Bingkai II
Sang Penikmat Jaman
Membuat film itu adalah panggilan jiwa. Karena
bagiku, menjadi sutradara lebih merupakan sebuah jalan hidup dari pada suatu
pencapaian. Memulai belajar memaknai kehidupan sekaligus bereksperimen. Naif
jika seorang sutradara hanya mampu menggambarkan sebuah realitas berdasarkan
mimpi atau imajinasinya saja. Menjadi sutradara artinya berani
mengalami, termasuk mencoba pengalaman yang paling ekstrem
sekalipun. Bagaimana bisa menggambarkan dengan sempurna pedihnya ditinggalkan seorang
kekasih jika belum pernah merasakan jatuh cinta dan patah hati. Tapi, untuk
memvisualisasikan kematian, tidak harus mati lebih dulu. Tapi, sutradara harus menjadi orang yang serba tahu, serba bisa, karena
dia satu-satunya yang berkuasa mengeksekusi sebuah film. Jadi, untuk menjadi sutradara, eksperimen itu
mutlak.
Pesan yang terkandung dalam filmku dapat
tersampaikan dengan baik kepada khalayak, itu adalah goal terbesarku.
Mendapatkan apresiasi, apalagi dari dunia internasional, itu bonus. Sejujurnya
aku bukan penggila award. Kusadari penuh bahwa ajang penghargaan semacam Grammy
dan Oscar tidak lebih dari sekedar kompetisi prestis para kapitalis yang
bermain di industri perfilman dunia. Tidak heran jika pemenangnya adalah
film-film yang bermodal besar.
Bagiku, film adalah sebuah potret bergerak dari
sebuah jaman, sebuah benchmark. Beruntung sekali aku pernah hidup pada jaman
keemasan seorang Putu Wijaya sampai dengan Garin Nugroho. Mereka berhasil
menandai jaman kehidupan mereka dengan film-film yang berkualitas, tontonan
yang cerdas. Lebih tepatnya, para sutradara itu telah mendokumentasikan
fenomena-fenomena menarik pada jamannya menjadi sebuah karya yang kelak akan
tetap dikenang, dipelajari, dinikmati oleh generasi berikutnya. Dan aku
termasuk salah satu penikmatnya.
Perjalananku untuk menjadi seorang sutradara bisa
dikatakan sebagai sebuah ‘kecelakaan’. Masih terekam jelas dalam benakku akan cita-cita
masa kecilku dulu adalah menjadi seorang polisi. Mungkin pada waktu itu aku
berpikir bahwa polisi adalah sosok pahlawan, a good guy bagi setiap orang,
sosok penyelamat bangsa. Namun seiring waktu, cita-cita menjadi polisi itu pun
sirna. Entah mengapa. Aku sudah tidak ingat setelah itu aku bercita-cita
menjadi apa lagi. Yang aku ingat, aku sangat tertarik pada iklan tivi. Jika
banyak orang cenderung akan mematikan atau mengganti saluran tivinya ketika
jeda iklan, berbeda denganku. Aku suka berlama-lama mengamati setiap detik
iklan yang ditayangkan. Menurutku, betapa hebatnya si pembuat iklan, harus bisa
membujuk, merayu, dan menyakinkan penonton yang rata-rata benci iklan tivi untuk
membeli prodak yang dipasarkannya hanya dalam hitungan detik. Pasti ada
tekniknya, pasti ada ilmunya. Itulah yang menginspirasiku.
Seperti sekarang, ini adalah hari pertamaku
menghidupkan tivi setelah hampir dua minggu aku berjibaku dengan layar komputer.
Agak asing juga ketika aku menonton beberapa tayangan di stasiun tivi nasional.
Lebih tepatnya prihatin. Tidak ada yang menarik sama sekali sebab acaranya homogen.
Paling sinetron itu-itu saja, dan yang main itu-itu juga. Parahnya, temanya
juga itu-itu melulu. Yang lucu lagi adalah program news. Sudah tidak bisa
dibedakan lagi antara infotainment dan news. Coba saja perhatikan bahasa tubuh
presenter berita atau seorang reporter ketika menarasikan fakta di lapangan, tampak
emosional sekali. Belum lagi diksi, terminologi yang dipakai, sangat pretensius.
Sebelas dua belas dengan acara gosip yang populer dengan kemasan ‘reportase’
dan ‘investigasi’, karena memang beginilah potret selera masyarakat tivi pada
umumnya. Inilah market. Disadari atau tidak, setiap tayangan tivi tidak akan
pernah lepas dari kepentingan, apapun. Dan, tidak ada fakta yang netral di
jaman sekarang.
Kupindahkan saluran tivi yang sedang menayangkan
sinetron tidak bermutu tadi, ke saluran lainnya. Kupindah lagi. Dan kupindah
lagi. Stop. Sebuah acara talkshow. FRAME!. Dan news anchor yang beberapa waktu
lalu mewawancaraiku kini juga sedang asyik berbincang dengan para bintang
tamunya. Untuk beberapa menit aku terfokus pada acara itu. Bukan, aku sama
sekali tidak tertarik dengan tema pembicaraan mereka. Aku tertarik dengan
komposisi. Komposisi yang begitu cantik. Komposisi yang sempurna.
***
“Mas, ini naskah basic story dari briefing kita
minggu lalu. Beberapa bagian sudah dire-write oleh Ale” Edo meletakkan sebuah naskah
bersampul biru di mejaku.
“Thanks Do” kemudian kubaca dengan seksama lembar
demi lembar. Edo masih berdiri di sebelahku.
“Ale memang payah...”gumamku kecewa.
“Kurangnya dimana, mas?”tanya Edo.
“Aku butuh orang yang benar-benar paham scriptment
untuk film, bukan cuma bisa nulis naskah”
“Kita briefing lagi, mas?”
“Briefing seratus kali pun kalau dia tidak bisa
mengikuti jalan pikiranku, ya buang-buang waktu saja”tukasku. Kukembalikan
naskah itu pada Edo.
“Ale kan teman baikmu, dia juga yang menulis skenario
filmmu yang kemarin” Edo mencoba berargumen. Sudah terlalu sering masalah
teknis seperti ini terjadi. Seorang script-writer memang bukan manusia
sempurna, mungkin dia bagus ketika menulis naskah drama, tetapi belum tentu
bisa mendeskripsikan film-film bergenre surealis, demikian juga sebaliknya.
“Masih banyak script-writer yang lebih pandai dari
dia”jawabku acuh. Kemudian kutinggalkan Edo yang masih berdiri mematung.
Selain masalah scripment, aku juga tidak mau
bermain-main dengan tatanan musik, apalagi untuk film-filmku. Edo dan yang
lainnya tahu bahwa aku sangat rewel pada saat scoring. Mungkin karena itu juga
sampai saat ini aku masih belum ketemu soulmate untuk scoring film.
Kunyalakan radio, dan kulajukan mobilku. Digital
tuning radioku berhenti pada salah satu radio station. Sebuah lagu yang tidak
asing, Seal, A Kiss from A Rose. Lagu lama yang menurutku masih enak didengar
sampai saat ini. Walaupun bukan lagu favorit, tapi aransemen musik dan dinamika
vokalnya cukup bagus. Tetapi untuk sebuah soundtrack film superhero sekaliber
Batman, spiritnya masih kurang kelam. Kunaikkan valume radioku. Dan, sepertinya
aku mendapatkan inspirasi dari komposisi aransemennya. Setelah hampir satu jam
bertarung dengan macetnya jalanan, kuhentikan mobilku di sebuah coffee shop,
dan segera bergegas memasuki bangunan bergaya klasik itu.
“Hai, sudah lama menunggu?” sapaku. Kutarik sebuah
kursi dan mengambil posisi di hadapannya.
“Anda membuang waktu saya 10 menit lebih 39 detik”
jawab Padma seraya menunjukkan arloji warna perak yang melingkar di tangan
kanannya padaku.
“Akan aku bayar 10 menit 39 detik kamu dengan sebuah
tawaran kerjasama, bagaimana?” kusodorkan table menu padanya.
“Jasmine tea” jawabnya.
“Coffee?”
“No, thanks. I prefer green tea than a dark-black-coffee.
Walaupun sama-sama pahit dan mengandung kafein, aku lebih memilih yang tidak
pekat” ujarnya sambil tersenyum.
“Begitu ya”
Sebetulnya aku sudah menebak kalau perempuan ini bukan
penyuka kopi.
“Aku pernah menjadi seorang peminum kopi, tapi tidak
sampai adiksi. Hanya penikmat saja. Kalau kamu, mas?”
“Kopi adalah partnerku”jawabku datar.
“Pekerjaan yang juga mengkondisikan kamu untuk
berpartner dengannya”
“Mungkin, tapi aku sudah jatuh cinta ketika aku
menikmatinya pertama kali”
“Ohya? Kapan kamu pertama kali minum kopi?”
“Lupa”
Dan itu benar, aku sudah jatuh cinta pada kopi jauh
sebelum aku menyadarinya. Aku pecinta kopi, penikmat kopi, dan aku butuh kopi.
Bagiku, kopi ya kopi, apapun jenisnya. Tidak juga fanatik dengan jenis kopi tertentu.
Aku suka semua kopi, baik yang dicampur krim, yang pahit, sampai dengan yang
‘disaring’ setetes demi setetes. Kopi yang nikmat adalah ketika kita bisa
menikmatinya dengan jiwa dan raga.
“Aku menawarimu bermain di filmku yang terbaru,
Padma”ujarku spontan.
“Eh?!”Padma terbelalak dan mengentikan sesapan
tehnya.
“Skenarionya sedang aku kembangkan”
“Bukannya kemarin kamu baru saja membuat film, mas?”
“Kalo berhenti membuat film berarti aku berhenti
jadi sutradara”tandasku datar
“Aku tidak punya bakat ekting yang nangis-nangis
atau menjadi orang psycho seperti di film-filmmu”
“Kamu berbakat, aku tahu. Dan itulah keahlianku”
tandasku lagi
Padma hanya menggeleng-gelengkan kepalanya sambil
tersenyum simpul. Disesapnya teh melati di tangan kanannya. Bibir mungilnya
menyentuh bibir cangkir berwarna salem bermotif cherry blossom. Kemudian matanya
terpejam, sekian detik menikmati aroma melati dalam kehangatan tehnya, sangat
rileks. Setelah menyesap teh warna merah keemasan itu dengan penuh perasaan,
ditaruhnya kembali cangkir klasik itu pada tatakannya. Bibirnya basah, aroma
teh bercampur wangi melati tercium olehku yang hanya berjarak kurang dari satu
meter. Dikulumnya kedua bibir yang basah itu seolah tidak ingin menyisakan teh
melatinya sedikitpun. Rambutnya yang hitam tergerai tertiup angin dari jendela
yang terbuka di samping kanannya. Perempuan ini begitu artistik.
“Aku menolak, mas” jawabnya. Aku sedikit terkesiap.
“Maaf kalau jawabanku mengecewakanmu” tambahnya.
Aku hanya mengangkat bahuku. Dan menyesap kopiku.
“Karena kamu tidak memiliki keberanian
mengeksplorasi sesuatu yang baru, yang bertolak belakang dengan apa yang kamu
yakini saat ini” kuletakkan cangkir kopiku dan menyulut sebatang sigaret.
“Misalnya?”
“Menjadi objek”jawabku. Kepulan asap tipis keluar
dari mulutku.
“Well, aku semakin memiliki alasan kuat untuk
menolakmu”
“No offends”
“Aku tidak memiliki eksplanasi lain tentang
tema-tema filmmu selain showing power, patronage, dan hegemoni kaummu. Para
lelaki”Padma mengambil sebatang sigaret yang sama dan kemudian menyulutnya. Aku
tersenyum santai.
“Film terbaruku tentang seorang musisi perempuan”
ujarku.
“The pianist?”
“Beda, genrenya bukan klasik. Hanya tertantang untuk
membuat film yang sedikit nge-pop, musical, dan feminin pastinya”aku memberikan
sedikit penekanan pada kalimatku. Dahi Padma mengernyit, dan matanya yang bulat
itu memandangku serius. “Kamu bisa main gitar?” kutanya lagi.
Ia menggeleng.
“Aku bisa mengajarimu nada-nada dasar, dan melatihmu
beberapa teknik memetik gitar untuk footage”aku kembali menambahkan.
“Aku belum memberikan pernyataan bahwa aku bersedia
bermain di filmmu”Mata bundar itu semakin berbinar menatapku. Tajam.
“Nomer handphoneku masih sama, sms saja kalau kamu
sudah mendapatkan pencerahan”selorohku ringan.
Padma tersenyum, sederet gigi putih itu membuat aura
wajahnya merona.
“Thanks tawarannya mas Wishnu, tapi jadwal
pekerjaanku di RTV sangat ketat. Maaf, aku tidak bisa bekerjasama dengan
anda”diletakkannya sigaret di tangan kirinya di atas asbak.
Aku tersenyum. Kucondongkan badanku sedikit lebih
dekat padanya.
“Ada waktu atau tidak ada waktu itu sebernarnya
pilihan, nona...Kamu berhak menentukan apa yang akan kamu kerjakan, dan
bagaimana kamu akan mengisi waktumu. Waktu itu tidak bisa digantikan dengan
setahun gaji plus tunjangan ini dan itu. Semua tentang bagaimana kamu menjalani
hidupmu”aku serius mengucapkannya. “Break your comfort zone, tidak ada yang
akan mengutukmu” kuakhiri kalimatku. Mata kami masih bertatapan.
Tak lama aku melihatnya tergelak renyah. Diambilnya
lagi sigaret yang masih mengepulkan asap tipis itu dan menghisapnya ringan.
“No wonder kalau kamu seorang film director, karena
kamu memang sangat persisten sekaligus piawai memprovokasi orang lain” ujarnya
sembari merapikan rambutnya.
“Sekarang, coba katakan dimana letak
ketidaksepahamanmu dari kalimatku tadi, jika dianalisa dari seorang news anchor”
kusodorkan cangkir teh berwarna salem itu padanya. Senyumnya kembali
mengembang. Diambilnya cangkir itu dari tanganku.
“Tehku sudah habis, I want more. I want you to
convince me more, until I discover the truths. Then, I’ll put all my faith on
you. I promise” ujarnya dengan intonasi yang tertata dan penekanan yang menyita
perhatianku.
“Got it”
***
Perempuan itu masih nanar, wajahnya tegang. Aku tahu
dia sedang menahan amarah yang luar biasa di dadanya. Ia masih memakai terusan
warna kelabu, sanggul rambutnya sudah tidak rapi. Terlihat sekali bahwa dia
tidak memperhatikan penampilan tubuhnya. Diluar gerimis masih terus membasahi
jendela yang setengah terbuka, sesekali gemuruh guntur semakin membuat suasana
senja itu semakin dramatis. Perempuan dengan terusan kelabu itu masih duduk
disebelah jendela yang sedikit terbuka, memegang sebuah buku kecil berwarna
hijau. Tak lama seorang lelaki setengah baya muncul dari balik kamar,
menghampirinya dengan langkah perlahan. Kudengar mereka beradu mulut, aku tidak
mengerti apa yang sedang mereka pertengkarkan. Beberapa saat kemudian,
perempuan itu menghambur pada lelaki di hadapannya sambil memukul-mukulkan
kepalan tangannya. Sangat emosional. Kalimatnya tidak jelas karena ia
mengucapkannya sambil menangis. Lelaki itu berusaha menenangkannya, tetapi
perempuan itu semakin agresif. Saking emosionalnya, perempuan itu kehilangan
keseimbangan dan terjatuh menabrak lemari kaca yang berisi perkakas rumah
tangga sehingga menimbulkan suara yang sangat keras. Perempuan itu menjerit
histeris. Beberapa barang pecah belah menimpa tubuhnya. Aku berteriak...
“Wishnuu!!....hei...bangun...Wishnuu!!...Wishnu!!!...”
Aku tertegun sepersekian detik dengan nafas yang
memburu. Keringat sebutir-butir jagung membasahi wajah dan tubuhku. Kuhela
nafas perlahan.
“Kamu mimpi apa? Kok sampe kayak gini siiihhh?” Tia
yang terbaring disampingku menyeka keringatku dengan tangannya.
“Hantu”jawabku asal. Masih jelas kudengar suara
cangkir dan beberapa benda berjatuhan. Mata perempuan itu, dan...
“Nih, minum dulu... Emang ngeliat hantu apaan sih? Serem
pastinya ya? Cerita dong...”Tia menyodorkan segelas air putih dan menatapku penasaran.
“Hantu jembatan ancol”aku masih menjawabnya asal.
Kemudian kudekap perempuan disampingku itu erat-erat. Tak berapa lama ia sudah
terlelap kembali. Sementara kantukku tiba-tiba sirna. Semakin kupejamkan
mataku, semakin jelas kulihat gambaran mimpiku. Bertahun-tahun sudah aku
dihantui oleh mimpi yang sama, seolah menjadi skenario yang tidak pernah
selesai, film yang tidak pernah tamat.
Sampai fajar menjelang, aku hanya menatapi
langit-langit kamarku. Otakku mandeg. Tidak bisa berpikir. Ide dan segala sesuatu
dalam kepalaku seolah menguap. Habis tak bersisa. Jika banyak yang beranggapan,
waktu akan menyembuhkan luka. Itu tidak berlaku buatku. Waktu semakin menyiksaku.
Dan pedih ini tak dapat ku tahan lagi. Segera kukenakan pakaianku dan kusambar
kunci mobilku. Aku ingin pergi sejauh-jauhnya. Namun ternyata kegaduhanku
membangunkan Tia.
“Kamu mau kemana? Masih jam 4 pagi sayaaang...”Tia
mengerjap-ngerjapkan matanya dan melihat jam meja disebelahnya.
“Aku ada urusan”
“Ikuuuutttt...”spontan ia bangun dari tidurnya dan
menyalakan lampu.
“Tidak”tukasku cepat
“Aaah...aku ikut pokoknya...aku takut sendirian di
apartmenmu...”rengeknya manja.
“Kamu tetap disini”
“Kamu bilang ada hantunya kaaannn??”sekarang dia
bergelayut di pundakku.
“Itu kan dalam mimpiku, mana ada hantu keluar
subuh-subuh begini”kulepaskan rangkulannya.
“NGGAK BISAAAA, ikut pokoknya!!” teriaknya seraya
meraih blusnya di sisi tempat tidur.
“Aku tidak mengancammu, tapi kalau kamu memaksa, aku
bisa berbuat sesuatu yang sangat mengerikan. PAHAM?” ujarku dingin, kuletakkan
kedua tanganku di wajahnya dan menatapnya serius. Air mukanya berubah, dan aku
tahu dia akan menangis dan menggerutu sepanjang hari, terakhir, mematikan
ponselnya. Peduli setan!.
Kubuka pintu apartemen dan melangkahkan kakiku
menuju lift yang terletak di ujung lorong. Jika beberapa jam yang lalu isi
kepalaku seolah lenyap, kini sebaliknya. Kepalaku terasa penuh sesak. Sesak
oleh banyak hal, peristiwa, dan orang-orang. Kukemudikan mobilku dengan
kecepatan tinggi, seolah ingin mengimbangi keliaran dalam alam bawah sadarku.
Aku belum tahu kemana tujuanku berkendara atau dimana nanti aku akan berhenti.
Mataku melirik laci dashboard, kubuka perlahan. Baiklah, mari kita mengejar
matahari! Teriakku dalam hati. Kuinjak pedal gas lebih kuat, dan kuarahkan
mobilku menuju selatan. Kurang lebih satu jam, akhirnya sampai juga di tempat
ini. Sebuah pantai. Lama sekali aku merindukan tempat ini, aku rindu
mengabadikan pantai dan matahari terbit. Semilir angin yang dingin membasuh wajah
dan tubuhku, pasir-pasir yang lembut membelai mesra telapak kakiku, tidak ada
suara apapun yang kudengar kecuali deburan ombak yang saling bersahutan silih
berganti. Rembulan dan bintang-bintang malam masih terlihat walaupun sudah
sedikit samar, menandakan fajar akan segera terbit. Aku berdiri mematung,
memandangi ombak besar yang menyapu kedua kakiku, membiarkan wajahku basah oleh
hempasan ombak. Jiwaku seolah melebur dengan pekatnya malam, melayang diatas
samudra raya, jauh menuju timur yang semakin terang tak berbatas.
Entah sudah berapa lama aku hanya menatap garis
pantai, menikmati suara ombak yang bergemuruh tanpa henti dan terlarut dalam
suasana pagi yang syahdu. Sungguh menentramkan. Kulihat fajar yang berwarna
keemasan sudah mulai terbit. Kubuka lensa kameraku, menyetel diafragma, dan
pencahayaan. Matahari terbit, pantai, dan karang, benar-benar sebuah komposisi
yang sempurna.
Puas bermain-main dengan gambar tidak bergerak, matahari
pun mulai menghangati wajahku. Kutinggalkan bibir pantai dan melangkah menuju
mobilku. Seperti tersadar bahwa hari ini agenda pekerjaanku sangat padat, salah
satunya adalah bertemu Padma. Aku memintanya untuk membantu produksi filmku
yang terbaru.
Tidak terlalu sulit untuk mencari tempat tinggalnya,
karena ia tinggal di salah satu kawasan populer di Jakarta, sebuah kompleks
apartemen yang unitnya cukup elit. Kamarnya terletak di lantai 21 dari 30
lantai. Setelah yakin dengan nomor unit yang tercantum di dinding, lantas kutekan
bel. Tak berselang, pintupun terbuka. Padma muncul dengan senyum khasnya.
“Hai” sapanya ramah. “Silakan masuk”. Kulihat
penampilannya sangat santai dengan celana 7/8 dari bahan katun, dan t-shirt bergambar
Smurf, sekilas kuamati.
“Nggak ngantor?”tanyaku kemudian duduk di sebuah
sofa warna peach.
“Off, hari ini aku off”
“Baguslah”selorohku, sementara mataku masih terus
mengamati detil interior ruangan apartemennya.
“Itulah mengapa aku mengundangmu kemari. Aku lagi
malas keluar rumah” ia tersenyum melihatku jelalatan. “Kopi?”
“Eh?!, boleh...”segera kujawab. Padma kemudian berdiri
dan berjalan ke ruang yang boleh dibilang mirip dapur. Tetapi aku tidak melihat
ada kompor atau benda-benda berapi disana. Karena penasaran kemudian aku
menyusulnya.
“Ini dapur? Sepertinya ini lebih mirip dengan mini
bar...”aku berpendapat. Mataku masih terus mengamati desain dapur bergaya
urban-mediterania itu.
“Yes”dia mengangguk. Tanganku mulai membuka-buka
laci yang didesain sedemikian rupa sehingga menyatu dengan dinding yang
berwarna hijau muda. Minimalis dan efisien. Sesuai dengan gaya hidup perempuan
urban masa kini.
“Moccachino a la chef Padma” selorohnya sambil
menyodorkan secangkir moccachino panas.
“Grazie, ma’am...”aku tersenyum dan kuhirup
perlahan.
“Awas panas!!!” ia memperingatkan sambil matanya
terus mengawasiku.
“Lumayan, untuk seorang chef amatir” selorohku. Dia
tergelak kemudian berjalan mendekatiku. Tubuh kami berhadapan, bersentuhan, wangi
bunga tanjung. Aku suka aroma ini.
“Kamar mandinya di sebelah sana, sudah ada handuk
dan sikat gigi. Aku nggak mau wawancara dengan sutradara yang dekil” Ia
menatapku. Wajah kami sangat dekat.
“Siapp...”aku hanya nyengir salah tingkah. Kemudian
ia melangkah meninggalkanku tanpa rasa berdosa menuju ke arah balkon belakang. Aku
tersenyum geli, aku seperti anak kecil yang baru pulang bermain seharian dan
menurut saja ketika ibunya menyuruhnya mandi. Entah mengapa, aku sangat
menikmati ritual mandi di kamar mandi yang hanya berukuran 1x2 meter ini. Tidak
ada yang istimewa dari isi maupun interiornya, hanya saja, aku merasakan ada
sensasi lain ketika menyabun badan dan menggosok rambutku. Sudah tiga kali
kusabun badanku dengan sabun beraroma bunga ini, kuguyur, dan ku sabun lagi.
Rutinitas yang biasanya kulakukan kurang dari 10 menit, kali ini mungkin sudah
15 menit. Mungkin lebih. Buru-buru kuguyur kepala dan badanku untuk kali
terakhir, berharap pikiran-pikiran liar yang ada dalam benakku ikut bersih dan hanyut
bersama air mandi. Setan!.
Hampir 20 menit kuhabiskan hanya untuk membersihkan
badan. Tapi aku jadi punya pengalaman baru, sensasi mandi yang tidak pernah aku
lupakan.
“Kita ngobrol disini saja ya, biar lebih santai...” Padma
sudah berdiri di ambang pintu yang menghubungkan ruang tengah dengan balkon
belakang. Aku menghampirinya. Sebuah teras yang tidak terlalu luas, tetapi
cukup nyaman, ada 2 buah kursi santai, sebuah meja kecil, beberapa buku, dan CD
audiophile. Lagu-lagu fushion rupanya. Beberapa pot tanaman tertata rapi di
sudut kanan dan kiri.
“Jadi, apa keputusanmu?” kurebahkan tubuhku di kursi
menikmati matahari pagi untuk menghangatkan badanku.
Seketika itu Padma tergelak sambil
menggeleng-gelengkan kepalanya.
“Kamu memang lousy, mas...”ujarnya disela-sela tawa
yang berderai. Kukerutkan dahiku mencoba mencerna kalimatnya.
“Owh...ya memang aku tidak pandai berbasa-basi”
jawabku asal.
“Oke, I didn’t make up my mind yet, so...??”
“Kamu membuang waktuku, ehm...hampir 60 menit”
ujarku seraya menunjukkan arlojiku padanya.
Kembali tawanya berderai. Renyah sekali.
“Oke..okeee...anggap saja ini transaksi. Jadi, aku
ingin membeli waktumu sampai lunch nanti, Is it fair enough mister director?”
Perempuan itu menatapku jenaka sambil menyibak rambutnya. Baiklah, dia cukup
membuatku penasaran untuk melihat permainan apalagi yang dia persiapkan
untukku.
“Apa yang aku dapatkan?” tanyaku tanpa bergeming.
Aku tahu dia sedang berusaha menarik perhatianku.
“Ya tergantung semenarik apa tawaranmu selama 3 jam
kedepan. Seperti yang aku bilang beberapa waktu lalu. Kamu harus mampu
meyakinkanku. Membuatku percaya”tukasnya.
“Begitu ya?” aku masih menjawabnya tanpa ekspresi.
Sinar matahari pagi ini begitu membuatku rileks. Aku menguap sebentar dan
kupejamkan mataku. Ah, aku lupa kapan ya terakhir aku merasa sesantai ini?
“Aku lapar...” ujarnya membuyarkan kenikmatanku. Kemudian
ia melangkah masuk menuju ruang tengah. Aku kembali terdiam menikmati duniaku.
Mimpi semalam kembali membayangiku, tiba-tiba sebuah perasaan aneh muncul,
sulit untuk kudefinisikan. Bau tanah yang basah oleh gerimis senja itu, bau
kayu yang sudah mulai melapuk, dingin dinding ruangan kamarku yang sebagian
tertutupi lumut, temaram lampu, mata perempuan itu...dan...bunyi benturan dari
benda-benda yang jatuh ke lantai. Semuanya sangat jelas dan membuat kepalaku
sakit.
“Croissant dan coco crunch...semoga bisa menjadi
bahan bakar kita sebelum lunch” sekali lagi aku terhenyak. Padma sudah berdiri
didepanku membawa sepiring croissant panas dan seteko susu dan coklat.
“Serius banget melamunnya. Bukan karena kepikiran
kata-kataku tadi kan?”Padma mencoba mencairkan suasana. Aroma coklat dan
gurihnya croissant bercampur di udara yang kuhirup. Menggugah selera.
Aku masih tidak bersuara, lalu kuambil sepotong
croissant dan melahapnya.
“Sudah lama aku tidak sarapan croissant, kemarin aku
membelinya di toko kue milik salah satu teman...yang menurutku rasanya cukup
enak. Mirip dengan rasa croissant buatan mamaku” Ia meneruskan sambil melahap
croissant coklatnya.
“Mama?”kupalingkan wajahku menatapnya serius.
“Iya mama...kenapa?”
“Mama kamu dimana?”aku bertanya.
“Keluargaku semuanya di Surabaya, tempat kelahiranku”
“Oh..”kukunyah lagi sisa croissantku.
“Keluarga kamu?”Padma balik bertanya.
“Ada”jawabku datar.
“Jakarta juga?”
“Iya”
“Kamu berapa bersaudara?”
“Tiga”
“Anak tengah pasti”
“Iya”
“Ayah dan ibu masih sehat?”
Aku terdiam. Dan percakapan kami terhenti. Ada
sebuah dinding tinggi dan tebal yang ada di hadapanku, mustahil kurubuhkan
ataupun ditembus oleh orang lain.
“Aku ingin mendengar cerita tentang keluargamu, mas.
Aku yakin bahwa keluarga mempengaruhi tindakan dan apa achievement kita. Bener
nggak?” Ia menegakkan badannya memandangku yang masih sibuk mengunyah
croissant.
“Mungkin” jawabku datar.
“Bukan mungkin, tapi pasti. Ayahku seorang wartawan
senior di Surabaya. Beliau pernah menjadi salah satu direksi Jawa Pos. Sementara
mamaku, ibu rumah tangga biasa. Tidak bekerja. Aku hanya dua bersaudara. Adik
perempuanku sekarang sedang menempuh program master psikologi di Rusia. Darah
ayahku sepertinya lebih banyak mengalir dalam diriku. Makanya, aku dan ayahku
tidak pernah akur, dalam arti, ketika membahas suatu hal, kami hampir selalu
memiliki perbedaan pandangan. Walaupun beliau seorang yang cukup open–minded, tapi
aku menganggap beliau masih menerapkan nilai-nilai yang konservatif kepada
kami, terutama anak-anaknya. Yang aku salut dari beliau, beliau membebaskan
kami memilih jalan dan proses pembelajaran kami, dengan catatan, kami harus
benar-benar bertanggungjawab dengan pilihan kami” tuturnya. Kuamati dia
bercerita.
“Apakah ayahmu juga menginspirasimu untuk menjadi
perempuan pejuang?” tanyaku.
“Pasti. Itu pesan terakhir beliau. Beliau serius
mengatakannya kepada kami ketika beliau sakit keras, itu adalah hari terakhir
kami melihatnya. Beliau meninggal ketika aku masih SMP dan adikku masih di
kelas 5 SD. Kami sangat terpukul, terutama mama. Karena ayah adalah tumpuan
hidup kami bertiga. Jadi, ketika beliau meninggal, kami bertiga benar-benar
down. Terutama masalah finansial. Aku terancam tidak bisa sekolah” Ia
melanjutkan.
“Apa pesan terakhir ayahmu?” aku mulai tertarik.
“Beliau berkata, bahwa kami harus menjadi
perempuan-perempuan yang siap dengan segala perubahan. Oleh karena itu kami
harus pandai beradaptasi dengan kondisi apapun. Waktu itu aku masih terlalu
muda untuk memahami maksud pernyataan ayah. Kemudian mama menjelaskan, bahwa
aku dan Lintang, adikku, harus menjadi perempuan yang memiliki karir,
pekerjaan, supaya nasibnya tidak seperti mama, yang hanya menggantungkan diri
pada tunjangan ayah yang tidak seberapa jumlahnya. Harus mandiri. Mama juga
bilang, agar tidak bergantung kepada pasangan, karena jika salah satu dari kita
meninggal atau cacat, kita masih bisa survive. Oleh karena itu mama terus
menyemangati kami untuk terus bersekolah dan mendapatkan pendidikan terbaik.
Aku dan Lintang terus berjuang bagaimana caranya mendapatkan beasiswa sehingga
tidak memberatkan mama. Mama juga sangat menginspirasiku. Aku merindukan mereka
sekarang” mata Padma berkaca-kaca. “Bagaimana dengan mamamu, mas?”
“Aku lupa” jawabku dingin.
“Eh?!”
“Aku tidak begitu mengenal perempuan yang
melahirkanku, karena dia meninggalkanku ketika aku masih belum bisa ganti
celana sendiri” tukasku.
“Meninggalkan?...meninggal dunia?”
“Meninggalkan. Pergi dengan lelaki lain kurasa”
“Ayah dan saudara-saudaramu yang lain gimana?”
“Kami masih tinggal serumah sampai aku SMA. Aku tidak
pernah dekat dengan mereka, aku jarang pulang. Apalagi sekarang. Hampir 5 tahun
aku tidak bertemu mereka. Kurasa mereka semua baik-baik saja” tuturku tanpa
penekanan.
“Ibumu? Apa kamu tidak ingin bertemu dengannya?”
“Tidak”
“Kenapa?”
“Karena aku merasa belum penting”
“Kamu marah?”
Aku diam.
“Atau kecewa?”
Kuhela nafasku dalam-dalam. Perasaan aneh itu muncul
kembali. Kali ini menyesakkan dadaku.
Padma menyentuh tangan kiriku.
“Forgive your self, then, you’ll be forgiven”
ujarnya perlahan.
“Semalam aku bermimpi tentangnya. Peristiwa itu
tepat satu hari sebelum dia meninggalkanku. Terakhir kali aku melihatnya dengan
jelas. Karena setelah itu aku hanya memandangnya dari jauh ketika dia berjalan
keluar dari rumah membawa tas besar dan masuk ke sebuah mobil bersama seorang
lelaki. Mungkin lelaki itu yang merebut dia dari kami” aku mulai bertutur. Ini
adalah pertama kalinya aku membuka pintu dinding yang kubangun selama
bertahun-tahun lamanya.
“Sejak saat itu ayahku menjadi seorang pemarah, dan
itu menular pada kakakku. Adikku yang bungsu lah yang menjadi sasaran mereka,
karena dia yang paling lemah diantara kami. Wajar kalau aku membenci mereka
berdua. Makanya aku tidak pernah mau menuruti apapun yang mereka perintahkan.
Selepas SMP, aku mulai jarang pulang ke rumah. Aku muak dengan sikap mereka,
dan tidak tahan dengan penderitaan adikku.” Kuhentikan ceritaku. Mata Padma
masih serius menyimakku.
“Lulus SMA aku bekerja di salah satu biro iklan,
kutabung gajiku untuk menyekolahkan adikku di luar negeri. Kasihan dia, bagaimanapun
caranya dia harus keluar dari neraka itu. Kuputuskan untuk menyekolahkannya di
Singapore. Dua tahun kemudian aku menyusulnya kesana. Sejak saat itu aku sudah
tidak berhubungan dengan kakak dan ayahku” kuteruskan ceritaku.
“Adikmu? Sekarang dimana?”
“Di surga”jawabku. Dadaku semakin sesak. Abimanyu,
adikku. Satu-satunya orang yang aku perjuangkan juga telah meninggalkanku.
“Sorry...” raut muka Padma berubah.
“Ia meninggal setahun yang lalu. Kecelakaan pesawat,
ketika akan bertolak dari Jepang ke Singapore”
“Oh!...ya...ya..., aku tahu, aku pernah mendengar
berita tentang kecelakaan itu”Ia kembali menggenggam tanganku.
“Jika perempuan itu tidak meninggalkan kami, tentu
tidak akan sekacau ini” aku sedikit emosional.
“Apa kamu tahu alasan yang sebenarnya, mengapa ibumu
meninggalkan kalian”
“Ayah dan kakakku selalu mengulang ulang pernyataan,
bahwa ibuku adalah perempuan yang keras kepala, penuntut, dan istri yang tidak
bisa mengurus rumah tangga. Masakan ibuku memang rasanya payah, cerewet pula, apalagi
jika kami bermain seharian dan pulang dengan baju yang penuh getah tanaman atau
lumpur. Suatu ketika pahaku pernah dicubitnya hingga membiru karena merusakkan
sepeda salah satu anak tetangga kami. Dia bisa mengomel dari pagi sampai malam,
bahkan sampai pagi lagi hanya karena hal yang sepele”
“Kamu ternyata mengenalnya dengan baik...hanya tidak
mau mengingatnya” Padma tersenyum memandangku dan melepaskan genggamannya.
“Hanya itu saja yang aku ingat”kilahku
“Ketika ibumu meninggalkanmu, usiamu berapa, mas?”
“10 tahun, baru SD”
jawabku.
Kurasa aku sudah cukup bersentimentil hari ini.
Kuambil sebuah CD yang tegeletak diatas meja.
“Rieka Roeslan?” kubuka perlahan covernya.
“Yes, suaranya unik” jawabnya singkat.
Mataku tertuju pada tulisan yang ditulis dengan
menggunakan tinta perak di cover bagian dalam, sebuah ucapan. Kubaca sekilas. Kemudian
kututup lagi.
“Itu hadiah dari pacarku, Jordan” ujarnya perlahan.
Kuacuhkan kalimatnya dengan membuka beberapa CD yang
lain.
***
Hari ini bisa dikatakan sebagai hari yang paling
melelahkan, menguras pikiran dan banyak energi. Mengatur banyak orang dengan
banyak kepentingan memang tidak mudah. Tapi itulah seninya. Seperti beberapa
menit yang lalu, aku baru saja mengumpulkan lagi orang-orang kreatif ahli IT untuk
membantuku mengembangkan sebuah portal online yang didalamnya memuat publikasi
film-film indie terbaik di Indonesia, resensi, award, kritik film, sampai
dengan VOD (Video on Demand). Jika di Amerika Serikat perkembangan film
didukung dengan adanya Netflix, tidak menutup kemungkinan Indonesia juga bisa
mengembangkan sistem yang sama.
“Wishnu, aku mau bicara sebentar” Hans, produser
filmku sudah berdiri di hadapanku.
“Silakan” kulanjutkan mengetik.
“Ngetiknya bisa berhenti sebentar?”
Kuangkat wajahku dan beringsut.
“Tolong jelaskan, apa maksudmu menolak tawaran dari
cineplex 21 untuk premier film kita?”
“Karena mereka tidak mengerti value filmku”jawabku
datar.
“Itu kesempatan besar dan investasi modalku disana
juga tidak main-main...tawaran tivi ditolak, sekarang menolak distributor besar
pula. Apa sebenarnya maumu?”Suara Hans meninggi.
“Filmku durasinya hanya 25 menit, dipotong 10 menit,
lalu apa yang bisa dilihat dari gambar yang bergerak selama 15 menit?”aku balik
bertanya.
“Paling tidak public sudah aware kita punya barang,
diterima atau enggaknya itu urusan belakang. Bodo amat mereka suka atau enggak,
yang penting mereka sudah bayar tiket. Itu namanya jualan, bung!” wajah Hans tampak
mengeras dengan suara yang semakin meninggi.
“Sepertinya kata-kataku tidak pernah kau mengerti.
Salah besar jika kamu berharap bisa mengeruk untung yang besar dari
film-filmku. Sekali lagi aku ingatkan, filmku bukan gorengan yang bisa kau
perlakukan dengan seenaknya” aku mulai menegaskan.
“Tapi aku produsernya!”
“Seluruh dunia juga tahu jika produser bukan
satu-satunya orang yang memiliki keputusan mutlak dalam produksi film”potongku
keras.
“Di kontrak kerjasama dijelaskan bahwa produser
memiliki kewenangan untuk memutuskan dan mengatur produksi film, baca ini!!!”dikeluarkannya
sebuah dokumen kontrak kerjasama dari dalam tasnya.
“Sudah berapa lama dan berapa kali kamu menjadi
produser film indie? Sebaiknya kamu memang harus belajar lebih banyak untuk
mengerti value yang terkandung dalam sebuah film. Uang tidak pernah bisa
menjelaskan”kutatap dalam-dalam laki-laki separuh baya di hadapanku. Ia tetap
tidak bergeming.
“Kamu telah mempermainkanku, Wishnu, dan aku tidak
akan tidak akan tinggal diam!!!”suaranya memberat.
“Terserah apa katamu, karena untuk meraih sesuatu
yang besar, butuh pengorbanan yang lebih besar juga”ujarku dingin.
Kulihat Hans masih menatapku penuh amarah. Orang
ambisius dan materialis seperti Hans sesekali harus diberi sedikit
shocking-shot. Aku tidak takut dia akan menuntutku ke meja hijau atau membangun
citra buruk tentangku. Dunia amat sangat luas, orang lebih banyak mengapresiasi
karyaku daripada diriku secara personal. Jadi, kenapa harus ambil pusing. Hans
tidak pernah tahu bahwa publikasi dan promosi filmku sudah aku lakukan melalui
Netflix dan jaringan VOD di beberapa negara di Eropa. Bagiku, televisi hanya membuat
sebuah karya terlihat baik, saja.
Kuhela nafasku dalam-dalam. Studio sudah mulai sepi,
kudengar Erika dan Pak Hadi sedang bercakap-cakap di ruang depan. Kubuka krey
jendela di samping kananku. Senja akan segera turun. Dulu aku sangat menyukai
matahari terbenam. Menikmati matahari terbenam bersama Abimanyu, almarhum adik
bungsuku, merupakan kenangan indah yang akan selalu aku ingat. Kami bercerita
tentang banyak hal, terutama cita-citanya untuk menjadi seorang fisikawan
optik.
Ponselku bergetar, sebuah panggilan masuk. Padma.
“Halo?”
“Aku sudah membaca e-mailmu, mas. Tapi aku belum
membaca lagi secara detil, aku kurang setuju dengan konsepmu”
“Poin yang mana?” tanyaku.
“Beberapa, aku tandai dulu ya...nanti kita diskusi
lagi. Aku lagi nyetir soalnya”
“Aku tidak punya waktu banyak, karena lusa sudah harus
masuk dapur breakdown”ujarku
“So?”
“Malam ini”
“Bisa nggak sih kalau nggak dadakan gini” kudengar
Ia merajuk. Aku tersenyum.
“Malam ini. Oke?”
“I’ll call you later, bye”Ia mengakhiri pembicaraan.
Sepertinya malam ini aku akan menemani nyamuk-nyamuk di dalam studioku berburu
mangsa. Kuteteskan obat tetes mata pada kedua mataku yang sudah mulai pedih
bercampur antara terkena radiasi komputer dan debu di studio.
“Mas, aku balik dulu ya...kalo mau makan malam, biar
aku telponin delivery service” Wajah Erika muncul dari balik pintu.
“Aku masih kenyang. Thanks Rik”
Jam 8 lebih 23 menit. Suara Sting masih terdengar
dari music player komputerku, Field of Gold. Beberapa puluh tahun yang lalu,
betapa aku sangat tergila-gila dengan musik-musik new-wave seperti Depeche Mode
dan Duran Duran. Walaupun sekarang sudah jutaan musisi baru dengan jenis musik
yang bagus, tetapi kualitas dan eksistensi mereka masih belum ada yang
menyaingi. Seorang Anton Corbijn saja mengakui bahwa Depeche Mode adalah salah
satu musisi terbaik di eranya. Ia pernah menggarap beberapa video klip dan mendokumentasikan
world tournya secara ekslusif, selain U2 tentunya.
***
Jika biasanya aku hanya butuh waktu satu bulan untuk
menyelesaikan screenplay sampai dengan draft ketiga, sudah hampir 2 minggu
screenplay-ku masih berupa raw material yang belum kelihatan ‘warna’nya.
Payah!. Kesalahanku juga mengapa aku memaksa Padma untuk ikut dalam project
ini. Dari awal aku sudah menyadari bahwa aku akan dibuat repot olehnya,
mendengarkan argumennya yang berbelit-belit. Banyak hal yang aku pertaruhkan
ketika ‘mengontrak’nya menjadi co-scriptwriterku, salah satunya adalah
menghapus Ale dari list credit title. Walaupun aku tidak pernah mengambil pusing bagaimana persepsi orang terhadapku.
Rasa sungkan atau sensitif yang berlebihan hanya akan membuat kita menjadi
tumpul, kerdil, dan jalan ditempat. Dunia ini sudah kontroversial, jadi mengapa
harus risau ketika menjadi berbeda?. Aku yakin ini adalah dunia baru bagi
Padma, tentu akan sangat berbeda dengan pekerjaannya
di
stasiun tivi. Sejauh ini aku masih menikmatinya, walaupun harus diakui aku harus sedikit memeras otak untuk mengimbangi pemikirannya yang
terlalu dipengaruhi oleh teori-teori. Satu hal yang menarik, dia memberikan
spirit baru pada penokohan dan character development filmku. Aku butuh sensasi
baru. Mungkin.
Film terbaruku, Biru Hari Suri, adalah sebuah film
bergenre surealis yang menceritakan perjuangan seorang musisi wanita yang sedang menjalani pemulihan adiksinya terhadap narkoba.
Bagaimana rumitnya ketika ia menghadapi kondisi psiko-sosialnya sebagai istri,
ibu, dan anggota masyarakat. Isu stigma dan diskriminasi coba aku angkat
menjadi tema utama dalam film yang durasinya tidak lebih dari 20 menit ini.
Tujuan utamaku membuat film ini tidak lain sebagai bentuk apresiasiku terhadap
teman-temanku di NGO yang membantu pemulihan para pecandu dari adiksinya. Ya,
adiksi.
Padma yang duduk disebelahku masih sangat serius membaca naskah yang dipegangnya. Begitu fokusnya sampai-sampai ia tidak menyadari bahwa aku mengganti rute perjalanan
kami.
“Bagaimana bisa seorang perempuan kamu visualisasikan
seperti itu? Kurasa kamu terlalu overexposed dengan tokoh utamanya” ujarnya
tiba-tiba.
“Kalau karakternya biasa-biasa saja, apa menariknya?”
“Bukan… aku hanya sedikit kurang setuju dengan
bagaimana kamu mendeskripsikan bahasa tubuhnya, karakternya, dan…aku tidak
ingin dia terlihat lemah seperti itu” Padma masih terus menatap naskah scenario
di depannya.
“Lemah dari sisi mana?” tanyaku.
“Perempuan tidak selalu ditakdirkan untuk bergantung
pada pasangannya. Ia punya hak kok untuk memilih keputusannya sendiri” Matanya
menatapku serius.
“Tapi tidak dengan tokoh yang satu ini, perempuan ini
seorang mantan pecandu narkoba, yang masih berjuang untuk pemulihannya, tidak
sesimpel itu”
aku coba menjelaskan.
“Well mas, ia kan juga seorang ibu rumah tangga, punya
anak, keberadaan
anak mungkin bisa jadi alasan dia untuk meninggalkan
suaminya, bukan malah rela mati konyol begitu. Apalagi dia
punya pekerjaan, dia musisi kan?”kini alisnya
berkerut.
“Sebaiknya kamu memperluas pergaulan, observasi dulu kepada perempuan
pecandu atau pasangannya. Cari tahu apa isi otak mereka. Mereka memiliki kondisi psikologis yang berbeda dengan kamu”
“Aku?, kamu juga!”
“Kamu, bukan aku” aku mengoreksi
kalimatnya.
“Jangan bilang karena kamu laki-laki”
Aku tersenyum.
“Jangan bilang juga kalau kamu pernah atau masih pakai drugs!!”
Aku menyeringai. Kuputar stereo-setku.
“Ini salah satu penyanyi blues favoritku, Katie Melua”ujarku
menjelaskan. Dia hanya melepar pandangannya padaku. Acuh tak acuh.
“Oh come-one!”Dihempaskannya tubuhnya di sandaran
kursi dan melempar naskah scenario itu kepadaku.
“Perempuan itu tidak memiliki banyak pilihan, kenapa?
Ya karena dia perempuan. Secara psikologis begitu. Kalaupun menurutmu ia kuat,
ya karena dia tidak punya pilihan lain selain berkompromi. Coba kamu
browsing filmnya Phillip Van, judulnya High Maintenance, atau um…aku lupa
sutradaranya, judulnya Perfection. Semuanya bercerita tentang perempuan dengan
berbagai sudut pandang dan kepentingan”ujarku.
Tak lama kulihat matanya sudah mulai sibuk kembali
memandangi layar tabletnya.
“Karen Lin, Perfection, dirilis tahun 2004, dan
menjadi salah satu nominator di DC APA Film Festival” tuturnya. Dilanjutkannya
dengan menonton sebuah tayangan video.
“Bagus?”aku bertanya setelah film pendek itu tamat.
“Bagus, ‘I’m just trying
to make you more perfect-Mom’…Tagline
yang intriguing” ia mulai menganalisa.
“Apa memang demikian dunia perempuan” aku bertanya
lagi
“Tidak selalu”jawabnya pendek.
“Berarti ada yang selalu begitu, kan?”
“Apa maksudmu?”
“Ada yang memiliki garis nasib yang sama seperti yang
di film itu?”kujelaskan
kembali kalimatku.
“Mungkin laki-laki juga ada yang garis nasibnya kayak gitu” kilahnya ketus.
“Kujamin tidak”
“Bagaimana anda bisa yakin?”
“Seribu persen
yakin karena lelaki tidak dipernah digambarkan
bermain mainan seperti didalam film”
“Yes, dan itulah konstruksi! Makanya aku tidak mau
jika filmmu ini membangun konstruksi yang sesat lagi. Kamu adalah satu agen
yang membuat kaum kami tertindas.”
“Rupanya kamu sendiri juga masih belum memahami benar
value filmnya, coba saja lihat bagaimana perempuan digambarkan di film Phillip
Van, walaupun dia memegang kendali dan kehendak atas hasratnya, tetapi sampai
dengan pilihan yang paling personal pun dia harus ‘mengalah’ pada
takdir”tuturku datar.
“Film High Maintenance ini tidak bermutu, merendahkan
sekali.
Manusia tentu berbeda dengan robot”benda
elektronik itupun disimpannya lagi di dalam tasnya.
“Itu karena kamu merasa terintimidasi, sebagai seorang
movie maker, kita tidak bisa melihat hanya dari satu sudut pandang atau dari
kepentingan sepihak. Dan film-film seperti ini sebetulnya sudah banyak
beredar di masyarakat, pernah nonton Terminator Rise of the Machine? Musuhnya
si Arnold kan juga robot perempuan” aku
meresponnya datar.
“Every 3 minutes a woman is beaten, every 5 minutes a
woman is raped, every 10 minutes a little girl is molested. That’s a fact.
See??” tandasnya. Aku tahu dia sangat terganggu dengan konsep filmku.
“Coba amati lebih teliti, nona…film Perfection itu
dibuat oleh siapa? Karen Lin, seorang perempuan. Ketika aku menonton sebuah
film, aku hanya menempatkan diriku sebagai orang awam yang tidak memiliki
preference tertentu, sehingga aku akan melihatnya seperti apa adanya. Bahwa jika seorang perempuan menuntut kesempurnaan, maka yang ia
dapat tidak lebih dari ketidaklengkapan, ketidaksempurnaan. Seperti permainan perfection. Perempuan bernama Karen Lin
ini, terlepas dari dia seorang film director, mengakui bahwa dunia perempuan
memang telah terdesain seperti itu adanya. Terima dan jalani”ujarku lagi tanpa
ekspresi.
“Tunggu, Karen Lin hanya satu dari sekian ratus film
director yang berjenis kelamin perempuan, pak. Menurutku
masih banyak film director perempuan yang film-filmnya tidak bias jender, let say Sofia Coppola, Jane Campion, dan Kathryn Begelow. Mereka juga bukan sutradara bodoh
yang hanya melihat seperti kacamata orang awam” tandasnya tidak
mau kalah.
“Realitanya, film yang menang Grammy atau Oscar
rata-rata sutradaranya laki-laki. Dari sisi jumlah, sutradara laki-laki jauh
lebih banyak. Silakan browsing”tukasku dingin.
“Oleh karena itu aku berkewajiban untuk menyadarkan
orang seperti kamu, menyadarkan masyarakat bahwa selama ini perempuan,
dimana-mana hanya dipotret dari kamera laki-laki. Dan itu dominasi. Para oknum
yang memegang kamera inilah yang melakukan seleksi sekaligus mengatur bagaiana
sebaiknya perempuan tampil. Bagaimana terlihat menyenangkan dan indah di depan
publik. Selain itu, aku juga akan memberimu pencerahan bahwa perempuan itu
lebih kuat dari yang dibayangkan laki-laki. Sejarah sudah membuktikan, tidak
hanya perjuangan Kartini saja, tetapi banyak pejuang wanita yang juga membawa
perubahan pemikiran bagi bangsa Indonesia, terutama kaum perempuan. Rohana
Kudus dan Cut Nyak Dhien misalnya. Mereka tidak hanya memiliki ide yang
cemerlang tentang perubahan, tetapi mereka juga telah mewujudkannya dalam
sebuah tindakan nyata. Rohana Kudus, adalah salah satu inspiratorku” Ia kembali
menegaskan. Kali ini kalimatnya sudah mirip dengan presenter talkshow yang
sedang ngomong di depan kamera. Harus diakui bahwa perempuan ini memang pandai.
Dan berbicara dengan orang seperti ini harus ada tekniknya.
“Menarik. Rohana Kudus memang jurnalis wanita
pertama di Indonesia. Tetapi, setahuku, dia juga mengajarkan bahwa seorang
perempuan sampai akhir jamanpun tidak akan pernah bisa menyamai laki-laki.
Perempuan tetap menjadi perempuan dengan segala yang melekat padanya”Aku pun
tak kalah berargumen.
Padma terdiam. Terlihat sekali bahwa ia sedang tidak enak hati padaku. Dan aku tahu diskusi kami masih akan terus
berlanjut. Biarlah. Kadang, perempuan setangguh dia sesekali
harus menerima kekalahan.
“Ini arah kemana mas??? Bukannya kita tadi kita akan
ke toko buku???” Bagaimanapun juga, laki-laki itu pemimpin, nahkoda yang
akan mengarahkan kemana kapal itu akan berlabuh. Itu
kodrat.
…With the roll of my dirty dice, I'm only
following the devil's advice. I'll take your love and leave my kind regards,
But I never cheat at cards … [Dirty Dice by Katie Melua]
***
Kulihat
kalender di mejaku. Kulingkari 3 tanggal di bulan September, dan sebuah tanggal
di bulan November. Lusa ada adalah tepat satu tahun kematian Abimanyu.
Seandainya saja aku tidak terlambat menjemputnya, seandainya saja mobilku tidak
terjebak macet, dan seandainya perempuan itu tidak meninggalkan kami...
Damailah
dirimu disana, saudaraku.
Ada pedih
yang tiba-tiba mengaliri paru-paru dan pembuluh darahku, detak jantungku
berdenyut lebih kencang. Dadaku serasa dihujam oleh gada raksasa, menghimpit
pernafasanku, dan kepalaku mulai berputar. Perutku
mual, teraduk-aduk,
seperti menelan sesuatu yang memuakkan. AARGH, aku pasti keracunan. Otakku
berpikir.
HOAAAEEEKKKKHHH!!!!!
Seluruh isi
perutku keluar dengan sukses membanjiri lantai di bawah kakiku yang tremor.
Badanku
seketika itu tidak bertenaga, jangankan berdiri, meraih tisu di sebelah mejaku
saja aku tidak sanggup. Aku pasti keracunan. Batinku lagi.
Aku tidak pernah
tahu apakah aku alergi makanan atau minuman tertentu, dan aku memang tidak mau
tahu. Sebenarnya ini bukan kejadian yang
pertama
kali. Pernah suatu ketika, saat ditengah-tengah syuting film, aku mual dan
muntah dengan hebat sampai syuting harus di-scores selama dua hari karena aku
harus in-house di rumah sakit. Menurut dokter, asam lambungku kumat.
Pernah juga
ketika aku sedang presentasi tentang konsep filmku di depan para stakeholder,
kepalaku pusing berat dan muntah di depan forum. Sungguh menjijikkan. Kali ini
berbeda, dokter yang sama mendiagnosaku sebagai gejala liver. Ada-ada saja.
Hampir 15
menit aku hanya duduk diam di kursiku. Nafasku masih naik turun tak beraturan,
kulihat layar monitor di depanku bergerak zoom-in – zoom-out silih berganti.
Tangan dan kakiku masih tremor walaupun tidak sehebat beberapa menit lalu.
Kurasakan gada yang menyesakkan dadaku masih tetap menyempitkan jalan nafasku.
Kemudian kutarik nafasku dalam dan panjang, aku berharap beban di dadaku
sedikit berkurang. Tak kudengar siapapun disini, Edo dan yang lainnya telah lama pulang. Hanya desis halus prosesor komputerku saja
yang mendominasi suasana malam ini. Aku benar-benar sendiri.
Ada
gelisah kerinduan pada Abi, adikku.
Aku rindu matahari terbenam yang selalu kita pandangi dari jendela apartemen.
Dengan jujur aku akui bahwa rasa bersalahku atas Abi tidak akan pernah bisa aku
tebus dengan apapun. Penyesalan itu sampai sekarang terus menghantuiku. Karena
aku yang paling waras, karena aku yang paling menyadari bahwa Abi yang paling
menderita di rumah, karena aku kakaknya, dan aku merasa bertanggungjawab atas semuanya.
Masih terekam dalam kepalaku, sangat jelas sekali. Suatu siang aku
melihat Abi duduk di kursi belakang sambil memegang sebuah buku tulis kumal
yang aku hapal betul, itu
buku
pelajaran berhitungnya. Kepalanya tertunduk, tidak
menangis, hanya terdiam. Abi yang masih duduk di kelas 1 SD itu tidak menyadari
bahwa aku mengamatinya sudah cukup lama. Karena penasaran, kupaksakan diriku
menghampirinya. Betapa terkejutnya aku ketika kulihat wajah Abi memar-memar,
beberapa bagian tangan dan kakinya membiru, bekas cubitan. Dan aku tahu ini
perbuatan siapa.
‘aku memang
bodoh ya kak…dan sampai kapanpun akan jadi anak bodoh ya?’ ujarnya dengan mata
yang sungguh mengibakan.
Tiada hari
tanpa umpatan, cubitan, omelan, serta bentakan. Dan kami semua di rumah ini
tidak bisa berbuat apa-apa selain menggerutu dan terus menggerutu. Sepertinya
Abi baru saja menerima hukuman karena pelajaran berhitungnya tidak mendapatkan
nilai sempurna. Kujamin, setelah ini Abi akan disuruhnya membersihkan halaman
belakang, menyapu, mengepel, membersihkan dapur. Sementara kakakku, luar biasa
liciknya. Dia menggunakan kuasa sebagai saudara tua, apalagi dia sudah SMP,
untuk memaksakan kehendaknya pada kami. Selalu melimpahkan tugas-tugas rumah
pada kami. SELALU. Alasannya karena sibuk dengan tugas sekolah, padahal aku
tahu dia keburu akan nongkrong main Nintendo di tempat temannya.
Ayahku
pendiam, seorang guru sejarah di salah satu SMP swasta. Menyikapi perlakuan
ibuku yang sangat temperamental, dia tidak bisa berbuat banyak.
Sedangkan
aku termasuk anak yang biasa-biasa saja, posisiku di tengah-tengah. Waktu itu
aku masih belum memiliki keberanian untuk membantah kakakku, apalagi ibuku, aku masih terlalu kecil untuk menjadi pemberontak. Maka yang kulakukan adalah berdiam
diri di dalam kamar. Jangan dikira aku juga tidak pernah mendapatkan hukuman
dan porsi ‘kewajiban’ seperti yang Abi lakukan. Mengisi bak mandi, mencuci
pakaian, dan menyiram tanaman adalah tugasku tiap pagi plus bonus teriakan dan omelan bak berondongan peluru. Suatu
ketika, aku pernah mendengar ayahku berkata padaku, bahwa hidup itu tidak
benar-benar pilihan, tetapi dipilihkan, nikmatilah. Kalimat itu menancap begitu
saja di kepalaku. Betul, dipilihkan dan nikmati.
***
0 komentar:
Posting Komentar