Jika biasanya
aku hanya butuh waktu satu bulan untuk menyelesaikan screenplay sampai dengan
draft ketiga, sudah hampir 2 minggu screenplay-ku masih berupa raw material
yang belum kelihatan ‘warna’nya. Payah! Salahku juga kenapa aku memaksa Padma ikut dalam project ini. Dari awal
sudah kusadari bahwa nantinya pasti bakal repot. Mendengarkannya berteori kesana kemari.
Banyak hal yang
aku pertaruhkan ketika memutuskan
untuk ‘mengontrak’nya menjadi co-scriptwriterku, termasuk menghapus Ale dari list credit title. Maklum jika nantinya
mungkin Ale akan membenciku seumur hidup. Tidak ada yang immortal di dunia ini.
Yang pasti aku yakini hanya kematian dan kelahiran. Segala yang ada diantaranya
pasti berubah.
Film terbaruku,
Biru Hari Suri, adalah sebuah film bergenre surealis. Bercerita
tentang perjuangan seorang musisi wanita yang sedang menjalani pemulihan adiksi terhadap narkoba. Bagaimana
beratnya berperang melawan dirinya sendiri sekaligus menghadapi rumitnya permasalahan psiko-sosialnya sebagai istri, ibu, dan anggota masyarakat. Porsi monolog
interpersonal akan lebih banyak dalam film yang berdurasi tidak lebih dari 20 menit ini. Karena tujuan utama pembuatan film ini tidak lain untuk menunjukkan sebuah penyakit otak yang disebut
adiksi dan penderitaan yang diakibatkannya. Settingnya kuambil di Yogyakarta,
kota yang katanya damai itu.
Padma
yang duduk disebelahku masih sangat serius
membaca naskah yang dipegangnya. Begitu fokusnya sampai-sampai ia tidak menyadari bahwa aku mengganti rute perjalanan.
“Bagaimana bisa
seorang perempuan kamu visualisasikan seperti itu? Kurasa kamu terlalu
overexposed dengan tokoh utamanya” ujarnya, sementara matanya masih
menatapi teks yang dipegangnya.
“Kalau
karakternya biasa-biasa saja, apa menariknya?”
“Bukan… aku
hanya sedikit kurang setuju dengan bagaimana kamu mendeskripsikan bahasa
tubuhnya, karakternya, dan…aku tidak ingin dia terlihat lemah seperti itu” Ia mulai
menganalisa.
“Tapi tidak
dengan tokoh yang satu ini, perempuan ini seorang mantan drugs addict, yang masih berjuang untuk recovery, tidak sesimpel itu. Dia menjadi seperti itu karena
kodependensi” coba kujelaskan.
Alisnya berkerut mencoba mencerna eksplanasiku.
“Sebaiknya kamu memperluas
pergaulan, observasi dulu kepada perempuan pecandu atau pasangannya. Cari tahu apa
isi otak mereka. Mereka memiliki kondisi
psikologis yang berbeda dengan kamu” aku kembali menambahkan.
“Aku? kamu juga!”
“Kamu, bukan
aku”
aku mengoreksi kalimatnya.
“Jangan bilang
karena kamu laki-laki”
Aku tersenyum.
“Jangan bilang
juga kalau kamu pernah atau masih pakai drugs!!”
Aku menyeringai.
Kuputar stereo-setku.
“Ini salah satu
penyanyi blues favoritku, Katie Melua”ujarku mengalihkan fokus pembicaraan.
“Oh come-on!”dihempaskannya tubuhnya di sandaran kursi dan melempar
naskah scenario itu kepadaku. Terlihat sekali ia gemas dengan sikapku. Untuk
beberapa saat kami terdiam menikmati jalanan yang mulai lengang. Ia masih
menatap keluar jendela, menghitungi pepohonan.
Perempuan tidak
memiliki banyak pilihan, kenapa? Ya karena dia perempuan. Secara psikologis
begitu. Kalaupun dia kuat, ya karena dia tidak punya pilihan lain selain berkompromi. Konsep itu yang
tidak pernah Padma terima.
“Coba browsing filmnya Phillip Van, judulnya High
Maintenance, atau um…aku lupa sutradaranya, judulnya Perfection. Semuanya
bercerita tentang perempuan dengan berbagai sudut pandang dan kepentingan” kubuka lagi
pembicaraan.
Tak
lama kulihat matanya sudah mulai sibuk kembali memandangi layar tabletnya.
“Karen Lin,
Perfection, dirilis tahun 2004, dan menjadi salah satu nominator di DC APA Film
Festival” tuturnya.
Dilanjutkannya dengan menonton sebuah tayangan video.
“Bagus?”aku
bertanya setelah film pendek itu tamat.
“Bagus, ‘I’m just trying to make you more perfect-Mom’…Tagline yang intriguing” Ia kembali
menganalisa.
“Apa dunia
perempuan
memang demikian” aku bertanya lagi
“Absolutely NO, itu konstruksi!
Makanya aku tidak mau jika filmmu ini membangun konstruksi yang sesat lagi” dengan tegas
Padma menukas kalimatnya.
Aha!
Sesat. Betapa telingaku gatal oleh istilah itu. Rupanya Padma masih belum memahami benar struktur nilai film yang disutradarai oleh Phillip Van:
Seorang perempuan, walaupun seolah telah memiliki kuasa atas semua kehendak dan
hasratnya, nyatanya justru untuk pilihan yang paling personal, ia malah tidak
berdaya. Tetap kalah. Sebuah paradoks yang menarik.
“Film High
Maintenance ini tidak bermutu, merendahkan sekali. Manusia tentu berbeda dengan
robot!” benda elektronik itupun disimpannya lagi ke dalam tasnya. Tidak bisa disembunyikan bahwa ia
sedikit terintimidasi.
Film-film
dengan tema seperti ini sebetulnya sudah banyak beredar di masyarakat, pernah
nonton Terminator Rise of the Machine? Musuhnya si Arnold kan juga robot
perempuan. Pemirsa saja yang tidak sensitif.
“Every 3 minutes
a woman is beaten, every 5 minutes a woman is raped, every 10 minutes a little
girl is molested. That’s a fact!” tambahnya.
Oh,
Gosh! Kupikir dia sudah menyudahi argumentasi dan analisanya. Rupanya dia tadi
sempat membuka website BPS atau lembaga survey, paham benar soal pendataan.
Valid tidaknya data tadi, aku tidak peduli.
“Coba amati
lebih teliti, nona…film Perfection itu dibuat oleh siapa? Karen Lin, seorang
perempuan. Ketika aku menonton sebuah film, aku hanya menempatkan diriku
sebagai orang awam yang tidak memiliki preference tertentu, sehingga aku akan
melihatnya seperti apa
adanya. Si Lin cuma mau menggambarkan sebuah
ironi, jika seorang perempuan menuntut kesempurnaan, maka
yang ia peroleh tidak lebih dari sebuah ketidaklengkapan,
ketidaksempurnaan. Seperti permainan Perfection. Perempuan bernama Karen Lin ini,
terlepas dari dia seorang film director, mengakui bahwa dunia perempuan memang
telah terdesain seperti itu adanya. Terima dan jalani” ujarku akhirnya, aku
miskin data.
“Tunggu, Karen
Lin hanya satu dari sekian ratus film director yang berjenis kelamin perempuan,
pak.
Menurutku masih banyak film director perempuan yang film-filmnya tidak bias jender, let say Sofia Coppola, Jane Campion, dan Kathryn Begelow. Mereka juga bukan
sutradara yg
naif dan narrow-minded” tandasnya tidak
mau kalah. Oke, Aku kenal siapa Sofia Coppola. Lost in Translation adalah salah
satu film favoritku. Dan aku paham benar blueprint film para
sutradara-sutradara itu. Tapi mereka telah takluk oleh agenda besar Hollywood.
“Realitanya,
film yang menang Grammy atau Oscar rata-rata sutradaranya laki-laki. Dari sisi
jumlah, sutradara laki-laki jauh lebih banyak. Silakan browsing” kujawab
singkat.
“Oleh
karena itu aku berkewajiban untuk menyadarkan orang seperti kamu, menyadarkan
masyarakat bahwa selama ini perempuan, dimana-mana hanya dipotret dari kamera
laki-laki. Dan itu dominasi. Para oknum yang memegang kamera inilah yang
melakukan seleksi sekaligus mengatur bagaimana sebaiknya perempuan tampil.
Bagaimana supaya terlihat menyenangkan dan indah di depan kamera dan di depan publik.
Pleasing the ‘public’ eyes, yang tidak lain hanya akan menyenangkan mata kaum
laki-laki. Selain itu, aku juga akan memberimu pencerahan bahwa perempuan itu
lebih kuat dari laki-laki. Sejarah sudah membuktikan, tidak hanya perjuangan
Kartini saja, tetapi banyak pejuang wanita yang juga membawa perubahan
pemikiran bagi bangsa Indonesia, terutama kaum perempuan. Rohana Kudus dan Cut
Nyak Dhien misalnya. Mereka tidak hanya memiliki ide yang cemerlang tentang
perubahan, tetapi mereka juga telah mewujudkannya dalam sebuah tindakan nyata.
Rohana Kudus, adalah salah satu inspiratorku” Ia kembali menegaskan.
Kali
ini kalimatnya sudah mirip dengan presenter talkshow yang sedang ngomong di
depan kamera. Perempuan ini memang pandai. Dan berbicara dengan orang seperti
ini harus pakai teknik.
“Setahuku,
Rohana Kudus juga mengajarkan bahwa seorang perempuan sampai akhir jamanpun
tidak akan pernah bisa menyamai laki-laki. Perempuan tetap menjadi perempuan
dengan segala yang melekat padanya”
Padma terdiam sesaat. Terlihat sekali bahwa ia sedang tidak enak hati padaku. Dan aku tahu diskusi kami masih akan
terus berlanjut. Biarlah. Paling tidak
untuk saat ini dia harus menerima pemikiranku. Setiap manusia adalah pengembara
yang berjiwa bebas. Lantas mengapa setiap kehendak harus terbatasi? Mengapa
setiap arah yang berbeda dianggap penyimpangan?
“Ini arah kemana
mas??? Ini
bukan jalan menuju apartmenku!”
Bagaimanapun
juga, laki-laki
itu pemimpin, nahkoda yang akan mengarahkan kemana kapal itu akan berlabuh. Itu kodrat. Aku tersenyum penuh kemenangan.
…With the roll
of my dirty dice, I'm only following the devil's advice. I'll take your love
and leave my kind regards, But I never cheat at cards … [Dirty Dice by Katie
Melua]
0 komentar:
Posting Komentar