertentangan realitas dan dunia maya. meskipun secara keseluruhan film ini berbeda jauh dengan the matrix yang lebih lebih cenderung bermain efek di dunia digital, inception lebih menyuguhkan konflik antar personal. dalam film ini dikisahkan, comb (leo di caprio) memiliki konflik dengan masa lalunya yang belum sepenuhnya terselesaikan, rasa bersalah atas 'kecelakaan' yang menyebabkan istrinya meninggal membuatnya ingin hidup dengan kenangan-kenangan. oleh karenanya, ia berusaha untuk mengubah masa lalunya untuk bersama-sama dengan istri dan anak-anaknya kembali. tidak hanya itu, film ini juga berkisah tentang konflik-konflik lain yang lebih besar, misalnya ketika saito (ken watanabe) 'menjebak' comb untuk mendapatkan warisan seorang milyuner yang baru meninggal. comb dan timnya membuat sebuah konstruksi realitas mimpi yang bertingkat dalam rangka menanamkan sebuah 'konsep: bahwa dunia yang sedang terjalani adalah mimpi belaka' dengan memainkan proyeksi-proyeksi pikiran. inilah yang disebut inseption, dengan demikian comb cs akan mampu mengendalikan objeknya, ia mampu mengatur dan mempengaruhi si milyuder untuk menuruti apa yang mereka mau. namun sayang, tim comb tidak berdaya ketika benar-benar memasuki realitas mimpi si milyuder. mereka harus berhadapan dengan perlawanan-perlawanan yang hanya comb saja yang mengetahui.
overall, film ini bukan film biasa, christ nolan sebagai sutradara cukup sukses menggambarkan dan memainkan ekspektasi penonton. bukan saja aktornya yang cukup total, namun yang patut diacungi jempol adalah konsep filmnya sendiri yang memang sangat brillian. entah, apakah nolan cs terinspirasi buku sophie's world dan konsep filsafat plato. "bisakah kita memikirkan sesuatu yang belum pernah kita pikirkan?"

beware: "apakah realitas yang anda jalani saat ini benar-benar realitas ataukah hanya mimpi?"

bintang dan kegelapan


Ia masih saja menghisap sisa-sisa sigaret di tangan kanannya. Malam ini ia merasa sesak. Hujan sesore ini membuatnya merasa sedikit berbeda. Ada yang hilang, dan ada yang ia rasakan dalam lubuk hatinya. Lana, perempuan itu telah membuatnya berpikir dan terus berpikir. Benaknya seolah tak dapat ia kendalikan untuk tidak terus memikirkannya.

Pertemuan dengan Lana kemarin malam telah begitu mengganggunya. Lana seolah menjadi hantu dalam benaknya yang membuatnya menjadi seseorang yang kehilangan keberanian untuk memejamkan mata.

Satu setengah tahun yang lalu ia mengenal sosok Lana. Lana adalah seorang perempuan yang biasa-biasa saja, dengan lesung di pipi kirinya. Lana bukan perempuan molek dengan kulit sehalus poselen cina. Lana adalah perempuan yang biasa-biasa saja. Ya, biasa-biasa saja.

Jika saja ia tidak membalas salam itu. Jika saja ia tidak menegurnya lebih dulu. Dan jika saja ia tidak mengiyakan mengantarkannya pulang sore itu...ah seandainya saja sore itu tidak gerimis.

Ia kembali menyulut sebatang sigaret dan menghisapnya dalam-dalam. Dipajamkannya kedua matanya, kegelapan itu yang ia cari. Karena ia ingin berbicara pada Lana. Namun yang ia dapati hanya nafasnya sendiri yang naik turun tidak bertempo. Ia masih melihat titik-titik hitam dalam keterpejamannya. Ia masih terus mencari sesosok yang ia harap dapat ia temukan dan kenali dalam gelap yang tak berbatas itu. Semakin ia memasuki kepekatan dalam kegelapan, yang ia temukan hanyalah siluet hitam yang seolah ingin mencabik-cabiknya.

Lana, ia tahu bahwa ia tidak akan mampu meraihnya. Perbedaan yang telah ia bangun begitu nyata dan tak lagi dapat ia kompromikan. Walaupun ia menyadari bahwa hanya Lana lah yang mampu membuatnya lebih bersemangat menikmati hidup, namun, bersama Lana adalah sebuah pengalaman menikmati sebuah bom waktu.

Hidup adalah perjuangan yang tak berakhir. Dan Lana adalah pengalaman hidupnya, yang tidak mampu ia perjuangkan. Seperti berdiri di dua tepi jurang, ia hanya mampu memandangi Lana, dan sebaliknya Lana juga tidak mampu berbuat selain merelakan dirinya berdiri di sisi yang lain.

Lana, kita nikmati saja episode kita, nikmati saja perih yang ada, kita akan belajar bahwa kebahagiaan adalah sebuah perasan yang tercipta dari setiap peran kita mainkan. Kebahagiaan itu telah nyata Lana, kebahagiaan itu tidak diberikan oleh orang lain. Tapi kebahagiaan itu terbangun dari apapun yang terkecap, saat ini, sekarang, dan nanti. Ini salah satu bentuk kesyukuranku, kepada hidup yang mengajarkanku pahit dan perih, sehingga aku mampu mengecap manis dan legit. Harapanku padamu, aku tidak berharap apapun terhadapmu. Nikmati hidupmu Lana, nikmati setiap detik nafas yang kau hela. Karena kebahagiaan yang ingini, semuanya terlebur dalam setiap aliran darah dan nadi yang terdetak. Aku akan selalu melihatmu dari sini, dari sisi gelapku. Dan ketika kubuka mataku, aku akan menyadari bahwa kau benderang dalam dalam gelapku.

Sore itu kembali gerimis. Angin dingin mulai menyapa dan menguapkan sisa-sisa hawa panas perlahan-lahan. Sesosok bayangan tampak dari balik kaca jendela yang berembun dan terpercik air hujan. Matanya sayu menatapi tetesan air yang bergulir di kaca jendela kamarnya.

Egi, kebahagiaan itu milikmu. Tidak seharusnya kau membaginya bersamaku. Kau memiliki ruang yang tak ingin ku masuki. Jangan pernah ijinkan aku memasuki bahkan tinggal disana. Kau telah mengajarkan bahwa pahit dan getir adalah salah satu rasa bahagia. Namun, kau tak pernah tahu bagaimana rasanya tidak berasa. Bagaimana kau bisa menjelaskan kehampaan yang sekarang aku rasakan? Jika kau menganggap bahwa kebahagiaan itu diciptakan. Maka aku telah menciptakan kebehagiaan itu bersamamu. Aku tidak sedang idealis, Egi. Aku hanya berpikir sederhana. Aku hanya ingin kau tahu bahwa aku sangat menikmati hidupku. Aku mensyukuri setiap helaan nafasku, bahkan aku menikmati irama nadiku detik demi detik. Dan...aku menyadari bahwa aku bukan bintang yang kau pandang dan kau kagumi, aku hanya terlihat dalam kegelapan, aku hanya bayangan yang bisu dan tak berwarna.

Hujan kembali turun, dan langit menjadi gelap. Tidak ada bulan, tidak ada bintang, dan tak tampak benda langit lainnya. Hanya kegelapan tak berbatas.

Inspired by Star and Darkness

July, 6 2010

cepet sembuh ya Wot...

selamat pagi Indonesia, Selamat Pagi Dunia

pagi tadi, saya baru dapat sms dari salah satu sahabat. dia mengabarkan bahwa dia opname karena typus dan liver. jadi teringat kejadian yang serupa yang juga pernah saya alami beberapa waktu yang lalu. pada awalnya saya pikir itu hanya masuk angin biasa, palingan juga mau influenza. karena tenggorokan saya sakit sekali dan susah menelan.
namun ternyata 2 hari kemudian saya demam tinggi dan makanan apapun tidak dapat saya cerna. selalu termuntahkan. karena demam yang naik turun akkhirnya saya ke dokter dan didiagnosis gejala typus, katanya karena lidah bagian dalam saya kotor dan karena mual-mual...ah, ada ada saja bu dokter itu.
alhamdulillah setelah 3 hari bedrest, dan 'kerja keras memanipulasi otak' badan saya sudah mendingan dan berangsur membaik. gejala typus sebenarnya mudah untuk dicegah, demam dan mualnya dapat segera hilang, namun yang membutukan waktu lama adalah recoverynya, musti telaten minum obat, jaga makanan, dan nggak boleh capek...
cepet sembuh ya Wot, keep the postive spirit inside, jangan kalah ma bakteri ya...
miss you and Kei so much...

hot chocolate, sony vaio, dan adiksi


hot chocolate, secangkir panas yang masih mengeluarkan aroma legit dan menggoda. perempuan itu masih menatapi lembaran demi lembaran di tangan kirinya dengan seksama. sementara tangan kanannya masih sibuk memutar-mutar bolpoin sambil menggigit-gigit ujungnya. ia menatap sekilas seseorang yang duduk di hadapannya.

"so, kenapa kamu jadi fanatik gitu ma prodak orang-orang barat itu... " ia membuka pembicaraan

"ya karena barang-barang mereka bagus-bagus dan berkualitas, kan?"

"retoris kamu" "bagus dari segi yang mana? mahal iya"

"up-to date lah, lebih canggih"

"trus efeknya buat kamu apa?"

"nambah pede, dan puas aja klo bisa beli...hehehe...apa ini termasuk adiksi ya? tau cara recoverinya gak?"


sony vaio, jari-jarinya masih sibuk berloncatan di tuts kibor. sebatang sigaret masih menyala dan sesekali ia hisap dalam-dalam dan mengeluarkan asap tipis yang segera menyebar di seluruh ruangan. lampu yang tidak terlalu terang, musik berirama pop-rock, dan aroma kopi yang sangat menggoda, sangat pas untuk atmosfir obrolan malam itu.

"apa alasan kamu menikah? jangan-jangan karena tuntutan ya?" lelaki itu melirik perempuan di depannya, sementara bibirnya masih sibuk menghisap sigaret yang tinggal sepenggalan.

"haha, beruntung sekali aku tidak hidup di masyarakat dan keluarga dengan konstruksi seperti itu..."

"alasannya apa dong?"

"ya kebutuhan biologis aja sich...hahaha"

"emang harus menikah ya?"

"suka-suka lah...itu salah satu hak yang paling asasi kok" perempuan itu kemudian menyeruput coklat panasnya

"seharusnya syarat-syarat menikah gak bisa semudah itu juga...musti ada fit en proper tes-nya juga"

"yang nge-tes siapa?"

"bikin lembaga yang ngurusin gituan, kali ya?"

"nikah dengan syarat yang mudah aja masih banyak yang melakukan sex before married, apalagi syaratnya diberatin...bakal banyak kolusi dan nepotisme tu..."

"hahaha...bener juga, tapi paling tidak kan kalo mau nikah musti mikir-mikir dulu"

"ketauan kan yang dulu nikahnya ga pake mikir!?!!?!? :D "


mereka kembali pada alamnya masing-masing. coklat panas itu hanya bersisa ampas yang berbentuk lingkaran di dasar cangkir, ia masih terus mencoret-coret kertas di tangan kanannya.

"kamu tau, betapa kapitalis itu menguasai seluruh kehidupan kita. bahkan dalam soal selera. doain aku punya duit banyak, aku akan menciptakan sebuah selera yang global yang bisa bikin kamu adiksi..."

"haha, emang kamu mau nyiptain apa?

"jamu!, seluruh dunia pada kecanduan obat semua...aku mau bikin selera tandingan"

"Jamu ARV gitu?"

"ya semacam itu lah...ga perlu pake copulsory lisence segala....buat aja sendiri di rumah"


kembali terdengar suara tangan yang beradu dengan tuts kibor. sigaret itu sudah tamat. ia menyulut kembali sebatang dan menyandarkan badannya pada sandaran kursi, kemudian menatap perempuan di hadapannya.

"kenapa kamu suka coklat?"

"karena aku sudah menyerah sama kopi, lambungku udah keok" jawab perempuan itu sambil nyengir

"tentang selera, emang kata siapa kapitalis menciptakan selera? seperti selera kamu terhadap coklat?"

"engh...kata...kata kertas ini gitu...hehehe"

"ealah...bahkan pendapat pun juga dipengaruhi ma orang barat juga yach...fiuhhh..."


perempuan itu tersenyum, kemudian meletakkan kertas di tangan kirinya.


"yah, bahkan pendapatpun kita nggak bisa berdiri sendiri ya..."


*coffee corner time with Baudrillard*

Komoditas dan Selera Global dalam Pemilihan Pelayanan Kesehatan


I. Pendahuluan

Setiap orang pasti tidak ingin dirinya menjadi sakit atau menderita sebuah penyakit. Kesehatan merupakan sebuah faktor penting dalam kehidupan. Dengan menjadi sehat, segala aktivitas dapat terjalani, bekerja, bersekolah, dan lain-lain. Tidak banyak orang yang pandai mensyukuri kesehatannya, malah cenderung tidak memperdulikan kesehatannya dengan berperilaku tidak sehat, misalnya dengan pola hidup yang tidak teratur, kebiasaan merokok, minum minuman beralkohol, tidak pernah berolah raga, dan sebagainya. Ketika seseorang menjadi sakit, saat itu pula akan menyadari bahwa proses penyembuhan dan pemulihan terkadang membutuhkan proses yang tidak sebentar. Selain itu, jika penyakit yang dideritanya cukup parah, tidak sedikit pula biaya yang harus dikeluarkan untuk pengobatan.
Di jaman yang serba modern ini, kondisi masyarakat juga semakin berubah seiring dengan perkembangan teknologi dan komunikasi. Perkembangan ini terkadang mengarah kepada keadaan yang lebih kompleks dan rumit di segala bidang kehidupan, salah satunya adalah bidang kesehatan. Tidak dapat dipungkiri bahwa dunia kesehatan adalah salah satu bidang kehidupan yang perkembangannya sangat terlihat jelas. Penemuan alat-alat kesehatan yang canggih, terformulasinya vaksin untuk penyakit-penyakit yang berat, serta peningkatan pelayanan yang semakin ‘baik’. Jika dahulu, dalam sebuah daerah hanya memiliki sebuah rumah sakit saja, dan itu dimiliki oleh pemerintah daerah, tidak dengan saat ini, rumah sakit-rumah sakit swasta, dan klinik-klik pengobatan banyak sekali ditemui di berbagai daerah bahkan di daerah terpencil sekalipun.
Selain itu, perubahan yang terjadi dalam beberapa tahun terakhir sangat signifikan jika dibandingkan dengan beberapa tahun sebelumnya. Rumah sakit dan klinik pengobatan yang dibangun pun juga semakin melengkapi pelayanannya. Bahkan ada rumah sakit yang hanya melayani spesialis penyakit tertentu, misalnya rumah sakit mata, rumah sakit kanker, rumah sakit bedah, dll. Perbedaan lain yang memberikan perubahan ‘rasa’ pada rumah sakit adalah dari sisi artistik bangunan yang digunakan. Jika dahulu rumah sakit terkesan sangat ‘menyeramkan dan menakutkan’, kotor, dan bau obat; tidak demikian sekarang. Sebagian besar rumah sakit swasta ‘tahu’ bagaimana merubah image ‘menyeramkan’ tersebut menjadi friendly dan nyaman. Memang akan masuk akal apabila alasannya adalah demi kenyamanan pasien, sehingga pasien akan lebih cepat pulih dan sembuh. Bangunan rumah sakit tidak lagi mirip ‘rumah tua dengan lorong yang panjang’, namun sudah menggunakan tangga berjalan dan elevator. Lorong-lorongnya pun tidak gelap dan menyeramkan, namun sudah dilengkapi dengan lampu yang amat terang dan beraroma terapi. Selain itu, dibangun juga taman-taman yang sudah hampir mirip dengan taman di hotel-hotel. Tidak hanya kondisi fisik rumah sakit yang banyak berubah, fasilitas dan infrastrukturnya juga mengalami banyak perubahan. Rumah sakit jaman sekarang, lebih menyadari dan memahami ‘kebutuhan’ pasien, sehingga mereka memberikan berbagai fasilitas demi kenyaman pasien, misalnya dengan menyediakan supermarket yang masih dalam area rumah sakit. Fasilitas wi-fi gratis, sehingga keluarga pasien dapat memanfaatkannya untuk browsing dan berinternet. Tidak hanya itu, bahkan diantaranya juga menyediakan cafe dan cafetaria untuk pengunjung rumah sakit. Untuk beberapa rumah sakit yang tergolong bonafide, fasilitas-fasilitas yang disediakan mereka juga berkelas, seperti fasilitas yang disediakan di hotel-hotel dan mall. Pengunjung rumah sakit tidak hanya dapat membeli starbuck dan J-Co di mall, mereka juga dapat menikmati kuliner tersebut di rumah sakit.
Tentu akan sangat berbeda ketika menggunakan pelayanan rumah sakit swasta dengan fasilitas yang one-stop service, dengan ketika datang berobat ke puskesmas atau rumah sakit umum. Selain fasilitas dan pelayanan yang berbeda, pemberi layanannya pun juga berbeda. Hal ini juga implikasi langsung dengan ‘apa yang akan diberikan’ oleh pasien sebagai penukar untuk mendapatkan ‘apa yang diharapkan’, misalnya obat-obatan yang diberikan, perawatan kesehatan yang diterima, serta ‘tata cara’ pelayanan oleh pelayan kesehatan. Singkatnya, pasien yang ingin mendapatkan pelayanan yang lebih ‘baik’ seperti yang disediakan oleh rumah sakit swasta, maka harus rela mengeluarkan dana yang tidak sedikit, karena selain harus menebus biaya obat-obatan, pasien biasanya juga diminta untuk cek/tes ke laboratorium terlebih dahulu sebelum dokter memberikan diagnosis. Mereka juga harus membayar biaya dokter, rawat inap, dan lain-lain.
Namun demikian, masyarakat sepertinya sudah terbiasa dengan fenomena tersebut, karena dari penyedia layanan kesehatan juga telah memberikan pilihan-pilihan fasilitas yang telah ‘disesuaikan’ dengan kemampuan pasien. Walaupun terkadang, banyak pasien yang merasa lebih cepat sembuh dan percaya dengan rumah sakit swasta karena dianggap memiliki ‘kualitas’ yang lebih baik. Lebih jauh lagi, bahwa kemampuan dalam pemilihan pelayanan kesehatan memberikan pengaruh pada tingkat kemampuan ekonominya, serta bagaimana sebuah pelayanan kesehatan menjadi salah satu pemicu berkembangnya budaya konsumen.
Penelitian ini akan membahas tentang selera masyarakat dalam memilih pelayanan untuk kesehatannya. Dalam hal ini penulis melakukan sebuah penelitian dengan melakukan sebuah wawancara singkat dengan dua orang responden yang pernah menjadi pasien dua buah rumah sakit di Surabaya. Dari hasil wawancara tersebut penulis ingin mengetahui motivasi dan alasan responden memilih sebuah pelayanan bagi kesehatannya, serta bagaimana responden memaknai kesehatannya dikaitkan dengan pilihan pelayanan kesehatan yang dipilihnya. Secara singkat penulis mengetahui keterkaitan antara perilaku ‘memilih’ pelayanan kesehatan dikaitkan dengan budaya konsumen dan kelas sosial.

II. Pembahasan
Perkembangan prodak dan pasar bebas adalah salah satu faktor yang mempegaruhi budaya konsumen. Heterogenisasi prodak berproses in-line dengan homogenisasi minat dan ‘selera’. Budaya mengkonsumsi tidak hanya dalam mengkonsumsi sebuah prodak, tapi juga bagaimana menikmati jasa. Salah satu yang menjadi fenomena daam masyarakat adalah bagaimana masyarakat memilih pilihan layanan untuk kesehatannya. Pembangunan untuk layanan kesehatan semakin gencar baik di sektor riil maupun dalam tataran infrastruktur. Privatisasi dan swastanisasi layanan kesehatan juga semakin berkembang dengan munculnya rumah sakit-rumah sakit dan klinik-klinik kesehatan dengan pelayanan yang ‘excellence’ dan one-stop service. Semakin banyak tersedianya pilihan-pilihan pelayanan kesehatan, semakin memperkaya pengetahuan masyarakat dalam menyeleksi setiap keputusannya.
Dalam konteks ini, pengetahuan menjadi penting; pengetahuan tentang barag-barang baru, nilai social dan budaya barang-barang itu, serta bagaimana menggunakan barang-barang itu secara tepat. Secara khusus hal ini menjadi masalah bagi kelompok-kelompok yang sedang belajar yang sedang mengarah pada pola konsumsi serta melakukan pengembangan suatu gaya hidup tertentu (Douglass dan Isherwood, 43). Selain itu, menurut Baudrillard, kemungkinan bahwa ada beberapa mode identitas yang berbeda, serta formasi dan deformasi kebiasaan yang muncul dan membuat signifikansi selera serta gaya hidup menjadi lebih kabur-jika tidak dalam seluruh struktur masyarakat, paling tidak dalam sektor-sektor tertentu, misalnya di kalangan kaum muda dan beberapa fraksi kelas menengah (Baudrillard dalam Douglass dan Isherwood, 47).
Dari eksplansi diatas dapat dianalisis bahwa perkembangan budaya konsumsi berhubungan dengan proses belajar masyarakat, bagaimana masyarakat beradaptasi dan menggunakan instrument-instrumen yang baru tersebut yang pada akhirnya perubahan tersebut diarahkan pada perubahan gaya hidup yang baru. Masyarakat yang telah mengalami perubahan dalam gaya hidupnya secara natural akan berpengaruh pada pembentukan identitas yang melekat pada individu tersebut.
Baudrillard juga menambahkan bahwa, gaya hidup adalah suatau proyek kehidupan dan menunjukkan individualitas mereka serta pengertian mereka tentang gaya dalam kekhususan benda-benda, busana, praktik, pengalaman, penampakan, serta disposisi jasmaniah yang mereka disain sendiri ke dalam suatu gaya hidup. Individu modern dalam budaya konsumen itu disadarkan bahawa dia tidak hanya berbicara dengan busananya, tetapi dengan rumahnya, perabotannya, dekorasi, mobil, dan berbagai aktivitas lainnya yang harus dipahami dan diklasifikasikann dalam kaitannya dengan kehadiran serta tidak adanya selera (Baudrillard dalam Douglass dan Isherwood, 205).
Dalam fenomena pemilihan pelayanan kesehatan, masyarakat dihadapkan pada perubahan dari pelayanan yang sebelumnya bersifat manual, beralih pada pelayanan yang bersifat digital. Dari paparan sebelumnya, masyarakat cenderung memiliki kebiasaan untuk memilih pelayanan kesehatan yang terpercaya dan memiliki layanan yang lengkap. Hal ini disebabkan karena kesehatan merupakan kebutuhan primer yang penting, sehingga mereka akan berusaha sekuat tenaga untuk menjadi sehat. Namun demikian, sebagai gantinya mereka harus ‘menukar’ ketepercayaan dan kenyamanan itu dengan biaya yang relative tidak murah. Sebagai contoh, untuk sebuah general check-up saja, di sebuah laboratorium, pasien harus mengeluarkan dana anatara 600 ribu sampai dengan 1 juta rupiah. Jika mereka memiliki kartu anggota, laboratorium tersebut akan memberikan potongan harga sampai privilege yang ‘menguntungkan’ pasien. Contoh lainnya dapat ditemui ketika seorang pasien akan melakukan pengobatan kesehatannya pada sebuah rumah sakit swasta yang bertaraf ‘internasional’, pasien tersebut pertama-tama akan dihadapkan pada front-liner yang bertugas sebagai customer service yang akan membantu meregister pasien dan mengantarkan pada dokter yang menangani spesialisasi penyakit yang dideritanya. Dengan pelayanan yang serba digital dan computerized, teknis administrasi akaan lebih mudah dan dapat dilayani dengan cepat, sehingga pasien tidak harus mengantri dan menunggu terlalu lama. Jika pasien tersebut harus menunggu, pasien akan ditawarkan untuk menunggu di ruang tunggu yang sangat nyaman, lengkap dengan televise flat dan free wi-fi. Pihak rumah sakit sangat paham bagaimana memperlakukan pasien yang mengantri, sehingga tidak jau dari ruang tunggu akan disediakan café/cafeteria, dan supermarket mini. Sebagai contoh, di Rumah Sakit HCOS, yang bertaraf internasional, mereka sangat ‘menghargai’ pasiennya. Pihak rumah sakit menyediakan berbagai fasilitas yang juga bertaraf internasional, mulai dari fasilitas kesehatan (laboratorium,alat-alat kesehatan, dll), obat yang direkomendasikan, furniture yang digunakan, pelayan kesehatannya (dokter, perawat, farmacist, dll), sampai dengan café dan supermarketnya. Mereka menggunakan brand-brand yang sudah dikenal di dunia internasional, misalnya untuk laboratorium menggunakan brand Glen Eagels, untuk obat-obatan mereka lebih memilih merek dagang luar negeri: Glaxosmithkline, dan Bhoeringer Ingelheim, dengan asumsi lebih qualified dan sudah dipercaya secara internasional. Dari segi estetika, rumah sakit juga pandai memanjakan pasien dengan ‘bekerjasama’ dengan pengelola café yang bertaraf internasional, misalnya McDonald, Starbucks, Excelso, J.Co, Coffee Bean, Cicle K 24 hrs, dll.
Perubahan-perubahan yang terjadi dalam dunia pelayanan kesehatan hampir sama dengan perubahan yang terjadi pada perkembangan konsumsi masyarakat terhadap benda-benda dan makanan. Nilai guna (use-value) barang telah tereduksi dengan nilai tanda (sign-value). Dalam proses perturan pun, barang yang memiliki nilai tanda (benda komodity) bernilai tukar lebih tinggi dibanding dengan barang yang hanya memiliki nilai guna, hal ini dikarenakan benda-benda komoditas memiliki fungsi yang sangat politis ketika dikonsumsi oleh masyarakat. Misalnya dapat meningkatkan gengsi, dan menunjukkan status social tertentu. Demikian pula dengan rumah sakit, nilai guna rumah sakit yang pada awalnya hanya sebagai tempat pengobatan penyakit, beralih menjadi tempat untuk mengukur batas batas kejayaan seseorang. Rumah sakit menjadi tempat untuk mengkonsumsi dan mereproduksi budaya konsumen yang bersifat global.
Jika konsumsi adalah aktivitas manusia yang bersifat primordial, maka budaya tercermin dalam selera. Hal ini disebabkan karena selera mempunyai hubungan yang kompleks dengan struktur, nilai dan ideology sebuah masyarakat. Dalam masyarakat modern, selain kesehatan dipandang sebagai suatu yang utama, bagaimana masyarakat ‘memperlakukan’ kesehatannya juga menjadi suatu yang lebih penting. Menurut Bourdieu, perilaku masyarakat dalam memutuskan pilihan-pilihannya menggambarkan suatu keadaan yang bersifat membedakan dengan masyarakat yang lainnya. Kemudian oleh Bourdieu disebut sebagai selera (taste). Selera, termasuk selera makan (mengkonsumsi) ikut membentuk struktur budaya dalam masyarakat, dan sebaliknya, ia dibentuk oleh struktur budaya tersebut. Maka struktur selera dibentuk oleh kode-kode budaya, dimana kode tersebut harus diinterpretasikan ke dalam benda-benda yang dikonsumsi dan cara mengkonsumsi benda-benda tersebut, sehingga aktivitas mengkosumsi tersebut dapat bermakna secara cultural. Sehingga, masyarakat yang mampu memilih pelayanan kesehatan modern dan canggih, akan dianalogika sebagai masyarakat yang memiliki kultur modern dan berselera tinggi. Karena benda-benda dan cara-cara yang dipakainya identik dan terlekati oleh brand-brand yang juga identik dengan selera yang baik. Dalam hal ini masyarakat, yang oleh Baurillard, diasumsikan tengah mengkonsumsi sebuah benda-benda (dan jasa) yang bersifat komoditas. Artinya, mereka tidak lagi mencari sebuah upaya pemenuhan untuk kesehatannya, namun mereka mengkonsumsi simbol-simbol yang melekat pada benda-benda tersebut, sebagai salah satu upayanya untuk melegitimasi ‘selera’ nya.
Hal ini selaras dengan pendapat Bourdieu bahwa selera bersifat sangat politis, karena berhubungan dengan homogenisasi kepentingan dan peguasaan (hegemonisasi) dari kelas-kelas yang berkuasa. Intinya, selera diciptakan oleh kelas tertentu dan dimasyarakatkan sebagai selera yang lazim. Selera yang ‘baik’ akan diakui secara universal yang akan diimitasi oleh kelas-kelas yang lebih rendah. Selera yang homogen ini terus dikembangkan oleh masyarakat kelas tinggi untuk membuat perbedaan dengan kelas-kelas yang lain. Cara yang ditempuh oleh mereka adalah dengan berlomba-lomba menciptakan sebuah perilaku konsumtif terhadap benda-benda yang bersifat komoditas. Douglass dan Isherwood menilai perilaku konsumsi ini sebagai ‘penggunaan hak milik material’; yaitu menghabiskan nilai material itu sendiri.
Oleh sebab itu, konsumsi dalam pengertian yang lebih luas mencakup hal-hal yang non-material, seperti konsumsi sebagai konsep di balik sebuah tanda (consumption of sign). Bourdieu menambahkan, selera dibagi menjadi 2, yaitu selera yang mengutamakan nilai ekonomis, dan selera yang merujuk pada kebebasan/kemewahan. Secara kasat mata, selera yang merujuk pada nilai-nilai kebebasan dapat ditemukan pada pelayanan kesehatan yang memiliki brand internasional, mereka tidak hanya melabeli prodaknya dengan brand-brand yang ‘berkelas’, cara promosi yang mereka lakukan juga mengadaptasi promosi benda-benda komersil, yaitu dengan metode francise (399-400). Berbagai bentuk francise ini bertebaran di berbagai tempat global, yang pada akhirnya menciptakan penjajahan selera, homogenisasi, standardisasi, internasionalisasi. Hal ini dikarenakan bahwa selera internasional yang ditawarkan adalah selera dari Negara-negara barat, yang mengkondisikan budaya/selera local untuk melakukan imitasi/peniruan. Tidak bisa dipungkiri, globalisasi identik dengan kemajuan teknologi, yang kemudian menggiring pola kehidupan yang serba instan: instant food, instant delivery, fast-food, fast-service, fast-speed, dll (Bourdieu, 398).
Dalam konteks pemilihan pelayanan kesehatan, peran kapitalisme menjadi penentu dalam menciptakan selera masyarakat dengan menawarkan berbagai kecanggihan teknologi, kecepatan pelayanan, dan kenyamanan. Hal-hal tersebut akan mempengaruhi tingkat kepercayaan pasien dalam menentukan pilihannya. Seperti pendapat yang diungkapkan Bourdieu, rumah sakit dan klinik kesehatan sekarang tidak luput dari pengaruh kapitalisme, akhirnya juga memerankan diri sebagai prodak yang bersifat komoditas dan menawarkan selera yang homogen, menciptakan kelas-kelas, dan menjual symbol-simbol dari setiap prodak dan jasanya.
Fenomena ini menunjukkan bahwa dalam dunia kesehatan, hegemoni barat menjadi kekuatan yang sangat berpengaruh dalam penguasaan selera dan kepentingan masyarakat yang bermuara pada symbol budaya. Symbol-simbol yang terlekat pada rumah sakit dan klinik kesehatan ini hampir sama dengan symbol-simbol yang terlekat pada McDonald dan J.Co dimana symbol-simbol tersebut memberikan homogenisasi selera yang mecipakan selera global.

III. Kesimpulan
Selera, oleh Boudieu, bersifat politis. Hal ini dikarenakan selera menciptakan sebuah hegemoni (penguasaan), serta bersifat pembeda. Dalam hal ini, masyarakat sebagai pemilih layanan kesehatan, seperti rumah sakit, klinik kesehatan, puskesmas, dll, dalam hal menentukan keputusannya dipegaruhi oleh selera global. Pelayan kesehatan yang pada awalnya berfungsi sebagai tempat pengobatan, ternyata tidak luput dari pengaruh kapitalisme. Perubahan ini dapat dilihat dari peralihan fungsiya, dari fungsi use-value menjadi sign-value. Konkretnya, rumah sakit – yang modern – mengadaptasi promosi-promosi barang-barang komoditas seperti metode franchise. Selain itu, rumah sakit juga telah terlekati oleh label-label yang memiliki fungsi sign-value, misalnya dengan menggandeng J-Co, Excelso, dan lain-lain. Media promosi seperti yang banyak dilakukan oleh barang-barang yang profit-oriented ini merujuk pada sebuah kondisi bahwa rumah sakit memiliki nilai ganda, selain sebagai temapat pengobatan masyarakat, rumah sakit juga dapat berfungsi sebagai temapat untuk menunjukkan status social seseorang, dan melegitimasi selera tertentu.
Rumah sakit modern yang nota bene memiliki pelayanan yang canggih, cepat dan baik, sebagai gantinya pasien harus menukarnya dengan sejumlah nominal yang tidak sedikit. Artinya semakin canggih dan berprestis sebuah rumah sakit, maka semakin tinggi pula nominal yang harus dikeluarkan. Banyaknya nominal yang dikeluarkan oleh seseorang, akan identik dengan tingginya status social seseorang, ini menunjukkan bagaimana seseorang tersebut membelanjakan uangnya, kepada siapa uangnya dibelanjakan, dan akan dipakai apa uangnya tersebut. Pembedaan kelas ini identik dengan pembedaan selera yang dimiliki oleh seseorang. Seseorang yang memiliki selera yag tinggi akan menjadi role model dalam seleranya, sedangkan orang yang memiliki selera lebih rendah akan berusaha mengimitasi selera yang lebih tinggi. Selera yang lebih tinggi, lebih baik, lebih modern secara natural akan menguasai kepentingan-kepentingan masyarakat kelas bawah. Kondisi nyaman, canggih, ketenangan, kemewahan, kesenangan, hedonism, akan identik dengan masyarakat pada kelas social atas yang memiliki selera yang lebih tinggi, sehingga kapitaslis membidik masyarakat ini untuk mempengaruhi pasar dengan hegemoninya. Karena masyarakat kelas atas akan dengan mudah mengeluarka uang untuk menukarnya dengan barang-barang yang bersifat komoditas.


tulisan ini disusun untuk MK. Advertising and Consumer Culture

Analisa Kultivasi Dampak Sintron Indonesia


Analisa kultivasi pertama kali dikembangkan oleh George Gerbner (1972), Ia meneliti tentang keterkaitan antara media (televisi) dengan tindak kekerasan. Dampak ‘kekerasan media’ ini oleh Gerbner disebutnya sebagai “mean world syndrom”, dalam Cultivation Analysis. Secara teknis Gerbner membagi 2 kategori penonton televisi, kategori pertama disebut Heavy Viewers (pecandu berat), dan Light Viewers (penonton biasa). Hipotesa yang diyakini adalah menonton televisi secara independen akan berkontribusi dalam membentuk konsepsi penontonnya tentang realitas sosial. Artinya mereka yang lebih banyak menonton televisi “hidup dalam dunia televisi” akan memiliki gambaran kehidupan nyata sebagai mana yang dilihatnya dalam televisi itu, yang kemudian oleh Gerbner disebutnya sebagai Television’s Pseudo-reality (West, 83).
Berdasarkan paparan sebelumnya, sudah dijelaskan bahwa fenomena menonton sinetron di Indonesia sudah menjadi sangat kontroversial. Hal ini ditandai dengan banyaknya kritik terhadap sinetron yang dianggap tidak bermanfaat dan membawa pengaruh buruk bagi masyarakat. Jika dianalisa dengan menggunakan analisa kultivasi, maka secara teknis, penonton sinetron pun dapat digolongkan menjadi 2 golongan, yaitu pecandu berat sinetron dan penonton biasa. Bagi analisa kultivasi, seseorang dikatakan pecandu berat TV (Heavy Viewers) jika ia rata-rata menonton televisi 4 jam per hari, atau bahkan lebih lama. Dalam hal ini ibu-ibu rumah tangga sebagai konsumen terbesar dan pengagum berat sinetron dapat dikategorikan dalam golongan pecandu berat (Heavy Viewers), dikarenakan mereka menghabiskan 4 jam atau lebih dari waktunya untuk mengikuti kisah sinetron yang ditayangkan di TV. Hal ini dapat dilihat dari tiap harinya RCTI dan SCTV memutar 4 judul sinetron. Jika satu judul sinetron saja membutuhkan waktu 1 jam, sebagai seorang Heavy Viewers maka ia akan menghabiskan waktu selama 4 jam di depan televisi untuk menonton sinetron. Sedangkan Light Viewers dalam hal ini adalah para pemirsa televisi yang hanya menghabiskan waktunya kurang dari 4 jam sehari untuk menonton sinetron, misalnya bapak-bapak dan remaja, yang lebih cenderung menyukai acara berita atau musik.
Golongan pecandu sinetron ini adalah penggemar fanatik yang akan secara atomatis memiliki ‘jam wajib’ menonton sinetron. Mereka tidak akan melewatkan satu episode pun, karena mereka merasa bahwa kelanjutan kisah sinetron yang mereka ikuti merupakan informasi yang penting sebagai pemenuhan rasa penasaran mereka. Hal ini disebabkan karena mereka telah menjadi bagian dari informasi itu sendiri. Dampak negatif secara langsung mungkin tidak akan terlihat, namun dalam teori kultivasi meyakini asumsi bahwa karena sering terlalu menonton sinetron membuat orang merasa dunia ini adalah tempat yang tidak aman (Signorelli dalam Severin dan Tankard, 321). Dalam fenomena pecandu sinetron ini, para ibu-ibu rumah tangga ini kebanyakan tidak menyadari pengaruh tayangan tersebut terhadap perilaku dan nilai yang mereka internalisasi. Maka, keadaan ini dapat berakibat pada keyakinan mereka yang berlebihan terhadap, misalnya perilaku kekerasan dalam rumah tangga yang terjadi di masyarakat, tindak kejahatan (penipuan, balas dendam, pembunuhan, dll) yang mungkin akan mereka alami di kehidupan nyata. Selain itu juga menumbuhkan stereotipisasi terhadap ras, jender, status sosial tertentu, akibat dari penokohan dan penggambaran karakter yang terlalu berlebihan dalam sinetron. Contoh konkritnya misalnya, ibu-ibu rumah tangga akan lebih bersikap ‘waspada’ terhadap menantu perempuannya, mereka meyakini bahwa sosok menantu perempuan dalam sinetron digambarkan sebagai orang yang materialistis, culas, penuh tipu muslihat, dan licik.
Selain itu, sinetron juga kerap sekali menggambarkan tokoh utamanya (protagonis) sebagai seseorang yang berkarakter lemah lembut, penuh kasih sayang, baik hati, tidak berdaya, dan selalu mendapatkan penindasan dari tokoh antagonis. Namun ia tetap konsisten tidak melakukan perlawanan dalam ketidak berdayaannya, alih-alih dikarenakan sifat pemaafnya, ternyata dia mendapatkan ‘perlindungan’ dari beberapa tokoh pria yang nota bene ternyata menaruh hati padanya. Dari penggambaran ini jelas sekali bahwa sinetron seolah ingin menunjukkan realitas bahwa ‘kebaikan’ akan mendapatkan perlindungan dan ‘diselamatkan’. Menjadi seseorang yang baik itu tidak aman dan akan dimusuhi banyak orang. Sedangkan bersikap melawan penindasan atau berlaku agresif akan cenderung diasosiasikan dengan arogansi, defensif dan negatif. Sebaliknya, sikap submisif, ‘nerimo’, pasif, dan ‘pemaaf’ identik dengan keluhuran, kebaikan hati, dan positif.
Kekhawatiran lainnya terbangun dari penggambaran tokoh suami, sebagai sosok laki-laki yang kejam, suka memukul, pemabuk, tukang selingkuh, dan kerap mengeluarkan kata-kata kotor pada istri dan anak-anaknya. Dalam sinetron, terutama sinetron religi, kisah seperti ini kerap sekali ditemui sebagai tontonan ‘biasa’. Sehingga, pesan yang diterima oleh penonton, terutama bagi pecandu sinetron adalah, istri merupakan sasaran empuk kemarahan suami. Konsep istri yang baik terbangun dengan kualifikasi: diam ketika dipukuli, tidak marah, sabar, selalu berdoa, patuh, lemah lembut, yang pada akhir cerita ia akan mendapatkan ganjaran dari buah kesabarannya. Pecandu sinetron memiliki kecenderungan kurang kritis menerima setiap pesan yang ditampilkan oleh tayangan sinetron, mereka menyerap apa yang mereka saksikan dan dengar secara utuh tanpa filter. Akibatnya, bagi mereka yang menikah maupun yang belum, akan merasa terusik dan tidak nyaman (aman) dengan kehidupan mereka. Ada ketakutan dan kekhawatiran mereka akan mengalami kekerasan dalam rumah tangga seperti apa yang mereka saksikan di sinetron.
Pecandu berat sinetron akan menelan mentah-mentah nilai-nilai tersebut dan meyakininya sebagai gambaran realitas yang sesungguhnya. KDRT dan kerusakan moral merupakan permasalahan penting yang dihadapi bersama. Kenyataan ini yang oleh Gerbner disebut sebagai pengarusutamaan (mainstreaming). Mereka mempercayai sepenuh hati bahwa perilaku kekerasan yang dilakukan oleh tokoh antagonis terhadap tokoh protagonis merupakan potret masyarakat di sekitar mereka. Parahnya lagi, bentuk-bentuk tindak kejahatan yang digambarkan dalam sinetron dapat menimbulkan paranoia sosial, menurut Gerbner disebut sebagai Indeks Dunia yang Kejam. Terdapat tiga asumsi yang membangun mind-set ini, antara lain kebanyakan orang akan berhati-hati untuk diri mereka sendiri; namun tidak terlalu berhati-hati ketika berurusan dengan orang lain; jika tidak maka orang lain akan mengambil keuntungan apabila ada kesempatan (West, 91).
Tidak dapat dipungkiri bahwa televisi memiliki pengaruh jangka panjang yang meskipun kecil, perlahan dan tidak langsung namun sifatnya menumpuk (kumulatif) dan nyata (signifikan). Televisi menjadi media utama dimana para penontonnya belajar tentang masyarakat dan kultur di lingkungannya. Dengan kata lain, persepsi apa yang terbangun dibenak kita tentang masyarakat dan budaya sangat ditentukan oleh televisi. Artinya, melalui kontak kita dengan televisi kita belajar tentang dunia, orang-orangnya, nilai-nilainya, dan adat istiadatnya. Gerbner meyakini bahwa media massa menumbuhkan sikap dan nilai yang sebenarnya sudah ada di masyarakat; dimana media melestarikan sekaligus menyebarluaskan nilai-nilai tersebut kepada masyarakat. Secara ilmiah Gerbner menyebutkan bahwa televisi telah mendominasi lingkungan simbolik, dimana televisi bukan lagi sekedar jendela atau refleksi atas dunia nyata, namun telah menjadi dunia itu sendiri (http://www.jurnal.budiluhur.ac.id/).

tulisan ini disusun sebagai bahan tugas MK. Teori Komunikasi Advanced

membuka cakrawala komunikasi bersama Severin dan Tankard


sebetulnya saya bukan penggemar buku-buku ilmiah...buku-buku teori apalagi. setiap kali mencoba membacanya, saya selalu ngantuk dan stress duluan. mereka jadi semacam depresan mujarab yang dapat meninabobokan saya dengan sukses :)

mengenal buku ini pertama kali ketika saya dikejar deadline paper ujian tengah semester beberapa waktu yang lalu. saya diminta membuat sebuah resume dan critical thinking terhadap salah satu teori komunikasi. kalo tidak salah, namanya Cultivation Analysis. banyak buku yang membahas teori-teori komunikasi, misalnya Littlejohn, West, dan yang paling favorit adalah Dedy Mulyana. buku Severin dan Tankard ini sebetulnya bukan yang direkomendasikan oleh dosen saya, mungkin karena bukunya tebel banget... :p

yang menarik, buku ini kontennya telah diklasifikasikan berdasarkan isu-isu, jika buku yang lain mendaftar kontennya secara kronologis berdasarkan historis dan perkembangannya, buku ini mengelompokkan kontennya berdasarkan konsentrasi bahasannya. misalnya bahasan Media dan Konglomerasi: teori-teori apa yang berkaitan dengan isu tersebut, komplet dengan resume, dan related reseach-nya. poin plus yang dimiliki oleh buku ini adalah, dinamisasi ekplanatorinya, dengan menambahkan argumentasi terkait kritik dan perkembangan suatu teori, asumsi-asumsi yang mendasarinya serta tantangan-tantangan kedepannya jika dikaitkan dengan fenomena sosial yang update. buku ini termasuk sangat lengkap mengupas teori komunikasi, media, public relation, dan sedikit menyinggung regulasi media. misalnya pada bab 17 (Severin dan Tankard, edisi 5), terdapat sebuah kajian cyber media dengan paradigma fakta sosial yang praktis tentang konvergensi media.

bagi pemula seperti saya, buku ini cukup user-friendly, dengan penyajian yang cukup runut dan sistematis, pembaca akan lebih mudah menangkap konsep dari sebuah teori tanpa harus membuat peta teori terlebih dahulu.

selamat membaca...!! :)

bersyukur itu indah


" Dan bahwasannya seorang manusia tiada memperoleh selain apa yang diusahakannya. Dan bahwasannya usahanya itu kelak akan diperlihatkan (kepadanya). Kemudian akan diberi balasan yang paling sempurna (QS: Al Fusilat:46)


teringat obrolan saya dengan ayah beberapa malam lalu di telepon. setelah sekian waktu tidak pulang dan melihat beliau, rasa rindu yang amat sangat mulai menggayuti hati. saat itu saya bercerita tentang rencana-rencana saya kedepan terkait dengan aktivitas yang saya jalani sekarang, kondisi kesehatan yang semenjak seminggu ini drop, dan beberapa permasalahan lainnya. ayah adalah seorang good listener, good adviser dan excellent joker. beliau adalah salah satu idola saya, saya bangga mensejajarkan beliau dengan Soekarno dan Pram, hehehe...

obrolan malam itu lebih cenderung ke curhat, saya merasa menjadi ABG dan kembali ke masa saya SMP dulu, ketika saya merajuk, dan bercerita bahwa saya tidak suka pelajaran fisika, dan ujian saya selalu mendapat nilai dibawah 6... sedihnya...

menit-menit pertama, ayah mendengarkan dengan seksama cerita saya ketika saya 'membohongi' dokter yang mendiagnosa saya terkena gejala typus. ayah paham dengan perangai saya, selalu tidak nurut apa kata dokter.

kemudian tibalah ketika saya yang menjadi the real listener. ayah tidak memberikan banyak komentar, petuah dan nasihat. beliau hanya berpesan: jangan lupa sholat, dan mensyukuri apa yang kamu miliki sekarang.

kalima itu sebenarnya sering saya dengar, saya baca. namun entah mengapa, kalimat itu tiba-tiba menjadi ajaib ketika ayah mengucapkannya.

kemudian beliau melanjutkan: Syukuri kesempitan yang sekarang kamu hadapi, dan yakinlah Alloh akan menunjukkan kelapangan. Karena Alloh tahu kamu bisa melaluinya...Imani itu...

Ayah, tidak terasa aku menitikkan air mata ketika mendengarnya. semagat yang sebelumnya hilang, dan sakit fisik yang kian menambah kesedihanku sontak sirna. aku hanya bisa tersenyum.

"berbagilah dengan sesamamu, dan jadikan setiap detik kehidupanmu bermanfaat..."

Subhanalloh, terimakasih Rabb, untuk semua yang Engkau limpahkan hari ini...terimakasih untuk kasih sayang yang tak terhingga...



love you, Dad... :)

28 June 2010