Model pengembangan ekonomi kreatif yang dikembangkan untuk Indonesia berupa bangunan yang terdiri dari komponen pondasi, 5 pilar, dan atap yang saling menguatkan sesuai dengan fungsinya masing-masing. Penjelasan komponen-komponen bangunan ekonomi kreatif adalah sebagai berikut:
1. PONDASI:
People (Sumber Daya Insani), aset utama dari industri kreatif yang menjadi ciri hampir semua subsektor industri kreatif.
2. LIMA PILAR UTAMA yang harus diperkuat dalam mengembangkan industri kreatif adalah:
1. Industry (Industri) yaitu kumpulan dari perusahaan yang bergerak di dalam bidang industri kreatif
2. Technology (Teknologi) yaitu enabler untuk mewujudkan kreativitas individu dalam bentuk karya nyata.
3. Resources (Sumber Daya) yaitu input selain kreativitas dan pengetahuan individu yang dibutuhkan dalam proses kreatif, misal: sumber daya alam, lahan
4. Institution (Institusi) yaitu tatanan sosial (norma, nilai, dan hukum) yang mengatur interaksi antara pelaku perekonomian khususnya di bidang industri kreatif
5. Financial Intermediary yaitu lembaga penyalur keuangan
3. ATAP:
Bangunan ekonomi kreatif ini dipayungi oleh interaksi triple helix yang terdiri dari Intellectuals (Intelektual), Business (Bisnis), dan Government (Pemerintah) sebagai para aktor utama penggerak industri kreatif.
1. Intellectual, kaum intelektual yang berada pada institusi pendidikan formal, informal dan non formal yang berperan sebagai pendorong lahirnya ilmu dan ide yang merupakan sumber kreativitas dan lahirnya potensi kreativitas insan Indonesia.
2. Business, pelaku usaha yang mampu mentransformasi kreativitas menjadi bernilai ekonomis
3. Government, pemerintah selaku fasilitator dan regulator agar industri kreatif dapat tumbuh dan berkembang.
Dalam ekonomi kreatif, sistem “Triple helix” menjadi payung yang menghubungkan antara Cendekiawan (Intellectuals), Bisnis (Business), dan Pemerintah (Government) dalam kerangka bangunan ekonomi kreatif. Di mana ketiga helix tersebut merupakan aktor utama penggerak lahirnya kreativitas, ide, ilmu pengetahuan, dan teknologi yang vital bagi tumbuhnya industri kreatif. Hubungan yang erat, saling menunjang, dan bersimbiosis mutualisme antara ke-3 aktor tersebut dalam kaitannya dengan landasan dan pilar-pilar model ekonomi kreatif akan menentukan pengembangan ekonomi kreatif yang kokoh dan berkesinambungan.
Departemen Perdagangan menggunakan model pengembangan ekonomi kreatif sebagai model acuan yang akan membawa industri kreatif dari titik awal (origin point) menuju tercapainya visi dan misi industri kreatif Indonesia 2030 (destination point). Faktor-faktor yang digunakan membantu menumbuhkan industri kreatif antara lain adalah teknologi, sumber daya, atau resources, dan institution atau lembaga.
Analisis Triple helix pertama kali diungkapkan oleh Henry Etzkowitz dan Loet Leydesdorff, dan kemudian diulas lebih lanjut oleh Gibbons et al (1994) dalam The New Production of Knowledge dan Nowotny et al (2001) dalam Re-Thinking Science. Konsep Triple Helix selain digunakan untuk menjelaskan hubungan ketiga elemen (business, intellectuals, and government), model ini juga dapat memberikan gambaran mengenai koordinat dari simbiosis (irisan) dari masing-masing elemen. Dalam Triple Helix, masing –masing elemen merupakan entitas yang berdiri sendiri, memiliki perannya masing-masing meskipun mereka bersinergi dan mendukung satu dengan yang lainnya atau yang disebut dengan “Reflexivity”.
Koordinat simbiosis dapat diartikan sebagai stabilisasi simbiotik (symbiotic stabilization), kerjasama yang sinergi (synergistic cooperation), saling menguntungkan (mutual benefits), berkoordinasi dalam kegiatan dan pengembangan (coordinate activation and development).
Yinghui Sui dalam jurnal penelitian Meiqing juga menjelaskan bahwa creative city adalah sebuah integrasi inovasi dari sebuah kota dimana menjangkau seluruh dimensi, melibatkan semua warga, dan semua proses saling terhubung satu dengan yang lainnya.
Lebih jauh lagi Sui membagi Creative City menjadi dua konsentrasi, yang pertama adalah sebagai sistem inovasi (innovation systems) yang meliputi:
1. Inovasi teknologi (technological innovation)
2. Inovasi organisasi (organisational innovation)
3. Inovasi institusi (institusional innovation)
4. Inovasi finansial (financial innovation)
5. Inovasi marketing (marketing innovation)
Kedua, Creative City sebagai kota yang mampu menyesuaikan diri (urban conformity), yang didukung oleh proses ilmu pengetahuan dan teknologi (scientific and technological process), didominasi oleh inovasi yang mandiri (independent innovation), dan dilatarbelakangi oleh budaya inovasi (innovation culture). Creative City merupakan sebuah sistem ekonomi yang dapat berkembang seperti juga halnya sistem sosial, dimana didalamnya terdapat social capital, yaitu relasi jaringan yang terbentuk dari kombinasi berbagai aktor yang berada di dalamnya (Meiqing).
John Hartley dalam bukunya yang berjudul Creative Industries, memberikan sebuah definisi industri kreatif tidak hanya melihat dari sektor-sektor pekerjaan yang dapat digarap, namun lebih pada hubungan antar elemen yang membangun sebuah industri kreatif. Industri kreatif merupakan sebuah rantai yang saling mengikat antara elemen yang satu dengan yang lainnya. Hartley juga menyinggung tentang pemanfaatan teknologi dan sisi ekonomisnya.
The idea of the creative industries seeks to descibe the conceptual and practical convergence of the creative arts (individual talent) with Cultural Industries (mass scale), and in the context of new media technologies (ICTs) within a new knowlegde economy, for the use of newly interactive citizen-consumers.
Pada dasarnya ide industri kreatif sendiri muncul dari konseptualisasi “creative arts” dan “cultural industries”. Ada beberapa hal yang harus diperhatikan dalam membahas dan menganalisa permasalahan industri kreatif. Poin-poin tersebut berada dalam satu kerangka pemikiran yang dapat dijadikan batasan dan ukuran. Secara garis besar, kerangka pemikiran Hartley dapat disimplifikasi menjadi 4 poin penting. Pertama industri, terkait dengan perputaran perekonomian dan transaksi pasar. Kedua, organisasi, berhubungan dengan komunikasi dan kerjasama antar instansi/lembaga (pemerintah, swasta, dan komunitas) dan kebijakan. Ketiga, database dan angka statistik. Statistik adalah adalah alat ukur untuk melihat sejauhmana progress sebuah program dilaksanakan. Ini juga dipakai sebagai acuan untuk membuat dasar kebijakan dan konsep program selanjutnya. Keempat adalah individu pelaku industri kreatif, baik itu kreatornya (produsen) maupun user-nya (konsumen).
Lebih jauh, Hartley juga menyinggung tentang kebijakan (policy) yang berkaitan dengan peran pemerintah dalam melindungi dan sebagai wasit dalam perputaran industri kreatif. Kebijakan ini pula yang menjadi pendukung dalam pengembangan industri kreatif lokal untuk memperoleh keuntungan ekonomis.
Dalam konteks profesionalisasi kebijakan budaya (Cultural Policy Professionalisation), terdapat empat poin utama yang menjadi konsep dalam melihat bagaimana penerapan kebijakan bagi pengembangan industri kreatif, yaitu:
1. Sosialisasi reguler mengenai kebijakan budaya kepada masyarakat
Secara sederhana, konsep ini menjelaskan tentang bagaimana membangun komunikasi yang efektif dan transparansi informasi terkait kebijakan, aturan main, dan job description masing-masing sektor. Komunikasi ini lebih kepada pembangunan jaringan (networking) dan kemitraan (partnership) antara pemerintah sebagai pemangku kebijakan, swasta (pebisnis), dan kreator.
2. Sektoralisasi
Untuk memajukan dan memberdayakan industri kreatif, sebagus apapun konsepnya jika penataan dan manajerial sumber daya alam dan sumber daya manusianya belum rapi, maka konsep tersebut tidak akan terlaksana dengan optimal. Sektoralisasi terkait dengan pembangunan infrastruktur dan pengkategorian sektor-sektor dalam industri kreatif. Secara konkret, sektoralisasi disini lebih kepada menampilkan industri kreatif ini secara lebih individual. Artinya pemasaran industri kreatif tidak mengadopsi konsep mall, tetapi menggunakan konsep kios-kios yang berdiri sendiri. Secara terminologi disebut kiosk-isation.
3. Fokus pada Prodak Unggulan
Memenangkan sebuah kompetisi dalam konsep city branding, sebuah kota harus memiliki ciri khas dan keunggulan yang tidak dimiliki oleh kota/wilayah lainnya. Dengan keunggulan tersebut, sebuah kota dapat melakukan branding dengan menjual keunggulan dan keistimewaannya menjadi sebuah daya tarik atau brand image. Misalnya kota Turin, sebelah utara kota Italia, yang mem-branding dengan prodak-prodak unggulannya, misalnya dengan ‘menjual’ kemegahan dan kemewahan Turin City Hall yang berada di tengah-tengah kota, atau selalu menampilkan logo “motorola” sebagai salah satu prodak kebanggan kota Turin untuk mengangkat citra, sehingga mendapatkan brand positioning.
4. Pendekatan Budaya.
Belajar dari beberapa kota yang berhasil dalam program city branding-nya, kota-kota tersebut memulai penerapan kebijakan dan program dengan pendekatan budaya lokal. Pendekatan dengan menggunakan budaya lokal diharapkan konsep/kebijakan dapat lebih mudah diterima oleh masyarakat kota tersebut. Pada akhirnya, partisipasi dan dukungan juga dapat diperoleh dari semua pihak. Lebih jauh lagi, pendekatan budaya dimaksudkan agar masyarakat kota tersebut dapat ikut memiliki budaya lokal mereka dan tidak mudah terombang-ambing oleh budaya luar (asing).
Selanjutnya, jika dikaitkan dengan strategi program, Milena Dragicevic Sesic berpendapat bahwa Cultural Policy Professionalization dapat memberikan sebuah pendekatan dalam mengoptimalisasikan potensi social capital dalam sebuah kota, antara lain:
1. 1. Berorientasi pada permintaan pasar (orientation to market demands)
2. 2. Melihat pada scoop yang lebih besar (seeing a global pictures)
3. 3. Mengikuti kecenderungan/tren (following trends)
4. 4. Memiliki inisiatif menciptakan konsep baru (initiating new concepts)
0 komentar:
Posting Komentar