kejujuran (part I)


Seorang sahabat, suatu ketika mengirim sebuah sms yang menurut saya sangat inspiring. ketika itu saya merasa menjadi sangat naif tentang harga sebuah kejujuran. betapa nilai kejujuran menjadi artefak dan kamuflase yang dipakai untuk mengaburkan kemunafikan. saya amat lelah.

"musuh terbesar bangsa kita adalah lupa pada kejujuran, jangan kaget, kadang kala saya juga putus asa karena untuk menjunjung kejujuran rasanya berat dan pahit. tapi saya tidak perlu mengeluh, hadapi saja dan sandarkan semua kemungkinan pada tangan Tuhan. di situlah keberanian saya berlipat lipat"

April 8th 2010 [19:11]

Mengapa Berteriak?



Suatu hari sang guru bertanya kepada murid-muridnya;
"Mengapa ketika seseorang sedang dalam keadaan marah, ia akan berbicara dengan suara kuat atau berteriak?"

Seorang murid setelah berpikir cukup lama mengangkat tangan dan menjawab; "Karena saat seperti itu ia telah kehilangan kesabaran, karena itu ia lalu berteriak."
"Tapi..." sang guru balik bertanya, "lawan bicaranya justru berada disampingnya. Mengapa harus berteriak? Apakah ia tak dapat berbicara secara halus?"

Hampir semua murid memberikan sejumlah alasan yang dikira benar me
nurut pertimbangan mereka. Namun tak satupun jawaban yang memuaskan.


Sang guru lalu berkata;

"Ketika dua orang sedang berada dalam situasi kemarahan, jarak antara ke dua hati mereka menjadi amat jauh walau secara fisik mereka begitu dekat. Karena itu, untuk mencapai jarak yang demikian, mereka harus berteriak. Namun anehnya, semakin keras mereka berteriak, semakin pula mereka menjadi marah dan dengan sendirinya jarak hati yang ada di antara keduanya pun menjadi lebih jauh lagi. Karena itu mereka terpaksa berteriak lebih keras lagi."

Sang guru masih melanjutkan;

"Sebaliknya, apa yang terjadi ketika dua orang saling jatuh cinta?

Mereka tak hanya tidak berteriak, namun ketika mereka berbicara suara yang keluar dari mulut mereka begitu halus dan kecil. Sehalus apapun, keduanya bisa mendengarkannya dengan begitu jelas. Mengapa demikian?" Sang guru bertanya sambil memperhatikan para muridnya. Mereka nampak berpikir amat dalam namun tak satupun berani memberikan
jawaban.

"Karena hati mereka begitu dekat, hati mereka tak berjarak. Pada akhirnya sepatah katapun tak perlu diucapkan. Sebuah pandangan mata saja amatlah cukup membuat mereka memahami apa yang ingin mereka sampaikan."
Sang guru masih melanjutkan; "Ketika anda sedang dilanda kemarahan, janganlah hatimu menciptakan jarak. Lebih lagi hendaknya kamu tidak mengucapkan kata yang mendatangkan jarak di antara kamu. Mungkin di saat seperti itu, TAK mengucapkan kata-kata mungkin merupakan cara yang BIJAKSANA. Karena waktu akan membantu anda."

sumber: Unknown

girl's talk


wednesday @ my room, restless, and cold

me [01:41:42] : hun, suddenly i miss him so much

dee [01:43:17] : just cry...let your self cry...

me [01:44:37] : then i just realized that it might be a silly thing...you know, i definitley cannot think about anything at all...or whether it is a sort of my stupid emotion or merely unexplainable-repressed- feeling :((

me [01:45:09] : sorry for waking you up...

dee [01:46:28] : i know that feeling very well, trust me, it hit me an hour ago. and i just cried. cry me a river. it drove me insane as an addict withdrew for drugs... that is why i called it sakaw

dee [01:46:57] : it's okay...love to make you better

me [01:49:34] : i used to it, hun....i am totally giving up with this helpless addiction! just gimme more drugs, i have to burst my dosage up!

dee [01:52:10] : be sincere, hun...do not touch anything about it....i know it just a kind a damn superficial theory, hahahaha... it means that you are asking to the wrong person...me, my self has not done it yet...just trying to forget...

me [01:55:37] : almost 2 years! it seems to me that easier to memorize his cell phone number without thinking even if i have deleted it for thousand times. it comes to me and never seem to fading away from my brain...

dee [01:58:28] : do you still remember your 'nemo'? how many year? mine, 7 years addicted! i do not think that it is a brain disturbance or something, it is fine hun...you can deal with that. loving someone helplessly...foolishly...it supposes that you would taste it by yourself...by your own heart...

me [02:01:12] : hun, you are the most stupid person that i ever knew! just like me...wkwkwk

dee [02:04:25] : enjoy the sakaw, hun. it is like seeing your bloods out of your body, drop by drop...hurt, yet satisfying

me [02:08:52] : yerp, unconsciously i've been keeping this bloody pain for long years, then, i do really love to be tortured... sleep tight, hun... see ya in dream :p

dee [02:09:28] : see ya :)


... yet, i do not really figure out what kind of pain within...what kind of bloody feelings that make us love to be hurt anyway...be tough, darla...
you will find yourself laughing and smilling when you remember everything we shared someday...


Surat untuk Firman


Surat Untuk Firman

Kawan, kita sebaya. Hanya bulan yang membedakan usia. Kita tumbuh di tengah sebuah generasi dimana tawa bersama itu sangat langka. Kaki kita menapaki jalan panjang dengan langkah payah menyeret sejuta beban yang seringkali bukan urusan kita. Kita disibukkan dengan beragam masalah yang sialnya juga bukan urusan kita. Kita adalah anak-anak muda yang dipaksa tua oleh televisi yang tiada henti mengabarkan kebencian. Sementara adik-adik kita tidak tumbuh sebagaimana mestinya, narkoba politik uang membunuh nurani mereka. Orang tua, pendahulu kita dan mereka yang memegang tampuk kekuasaan adalah generasi gagal. Suatu generasi yang hidup dalam bayang-bayang rencana yang mereka khianati sendiri. Kawan, akankah kita berhenti lantas mengorbankan diri kita untuk menjadi seperti mereka?

Di negeri permai ini, cinta hanyalah kata-kata sementara benci menjadi kenyataan. Kita tidak pernah mencintai apapun yang kita lakukan, kita hanya ingin mendapatkan hasilnya dengan cepat. Kita tidak mensyukuri berkah yang kita dapatkan, kita hanya ingin menghabiskannya. Kita enggan berbagi kebahagiaan, sebab kemalangan orang lain adalah sumber utama kebahagiaan kita. Kawan, inilah kenyataan memilukan yang kita hadapi, karena kita hidup tanpa cinta maka bahagia bersama menjadi langka. Bayangkan adik-adik kita, lupakan mereka yang tua, bagaimana mereka bisa tumbuh dalam keadaan demikian. Kawan, cinta adalah persoalan kegemaran. Cinta juga masalah prinsip. Bila kau mencintai sesuatu maka kau tidak akan peduli dengan yang lainnya. Tidak kepada poster dan umbul-umbul, tidak kepada para kriminal yang suka mencuci muka apalagi kepada kuli kamera yang menimbulkan kolera. Cinta adalah kesungguhan yang tidak dibatasi oleh menang dan kalah.

Hari-hari belakangan ini keadaan tampak semakin tidak menentu. Keramaian puluhan ribu orang antre tidak mendapatkan tiket. Jutaan orang lantang bersuara demi sepakbola. Segelintir elit menyiapkan rencana jahat untuk menghancurkan kegembiraan rakyat. Kakimu, kawan, telah memberi makna solidaritas. Gocekanmu kawan, telah mengundang tarian massal tanpa saweran. Terobosanmu, kawan, menghidupkan harapan kepada adik-adik kita bahwa masa depan itu masih ada. Tendanganmu kawan, membuat orang-orang percaya bahwa kata "bisa" belum punah dari kehidupan kita. Tetapi inilah buruknya hidup di tengah bangsa yang frustasi, semua beban diletakkan ke pundakmu. Seragammu hendak digunakan untuk mencuci dosa politik. Kegembiraanmu hendak dipunahkan oleh iming-iming bonus dan hadiah. Di Bukit Jalil kemarin, ada yang mengatakan kau terkapar, tetapi aku percaya kau tengah belajar. Di Senayan esok, mereka bilang kau akan membalas, tetapi aku berharap kau cukup bermain dengan gembira.

Firman Utina, kapten tim nasional sepak bola Indonesia, bermain bola lah dan tidak usah memikirkan apa-apa lagi. Sepak bola tidak ada urusannya dengan garuda di dadamu, sebab simbol hanya akan menggerus kegembiraan. Sepak bola tidak urusannya dengan harga diri bangsa, sebab harga diri tumbuh dari sikap dan bukan harapan. Di lapangan kau tidak mewakili siapa-siapa, kau memperjuangkan kegembiraanmu sendiri. Di pinggir lapangan, kau tidak perlu menoleh siapa-siapa, kecuali Tuan Riedl yang percaya sepak bola bukan dagangan para pecundang. Berlarilah Firman, Okto, Ridwan dan Arif, seolah-olah kalian adalah kanak-kanak yang tidak mengerti urusan orang dewasa. Berjibakulah Maman, Hamzah, Zulkifli dan Nasuha seolah-olah kalian mempertahankan kegembiraan yang hendak direnggut lawan. Tenanglah Markus, gawang bukan semata-mata persoalan kebobolan tetapi masalah kegembiraan membuyarkan impian lawan. Gonzales dan Irvan, bersikaplah layaknya orang asing yang memberikan contoh kepada bangsa yang miskin teladan.

Kawan, aku berbicara tidak mewakili siapa-siapa. Ini hanyalah surat dari seorang pengolah kata kepada seorang penggocek bola. Sejujurnya, kami tidak mengharapkan Piala darimu. Kami hanya menginginkan kegembiraan bersama dimana tawa seorang tukang becak sama bahagianya dengan tawa seorang pemimpin Negara. Tidak, kami tidak butuh piala, bermainlah dengan gembira sebagaimana biasanya. Biarkan bola mengalir, menarilah kawan, urusan gol seringkali masalah keberuntungan. Esok di Senayan, kabarkan kepada seluruh bangsa bahwa kebahagiaan bukan urusan menang dan kalah. Tetapi kebahagiaan bersumber pada cinta dan solidaritas. Berjuanglah layaknya seorang laki-laki, kawan. Adik-adik kita akan menjadikan kalian teladan! (fay/asy)

Menyederhanakan dengan Kasih (part II)


Pernahkah terpikir bahwa waktu yang kita lewati saat ini adalah waktu-waktu yang terakhir bagi kita? Pernahkah terpikir bahwa udara dan oksigen yang kita hirup tidak lagi dapat kita nikmati lagi? Atau, pernahkah terbayang bahwa wajah-wajah yang kita saksikan detik ini adalah wajah-wajah terakhir yang mampu kita lihat?

Saya ingat akan sebuah film Hollywood, tapi saya lupa judulnya, yang menceritakan tentang tragedi runtuhnya Pentagon pada 11 September beberapa tahun yang lalu. Sejujurnya saya tidak terlalu antusias dengan film-film Hollywood, karena banyak hal yang dipelintir kesana kemari. Dalam hal ini saya tidak sedang iseng mengomentari film-film Hollywood, namun ada spirit yang mengingatkan saya pada satu hal, yaitu bahasa kasih.

Akhir-akhir ini saya sangat menggemari terminology tersebut. Entahlah. Mungkin karena juga tengah mengalami sebuah proses yang masih belum tuntas, di tengah perjalanan Sang Sutradara mengajari saya bagaiman berbahasa dengan kasih. Walaupun saya menyari bahwa saya pun saat ini juga masih terbata-bata mengeja aksara-Nya satu demi satu.

Bersyukur saya berproses dari lingkungan dan bergaul dengan orang-orang yang sangat luar biasa, dari berbagai latar belakang, profesi, kepentingan, kasta, dan keyakinan. Mengenal mereka adalah sebuah berkah yang patut saya syukuri, karena saya percaya bahwa tidak setiap orang memiliki kesempatan seperti yang saya miliki. Maaf, terlepas dari kesombongan saya sebagai manusia biasa, namun itu benar adanya.

Pada awal perkuliahan, sekitar tahun 2002, saya mengenal teman-teman yang memiliki adiksi terhadap drugs, bagaimana mereka melepaskan diri dari belenggu ketagihan heroin, serta bertahan dengan pemulihannya. Saya mulai mengikuti perjalanan dan kehidupan mereka lebih dalam, memahami permasalahan mereka lebih jauh. Sampai akhirnya saya dilibatkan dalam sebuah komunitas pecandu drugs dan dunia adiksi. Bersyukur sekali, saya masih diberikan kekuatan iman dan keyakinan sehingga saya masih terlindung dari pengaruh negative dan keinginan untuk ikut mencoba drugs. Namun, yang ajaib dan sampai sekarang saya pikirkan adalah, teman-teman saya yang addicted tidak pernah sekalipun mempengaruhi saya untuk menggunakan drugs, walaupun itu hanya bercanda. Mungkin itu yang membuat saya betah bergaul dengan mereka sampai dengan akhir tahun 2004. Entahlah, yang saya rasakan saat itu adalah mereka begitu sangat menyayangi dan menjaga saya.

Tidak cukup sampai disana, teman-teman juga kerap mengundang dan mengajak saya untuk bergabung dalam sebuah private meeting, yang mereka beri nama Narcotics Anonymous (NA). Adalah sebuah support group yang diadakan setiap 2 kali seminggu, selasa dan jumat malam. Dalam meeting tersebut, mereka berkumpul dan sharing, curhat, dan saling menguatkan satu sama lain. Banyak sekali hal yang saya pelajari dan saya dapatkan dari NA, meskipun saya bukan seorang addict, tapi saya juga ikut berproses di dalamnya. Salah satunya adalah belajar ‘membaca’ bahasa kasih.

Tidak ada kasta disana, tidak ada diskriminasi, pembedaan warna kulit, kepentingan, dan keyakinan. Yang ada hanya satu spirit, yaitu pemulihan. Memahami dan mendekatkan diri kepada Kekuatan Yang Lebih Besar dari Diri Kita dengan keyakinan kita masing-masing. NA sangat lekat dengan kebersamaan, persaudaraan, dimana kita dapat saling mensupport satu sama lain. Ada spirit kekeluargaan dan pendampingan juga. Dapat dibayangkan, NA seperti sebuah spiritual meeting yang sangat khidmat. Saya juga mulai memahami bahwa teman-teman saya juga manusia yang juga ingin ‘hidup normal’ terlepas dari kesalahan dan khilaf yang mereka perbuat, namun saya cukup menghargai kerja keras dan usaha mereka untuk sembuh. Dari sana juga saya juga lebih memahami bahwa seorang addict terkadang bukan sebuah pilihan yang disengaja. Banyak hal yang melatarbelakangi. Kita tidak dapat menghakimi bahwa pengguna narkoba adalah sebuah kesalahan tunggal.

NA mengenalkan bahwa setiap orang berhak mendapatkan kasih sayang tidak peduli apakah dia Islam, bersalib, ataupun tidak bertuhan. Yang saya tahu, dan yang saya pahami bahwa kasih itu luas, kasih itu memberi, dan kasih itu damai. Sejujurnya saya bukan penganut multikulturalisme dan bukan pula seorang sekuleris. Saya masih berdiri teguh pada pijakan aqidah saya, karena bagaimanapun saya tetap akan memandang dari kacamata sebagai seorang muslimah. Walaupun tidak dapat saya pungkiri, ilmu agama saya masih sangat dangkal.

Masih berbicara tentang kasih, suatu ketika seorang teman saya relapse setelah sekian waktu abstinen. Ia terjerumus lagi pada adiksinya. Sering kali ia melakukan hal-hal bodoh yang cenderung merugikannya, bahkan merugikan keluarga dan orang lain. Sangat menyusahkan dan merepotkan memang. Namun, saya cukup surprise dengan upaya teman-teman saya di NA, mereka tetap mendampingi dan mensupport dia untuk dapat pulih. Membantunya untuk mendapatkan keyakinan spiritualnya, disamping juga membantunya untuk mendapatkan perawatan secara medis medis dan rehabilitasi. Jika dipikir secara sederhana, ngapain juga saya peduli dengan masalah mereka, mau-maunya repot dan pusing memikirkan jalan keluarnya, peduli amat dengan mereka yang menggunakan drugs, karena saya juga punya masalah dan tujuan hidup yang lebih worthed. Ternyata saya bukan termasuk orang yang tidak bisa tidak peduli dengan keadaan yang ada di depan mata saya. Saya hanya melihat: yang di sekeliling saya adalah manusia ciptaan Alloh. Dan dalam menciptakan ciptaanNya, Alloh tidak diskriminatif. Alloh berbicara dengan bahasa kasihnya pada semua ciptaanNya. Itu saja yang saya pahami. Sesederhana itu saya membaca aksara Alloh yang Ia tampakkan pada orang-orang di sekitar saya. Jadi alangkah kerdil dan congkaknya saya jika saya bersikap diskriminatif hanya sekedar mengungkapkan empati dan kepedulian saya. Ketika itu yang ada di benak saya adalah, bagaimana hidup saya dan diri saya berguna dan bermanfaat bagi orang-orang sekitar saya, teman-teman yang membutuhkan. Saudara-saudara yang saya sayangi. Saya tidak berduit, dan saya tidak memiliki kekuatan apapun untuk merubah keadaan. Yang saya mampu berikan saat itu hanya dukungan, semangat, dan pertemanan yang hangat. Dan sebuah keluarga. Oleh karena itu, saya tidak mau menyusahkan diri dengan kotak-kotak dan batasaan yang justru membuat pandangan kita jadi terbatasi dan terhalang. Saya hanya ingin melihat dan memahami realitas secara utuh dan tidak terbelah. Karena kasih itu tidak diskriminatif.

Itu definisi kasih menurut saya.

[Cont’d]


Dedicated to: K’ Bayu, K’ Hari, K’ Sinyo, K’ Wishnu, K’Bonex, K’ Risky (R.I.P), Maknyak Lia, and others…wherever you are. I love you all Guyz and God bless you.. J “Just for Today”

Cinta dan Kereta


Jangan berlalu, sayang

Tunggu aku

Persimpangan hanya membuatmu meragu

Hentikan langkahmu sebentar saja dan palingkan wajahmu

Biar kulihat lagi garis lengkung bibirmu

Menatap lagi mata beningmu yang mulai berkaca

Itu yang selalu kurindukan dalam setiap perjalanan menuju kamu

Malam ini aku hanya melihat rambutmu tergerai tersapu angin sore

Masih di sebuah persimpangan yang sama

Kamu bilang bahwa kamu tak lagi memiliki waktu untuk menunggu keretaku

Dan aku bilang memang cinta tidak dapat menunggu

Cinta bukan kereta, sayang

Cinta tidak memiliki stasiun

Ia pun tidak terjadwal

Tidak ada kasta

Namun cinta memiliki jalannya sendiri

Walaupun tidak seperti rel

Cinta juga dapat membunuh

Menubrukmu, remuk jika kamu tidak waspada dan bijak melangkah

Karena, katanya cinta itu buta




Paksi’s writing (November Rain)

On the Redlines and staring at the brighter you.

dekap aku saat gerimis tiba


tik... tak... tik... tak....

masih kurasakan tanganmu menyentuh wajahku
dan masih kuingat nafasmu membelaiku dalam diam
hangat
mengalirkan keteduhan
kedamaian yang belum pernah kurasakan sebelumnya

aku aman dalam tatapmu
aku diam dalam dekapmu saat gerimis tiba
sore ini

tiada tuntutan lain selain hasrat berada di dekatmu
menemaniku menjemput senja, memotret hujan, dan mencium pelangi
tiada doa terkhusyuk yang kupanjatkan selain selalu ada dalam pandanganmu
menjadi yang terindah

sunyi dan detakan waktu
serasa lekang dalam setiap tetesan air langit yang membasuh mesra
aku dan kamu telah merapat, memagut setiap sunyi dan kegelapan
menjalin dan menyatu haru

dekap aku saat gerimis tiba
karena aku dahaga
lindungi aku saat badai dan halilintar tak bersahabat
karena aku tak ingin sekarat
cium aku saat di dunia ini tak lagi ada cinta
aku ingin kamu ada



Grahapena dan Gerimis di sore hari menjelang pulang
Como vai, querido?

perpisahan yang menyedihkan.

aku tidak tidak bisa memberikan judul dan statement yang lebih indah selain memberikan statement "perpisahan yang menyedihkan"
haru...
kecewa...
.... tidak terima...

bukan, bukan karena perpisahan itu...bukan karena waktu yang telah habis terlewati. bukan itu...

tetapi kami telah dipisahkan dengan skenario yang sangat kejam, alur cerita yang sengaja dibuat untuk menyingkirkan kami...kami bersekian

keluarga

menjadi sangat asing disini
bisa juga menjadi sangat basi

"bu, hari ini saya muak...saya muak dengan sistem di sini..."
"kenapa?"
"come on...grow up...!"

aku masih berduka.
sangat berduka dengan spirit dan semangat yang tidak pernah bisa saling menghargai bahwa kita adalah manusia.
BUKAN MESIN
yang bisa dibuang ketika ia rusak atau tidak sesuai dengan keinginan sang pemilik.

aku berduka
sangat berduka
dan kami telah kehilangan anda, bu...
ibu kami yang setiap senin, rabu dan jumat mengajari kami berbahas inggris
meskipun tidak semuanya sependapat
namun, anda telah memberikan warna yang nyata...
bagaimana mencintai...
menghargai..dan
melihat kegelapan dari sisi terang..
doa kami, semoga ibu selalu mendapatkan yang terbaik dari Tuhan...
tempat kerja yang lebih menghargai ibu sebagai manusia...

Love you Maam...we'll be missing you always :)


dedicated to our beloved English Teacher, our Mother in 905
Cornelia Nathalie

menjadikan sederhana dengan kasih (part I)


Selamat Malam Sahabat...
Semoga hari ini menjadi salah satu hari terbaikmu. atau paling tidak, waktu yang terjalani adalah waktu-waktu yang tidak tersesali di kemudian hari. walaupun terkadang hati dan pikiran masih sering merasakan penolakan dan kekecewaan terhadap realitas yang ada di depan mata.
saya percaya, bahwa berkompromi adalah sebuah proses yang tidak mudah, berat di awalnya, dan ketika itu berproses, masih saja kita 'dituntut' untuk melihat sisi terang dari sebuah peristiwa.
ada kalanya kita menjadi seorang individu yang susah untuk dimengerti, seolah-olah semua orang menjadi sangat menyebalkan. dan kita pun menjadi seorang yang self-centered.
kita adalah diri kita, dan berdamailah dengan segala kekhilafan dan kegagalan. kesombongan tidak hanya untuk sebuah kesombongan dan keberhasilan. namun, yang saya pahami dari kesombongan adalah ketika kita menjadi seorang yang keras hati terhadap sesuatu yang melekat pada diri kita: kekecewaan, kegagalan, rasa malu, dan lainnya. bukankah itu hal yang berlebihan. demikian juga saya, sebagai manusia biasa tak akan terlepas dari gesekan dengan orang lain. persinggungan kepentingan, hasrat, dengki, dan sifat kemanusiaan lainnya. dan menurut saya itu sangat wajar, sahabat...
saya sempat berpikir, bahwa hidup adalah sebuah perjalanan, pengalaman mengalami. dan paling tidak apa yang saya akan dan ingin alami dapat menjadi sesuatu yang berharga, bermanfaat. paling tidak untuk diri saya pribadi. lantas apakah itu sudah cukup?
relatif, sahabat. setiap orang memiliki parameter dan batas masing-masing, hal ini terkait dari pengalaman dan pemahamannya.
saya teringat pada salah satu sahabat saya, secara keyakinan dia berbeda. namun satu hal yang saya dapatkan dari dia untuk perenuangan saya pribadi. yaitu bahasa kasih.

"Bukankah Tuhan berbicara melalui bahasa kasih, Fit?"

benar, mengapa kita tidak membuat kehidupan ini damai dengan kasih?


"Dia-lah yang telah menurunkan ketenangan ke dalam hati orang-orang mu'min supaya keimanan mereka bertambah di samping keimanan mereka (yang telah ada). Dan kepunyaan Allah-lah tentara langit dan bumi dan adalah Allah Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana" (QS. 48:04)

sabtu, malam minggu


sabtu. minggu kedua di bulan november. surabaya mendung, tapi tampaknya tidak akan turun hujan. cuaca begini harusnya akan lebih lengkap dengan secangkir coklat panas dan beberapa komik kariage kun...apalagi ya? after after before-nya coldplay! that's what i called heaven!
persediaan coklatku habis, kariage kun-pun tak ada... hanya seekor cicak yang juga manyun dengan lehernya yang menjulur-julur. berharap ada nyamuk yang apes melintas di dekatnya. sayang sekali cicak, aku sudah mengantisipasi kehadiran hewan penghisap darah itu dengan obat nyamuk elektrik yang baunya bikin sesak. lama-lama tidak hanya nyamuk saja yang binasa, mungkin aku juga akan mati perlahan-lahan karena banyaknya karbon beracun yang masuk ke paru-paruku. bodo ah, daripada badan jadi bentol dan gatal.
kulirik sekali lagi cicak di dinding kamarku. rupanya ia juga telah menyerah. dengan lunglai ia merayap ke sela-sela pinggir lemari. selamat berjuang ya cak, semoga kamu ketemu rayap atau sebangsanya, paling tidak malam ini kamu tidak manyun. seperti aku :(
tidak ada yang menarik. mungkin untuk saat ini. otakku masih terus berputar-putar. ingin rasanya aku menambah partisi berkuncian di dalam kepalaku. suatu ketika kalau otakku sudah hampir overload, bisa aku share ke partisi yang lainnya. mungkin itu lebih baik.

A warning sign
You came back to haunt me and realized

You were an island and I passes you by

You were an island to discover


aku mulai menulis. kubiarkan otakku mengembara dan jari-jariku sepertinya mulai membandel tak turut perintah otakku. menarilah kau jari-jariku. sebetulnya aku membenci menuliskan beberapa kata. ada sensasi yang tidak aku sukai tiba-tiba menggangguku. sudahlah anggap saja itu efek samping.

Come on in
I've gotta tell you what state I am in
I've gotta tell you in my loudest tones
that I started looking for a warning sign

sampai suatu ketika aku berhenti menulis dan otakku tiba-tiba tak lagi bisa kuajak kompromi. writing block!

aku terdiam.

ada yang bergerak-gerak diantara tumpukan kertas di sebelahku. ada seraut kepala muncul dan memandangiku innocent. cicak! kau lagi, apa kabar malam minggumu?



thanks to Frodo the Lizard!

italized lyrics by Coldplay-Warning Sign

the truth


everyone is on high
everyone is start crawling

everyone is keep demanding



everyone is staying alive

everyone is busy with their parts

everyone is being grey


everyone is missing

everyone is learning to be loved

everyone is selfish

everyone is figuring out the truth



the truth is

I miss you :)

Politik Identitas dan Kesempatan LGBT dalam Politik


Istilah LGBTiQ mungkin masih belum terlalu popular di masyarakat dibandingkan dengan istilah gay, lesbian, transgender, dan waria. Namun bagi sebagian kelompok tertentu, istilah LGBTiQ menyimpan sebuah perjalanan, bahkan perjuangan yang panjang. Adalah sebuah perjuangan dalam meraih sebuah cita-cita kesetaraan, tidak hanya dalam wacana gender dan seksualitas saja. Lebih dari itu, identitas-identitas ‘baru’ yang tidak termasuk dalam identitas mainstream juga selayaknya mendapatkan tempat yang adil. Ruang yang adil ini merupakan ruang yang dapat diasumsikan sebagai ruang politis, karena tidak dapat dipungkiri, kaum yang beridentitas ‘baru’ ini juga memiliki agenda dan tujuan yang ingin mereka wujudkan. Sehingga, sudah sangat lazim jika mereka juga mempunyai cara dan strategi tertentu dalam perjuangannya.

Perkembangan ini tidak terlepas dari berkembangnya ilmu pengetahuan dan pendekatan tentang gender dan seksualitas, yakni teori Queer. Sedikit ulasan tentang teori Queer, secara sederhana dapat dijelaskan bahwa teori Queer tertarik mengkaji kombinasi berbagai kemungkinan dari tampilan gender. Mereka tertarik mempelajari isu-isu gender, seksualitas dan politik identitas dalam kaitannya dengan perubahan paradigma sosial. Queers menjunjung segala cara yang digunakan dalam mengekspresikan sexualitas dari semua kemungkinan, baik yang dipengaruhi secara biologis, maupun non-biologis. Peluang-peluang yang tak terhitung tersebut ternyata tidak terakomodir secara keseluruhan oleh seksualitas yang heteronormatif.

LGBTiQ, queer, identitas, dan politik adalah isu-isu yang saling terlekat satu dengan yang lainnya. Dalam pemikiran queer, identitas gender bahkan identitas seks (yang secara biologis) bukan merupakan suatu hal yang mutlak berhenti di suatu titik, paten. Namun, identitas-identitas tersebut terus berkembang dan terus dipertanyakan seiring dengan perkembangan situasi di sekitar kita. Lebih jauh lagi Butler menjelaskan,

Gender ought not to be constructed as a stable identity or locus of agency from which various acts follow. Rather, gender is an identity tenuously constituted in time, instituted in an exterior space through a stylized repetition of acts.”

Sangat jelas bahwa identitas adalah bentukan, konstruksi dan identitas dapat secara nyata dikaitkan dengan pranata sosial seorang individu, misalnya keluarga, sekolah, sampai dengan negara dimana kita adalah bagiannya. Dalam pranata sosial tersebut itulah seorang individu menemukan ‘identitas’nya. Namun demikian proses penemuan itupun tidak semata-mata dalam proses yang sebentar, biasanya dalam proses penemuan identitas, seorang individu mengalami masa ‘adaptasi’ dengan konstruksi-konstruksi yang dia hadapi, dengan nilai-nilai yang dia internalisasi, sampai kemudian dia mendapatkan ‘identitas’ atau label yang sesuai untuk dirinya. Dalam proses adaptasi inilah dialektika identitas terjadi, karena tidak hanya melibatkan kondisi biologis, misalnya jenis kelamin dan organ tubuh (jika berbicara tentang seksualitas), namun juga akan bersinggungan dengan tantangan secara kultur, agama (kepercayaan), setting ekonomi, serta latar belakang politik.

Menariknya dari politik identitas adalah ketika dikaitkan dengan isu gender, seksualitas dan LGBTiQ movement. Munculnya isu-isu tersebut tidak lain adalah sebuah perwujudan ‘perlawanan’ mereka terhadap tuntutan keseragaman identitas yang disuarakan oleh kaum identitas mainstream (laki-laki dan perempuan). Pengakuan yang absolut baik secara hukum (agama dan negara) dan sosial memberikan implikasi bahwa hanya identitas yang berada dalam kategori tersebut sajalah yang memiliki ‘privilage’ dan kebebasan. Praktisnya, mereka memiliki hak yang diakui, kebebasan dalam mengekspresikan seksualitasnya, dll. Dengan adanya pengotak-kotakan yang sangat ekstrim tersebut secara otomatis akan mereduksi kesempatan bagi identitas yang tidak dapat dimasukkan kedalam kategori tersebut. Konsekuensinya, hak-hak mereka pun juga tidak dapat dipenuhi, ruang lingkup yang terbatas, dalam berbagai konteks kehidupan.

Secara nyata LGBTiQ berkonsentrasi pada perkembangan dan isu-isu seputar lesbian, gay, biseksual, transgender, dan in-questioning. Tidak menutup kemungkinan dengan perkembangan masyarakat yang semakin kompleks dengan isu-isu seksualitas, akan muncul berbagai identitas-identitas baru. Namun demikian, perkembangan identitas ini tidak in-line dengan realitas yang ada. Artinya, baik secara sosial dan hukum, kaum LGBTiQ ini masih mengalami stigma dan diskriminasi. Sebuah paradigma besar masih menjadi sebuah acuan dalam berpikir masyarakat, hegemoni pemerintah, kaum fundamentalis, dan kultur yang konservatif adalah beberapa faktor mengapa kaum LGBTiQ tidak memiliki suara selantang kaum heteronormatif. Isu-isu penyimpangan seksual, sampai dengan klaim ‘pendosa’ seolah terus dilekatkan pada kaum LGBTiQ, karena dikaitkan dengan orientasi seksual yang mereka miliki. Dengan demikian, sangatlah jelas bahwa kaum LGBTiQ tidak memiliki ruang yang cukup untuk menyuarakan kepentingannya.

Dalam mewujudkan sebuah agenda besar yang dikaitkan dengan perubahan sosial, kaum LGBTiQ harus menyadari bahwa perjuangan mereka tidak hanya secara parsial dan dalam tataran grass-root saja, namun harus sudah memikirkan keterlibatan mereka dalam dunia politik. Praktisnya, pertimbangan keterwakilan suara dalam parlemen harus mulai dijadikan sebuah target dalam strategi politisnya. Selain itu, pelibatan para praktisi hukum, akademisi, public figure, dan tokoh agama juga sangat potensial dalam mendukung dan menguatkan jejaring sosial. Perubahan sosial tidak akan terwujud jika belum terbangun sebuah integrasi yang berkesinambungan diantara elemen-elemen masyarakatnya.

Sejauh ini, menurut pendapat penulis, perjuangan kaum LGBTiQ memang masih belum menampakkan keberhasilan yang cukup signifikan. Terdapat beberapa hal yang dapat dijadikan parameter dalam keberhasilan perjuangan mereka, terkait dengan dukungan politis (prodak kebijakan, dan aliansi), dan dukungan pendanaan. Berbagai konferensi dan pertemuan-pertemuan yang membahas isu-isu LGBTiQ telah banyak digelar, agenda-agenda besar telah disusun bersama, penyatuan kekuatan dan semangat perubahan juga telah diperoleh, namun realitas yang paling ironis adalah ketika terjadi pemboikotan secara paksa oleh kelompok tertentu terhadap konferensi LGBT yang akan digelar di Surabaya. Ini menunjukkan bahwa masyarakat masih memandang isu-isu LGBTiQ adalah bahasan terlarang. Terpaan dan tekanan sosial yang masih tinggi menyebabkan kelompok dengan identitas-identitas tersebut menjadi sebuah hidden population.

Dukungan dari luar negeri ternyata menjadi celah yang cukup potensial dan ‘menguntungkan’ bagi pejuang-pejuang isu LGBTiQ. Ketika mereka tidak mendapatkan dukungan secara politis di dalam negeri, lembaga donor Internasional, sekelas USAid, Hivos, Rotary, AUSAid, dan lainnya, berbondong-bondong datang dengan suntikan dana segar untuk mendukung perjuangan mereka. Tidak hanya itu, beberapa dari mereka bahkan menawarkan strategi ‘perang’ sebagai hasil lesson learn dari negara-negara ‘jajahan’ mereka (baca: negara maju). Secara otomatis, frame of reference dan field of experience yang terbentuk adalah internalisasi nilai-nilai donor, yang terkadang tidak sepenuhnya memahami kondisi lokal masyarakat. Jika tidak disikapi secara bijak dan kritis, maka tidak menutup kemungkinan kaum dengan identitas marjinal ini akan semakin terjajah oleh perjuangannya sendiri.

Menenemukan Kembali Engkau


Aku masih berpikir bahwa jalan ini akan tetap selalu sama dari waktu ke waktu.
aku juga masih mempercayai perjudian dalam kehidupan.
tak ada yang tidak mungkin, setiap angka, kartu, dan tanda akan memiliki kemungkinan yang sama untuk muncul.
atau dimunculkan?

Aku terduduk diantara kepastian dan ketidak pastian.
aku terhimpit dalam otakku sendiri yang meraung-raung mencari alasan untuk tetap mempertahankanmu.
logika yang mulai sekarat, letih dalam pembenaran yang kuciptakan sendiri.
keraguan itu perlahan meracuni dan mendramatisir realitas yang kujalani setiap waktunya.
yang kutahu bahwa aku memiliki dua kaki untuk menapaki kemungkinan-kemungkinan permainan.
kedua mataku, penyimpan segalanya, pembohong, intimidatif, walaupun sering kali bisa sangat rapuh.

Dengan semuanya itu aku masih dapat melihatmu, dan kau juga mengenalku dengan baik.
aku juga akan selalu mengikutimu, meskipun saat ini aku merasa terabaikan dan tertinggal.
aku tidak mencari apapun dari dalam diriku dan dirimu kecuali kedamaian.
ijinkan aku mencarinya dan aku menemukannya dengan caraku meskipun ini nanti akan menyakitkanku diakhirnya.
aku hanya ingin berkompromi dengan kemarahanku, keputusasaanku, dendam hatiku, rasa syukurku, kebangganku hingga kesombongan jiwaku.
karena keniscayaan itu realitas nyata, ketakpastian itu dapat dihitung dan kemungkinan-kemungkinan itu matematis.

Aku masih tetap menginginkanmu kembali, menjadi hangat dalam hati dan otakku.


Saturday, July 18, 2009 at 12:44am

Represi = sampah (?!?!)


Suatu ketika salah satu dosen teori English Literature bercerita tentang jaman post-colonial dan oppressed people. Cerita tentang orang-orang Black America. Dan ternyata lebih jauh lagi menyinggung soal gender dan orientasi seksual yang berbeda.

Ada satu hal yang menarik dari paparan sekian jamnya, represi, tekanan.

Lebih jauh soal psikoanalisis pastinya hanya Freud yang paham sempurna, namun soal apa yang terepresi di masing-masing unconsiousness adalah subjektif. Namun dalam hal ini saya tidak akan menyinggung terlalu dalam tentang Freud, karena sejujurnya dalam beberapa hal saya bersebrangan dengannya :)

Ada pepatah yang mengatakan, Dalamnya laut bisa diukur, tapi dalam hati siapa yang tahu… pernyataan tersebut mungkin dapat menjadi dekonstrukif jika kita beranggapan kita telah memahami orang lain. Silakan jika tidak bersepakat, karena sesungguhnya hanya keegoisan kitalah yang membentuk persepsi dan batasan 'pengertian' terhadap orang lain.

Pernahkah terpikir, bahwa setiap detikan waktu yang berlalu, kita dengan tanpa sadar telah menimbun”sampah” dalam otak kita yang sebenarnya “terbatas”. Dan pernahkah terbayang berapa “byte” sampah2 yang tertimbun jika ternyata substansinya tak bisa di-recycle? Busuk pastinya.

Lantas apa yang seharusnya kita lakukan agar tidak menjadi gerobag sampah berjalan?

Logikanya, jika tidak ingin menimbun sampah, ya jangan memproduksi sampah, tapi mungkinkah kita tidak menyampah? Intinya mengurangi pemakaian benda2 yang cenderung mengakibatkan penyampahan, mengurangi ekspektasi yang berlebih, mengurangi tuntutan terhadap hidup, balajar untuk lebih berhening. Yang pada akhirnya recycle adalah cara paling efektif pemanfaatan sampah yang tertimbun. Berpikir positif dan menjadi diri sendiri. Konkritnya adalah dengan menerima apa adanya dan memaafkan. Alangkah indahnya jika ruang dan bilik dalam otak kita dimanfaatkan untuk menyimpan kenangan yang membahagiakan bukan penyakit yang menggerogoti dengan licik. Congrats for being sober!!!

Baik Saja Tidak Cukup


Lana masih saja membisu memandangi sepucuk surat bersampul jingga di tangan kanannya. Tak habis akal ia memikirkan bagaimana bias surat itu sampai ke tangannya kembali. Ia tercenung sepersekian detik. Ada bayangan Arga melintas di benaknya.

Arga, kenapa selalu dia kenapa harus ada ekspektasi atasnya lagi.

Bosan.

Bosan

Teriaknya dalam hati. Arga yang baik. Arga yang tidak pernah neko-neko dan selalu sederhana dalam pemikiran dan perilakunya.

Itulah yang membuatku tak berdaya. Selalu seperti itu.


Batinnya lagi.
Arga yang ternyata tidak sepenuhnya memperjuangkanku
Ia mendengar ada suara yang berbeda menyeruak di sela-sela rasionalitas yang sudah mulai terkoyak. Sebetulnya Lana menyadari benar bahwa kenyataan ini sangatlah bertentangan dengan pendiriannya. Ia juga sangat faham bahwa ia akan membutuhkan waktu berhari-hari untuk sekedar menterjemahkan sebuah pesan singkat di ponselnya:

Selamat pagi, Matahari. Terimakasih telah membangunkan dan bersinar hari ini.

Menjadi sangat tidak biasa karena Lana saat itu sedang terjangkit demam. Demam yang hanya dapat diredakan oleh sebuah benda yang mampu menembus jarak dan angkasa. Benda yang hanya menampilkan kode dan sandi. Bisu.

Katakan itu dengan bahasa suara, Arga.

Demam Lana semakin tinggi, badannya menggigil. Kata orang Lana terserang psikosomatis. Penyakit kambuhan yang mulai kronis. Dalam suhu badan yang tinggi ia masih menyimpan harap bahwa Arga akan segera menyadari, ia sedang sekarat. Namun, ternyata Arga sepertinya terlalu sibuk menikmati terangnya siang hingga mungkin ia tidak menyedari bahwa sang Matahari pun akan terbenam.

Arga, aku sakit. Tolong.

Lana mulai putus asa dengan dirinya. Sedangkan Arga tak pernah datang. Hampir mati rasanya ia bertahan. Jiwanya patah.
Lana mulai meyadari bahwa Arga memang berharaga untuk diperjuangkan, dipertahankan. Namun tidak dengan berperang dan mati konyol.
Arga mungkin baik di matamu, pahlawan yang kamu inginkan untuk dapat menyelamatkan jiwamu. Mungkin pula obat penurun panas yang dapat meredakan demammu. Sebenarnya, kamu tidak menginginkan seorang super hero yang mampu menyelamatkanmu dari kehancuran. Yang kamu butuhkan saat ini adalah seorang yang mempercayaimu, memberikan rasa aman dan nyaman. seorang yang sederhana. Tetapi bersedia menggenggam tanganmu untuk berjalan beriringan. Berjuang bersama. Sangat tidak adil jika kamu memperjuangkan dirinya tetapi ia tidak sebaliknya padamu. Baik saja tidak cukup, Lana.

Baik saja tidak cukup.

Dimana Arga disaat kmu kehlangan kepercayaan? Apa yang Arga lakukan disaat kamu butuh seseorang untuk berbagi kesedihan? Lantas, apakah Arga mengingatmu ketika ia bahagia dan tidak bersamamu? dan yang paling sederhana adalah, pernahkah Arga memanggil namamu dengan bibirnya? Tidak pernah.

Ya, baik saja tidak cukup.

Lana beranjak. Ia melangkah dan meletakkan benda berwana jingga itu begitu saja dan berlalu.

GAV 54A, nov 9'10