Dunia Kecilku di Yogyakarta


Tidak ada yang istimewa disini. Kamarku berukuran 3x3m dengan kamar mandi di dalam. Furniture seadanya, satu-satunya barang yang wajib ada di kamarku adalah stereo-set. Tidak perlu ada kulkas atau saluran TV kabel, yang penting bisa mendengarkan musik. Hooo... really, I can’t live the day without listening to the music. Kamarku berada di lantai dua, dengan akses langsung ke udara terbuka, karena memang arsitektur bangunan di sini dibuat terbuka, sehingga akses matahari langsung dapat dinikmati. Alhamdulillah. Setiap pagi hari bisa menghirup udara Kaliurang yang sejuk. Penghuni kost ini sekitar 25 orang, kebanyakan dari mereka adalah mahasiswa UII, sebagian lagi mahasiswa UGM dan karyawan. Aku tidak begitu mengenal teman-temanku disini, hanya beberapa saja yang sering kusapa ketika berpapasan di parkiran. Mereka sibuk dengan urusan dan teman masing-masing. Terlebih lagi, karena di kamar mereka sudah tersedia fasilitas lengkap, jadi tidak perlu merepotkan orang lain. Mahasiswa jaman sekarang.

Tadi malam aku sempat dikejutkan dengan rumpian 2 orang teman kosku. Jarang-jarang juga aku ngerumpi dan bercengkrama dengan mereka, karena aku lebih nyaman di kamar, menonton film atau tidur. Malam itu kami bertiga sedang makan malam bersama di salah satu kamar sambil nonton TV. Entah darimana asal mulanya, tiba-tiba saja salah satu mereka bercerita bahwa ada penghuni kos yang memiliki orientasi seksual yang berbeda, penyuka sesama jenis. Tepatnya 2 orang.  Satu orang di kamar bawah dan seorang lagi di kamar atas. Nah, penghuni yang di lantai bawah inilah yang menjadi bahan obrolan kami, karena dia tinggal sekamar dengan pasangannya. Sementara yang di lantai atas, kamarnya kebetulan agak berseberangan dengan kamarku. Well...
“Kemana saja kamu selama ini, Fiiitt??”
Hehehe.
Aku hanya cengengesan ketika mereka meng-‘update’ beberapa informasi yang... umm...undercover di kosan kami. Sebetulnya aku tidak peduli dengan urusan orang lain, apalagi untuk urusan orientasi seksual. That’s so personal!
Yang ingin aku bagi disini bukan masalah benar atau salah. Tetapi lebih kepada latar belakang dan ‘reason’ mengapa mereka memilih untuk menjadi berbeda. Usil juga sich menganalisa permasalahan orang J
Pendapatku pribadi, untuk usia semuda mereka, mungkin sekitar 20-22 tahunan, belum terlalu mature untuk memutuskan keputusan sepenting itu. Memutuskan sebuah pilihan/ orientasi seksual bukan perkara yang simple, ya kecuali jika hanya didasarkan pada nafsu atau sexual desire, lain cerita. Orientasi seksual itu bisa jadi keputusan yang amat politis dan hey, pertanggungjawabannya dunia akhirat.
Determining your sexual orientation will also determind your whole circumstance and indeed deconstruct the people’s perception
Menentukan lingkungan sekitar, yes. Itu pasti. Kita secara unconscious akan diarahkan pada hal-hal yang sesuai dengan preference kita, teman-teman kita, pekerjaan, hobi, dan habit pun akan merepresentasikan preference yang kita miliki. Karena preference-lah yang membentuk mind-set, cara berpikir. Jika dalam ilmu komunikasi disebut sebagai frame of reference. Dengan frame of reference itulah kita bergerak.
Merubah (persepsi) orang-orang disekeliling, yes. Itu adalah konsekuensi yang akan mengikuti. Tidak bisa dipungkiri, orientasi seksual yang tidak normatif, yang tidak mainstream seperti heteroseksual, masih dipandang sebagai penyimpangan seksual, bahkan pelanggaran norma-norma. Sebagian orang malah memandang sebagai sesuatu yang menjijikkan dan mengerikan. Itulah persepsi. Pertanyaannya adalah, siapkah menghadapi persepsi yang berbeda dari orang-orang sekitar? Dan kita tidak bisa mengendalikan persepsi publik. Sudah menjadi hukum alam, ketika masyarakat mendapati ada yang berbeda dengan norma yang disepakati, maka perbedaan itu akan termarjinalisasi. Maka, pertanyaan selanjutnya adalah, siapkah menghadapi resistensi publik?
Kembali ke soal maturity, informasi yang dikonsumsi oleh generasi muda saat ini telah mendistraksi tugas perkembangan psikisnya. Mereka ‘dipaksa’ untuk berkompromi dengan informasi-informasi yang tidak layak dikonsumsi, sementara mereka belum memiliki dasar pemikiran yang antisipatif dan defensif. Dimaklumi karena kapasitas mereka belum cukup untuk itu. Mereka terbentuk oleh lingkungan yang konsumtif, pasif, dan imitatif. Teknologi informasi, gadget, dan internet merupakan sahabat paling lekat bagi mereka. Passion eksploratif-nya seolah difasilitasi oleh internet dan gadget yang semakin user-friendly. Dan mereka semakin dependen. Tidak bisa dinafikan, violence dan pornografi adalah isu yang paling banyak diminati oleh internet user, tidak salah jika korban sexual abuse maupun violence angkanya tidak pernah turun. Karena memang, regulasi peraturan tidak akan pernah bisa one-step-ahead atau paling tidak mengimbangi perkembangan teknologi informasi.
Lingkungan pergaulan dan tekanan sebaya (peer) juga menjadi faktor penentu bagaimana seseorang mengidentifikasi jati dirinya. Aku masih sangat meyakini bahwa lingkungan yang baik akan lebih banyak memberikan pengaruh yang baik bagi perkembangan, cara seseorang berpikir, dan bagaimana seseorang menghadapi permasalahannya. Banyak cara untuk menemukan jati diri, terutama untuk remaja, salah satunya adalah mengidentifikasikan (dan memaksakan) dirinya dengan kelompok tertentu. Bagi mereka yang gagal berkompromi dengan peer pressure akan mencari cara yang berbeda, merubah preference-nya, atau mundur teratur dan kemudian ‘mengasingkan diri’ dengan dunianya. Kondisi psikis yang labil ditambah dengan kompleksitas permasalahan yang dihadapi merupakan pemicu seseorang untuk mencari sebuah perlindungan sekaligus pembenaran terhadap keputusannya. Demikian pula ketika seseorang memiliki permasalahan relationship, ketidaknyamanan seolah menjadi blaming dan afirmasi bahwa sah-sah saja memutuskan sebuah keputusan yang ekstrem.
You will never get through the way, unless you stop thinking and start trying.
Tapi, untuk tahu bahwa itu tahi kambing, kita tidak perlu mencicipinya terlebih dahulu kan?
Hehehe.
No offense.
Salah seorang teman, yang juga memiliki orientasi berbeda dengan saya, pernah bercerita bahwa untuk memutuskan menjadi berbeda dengan heteronormatif itu perlu perjalanan dan ‘penelitian’ yang panjang.
“Kamu harus mencari dari dalam dirimu, jauh dari dalam dirimu. Menjawab pertanyaan-pertanyaan yang liar dalam kepalamu sampai kamu merasa seolah isi perutmu juga telah masuk kedalam kepalamu” ujarnya.
Intinya sich tidak instan. Tidak make sense jika keputusan itu diambil hanya atas dasar tekanan dari orang lain atau life-style. Semua itu karena ia tidak mau main-main dengan keputusannya, selain itu karena ia mempertaruhkan seluruh hidupnya, masa depannya untuk kehidupan baru yang akan ia jalani.
Well guys, just choose the option not because other’s desire, but yours. Mature is not about the courage to make up your mind, but it is also being responsible of the consequeces followed.




0 komentar: