Pagi ini, aku mengawali hariku dengan akhir mimpi buruk semalam. Beberapa malam ini aku bermimpi tentang sesuatu yang tidak pernah aku ekspektasikan sebelumnya. Bermimpi tentang orang-orang orang yang pernah ku kenal dan mengenalku. Jika kehadiran mereka menjadi sebuah kebetulan belaka ataupun penampakan akibat sugesti yang berlebihan, sepertinya aku meragukannya. Yang jelas aku tidak pernah mengangani mereka sebelumnya. Malah beberapa dari mereka tak pernah sekalipun terlintas dalam benakku sejak beberapa tahun ini. Karena mereka sejarah. Namun selama sepekan malam ini aku melihat dengan jelas mereka semua, semuanya membenciku, semuanya menuduhku dan sedikit membuahkan penyesalan di akhirnya. Sungguh, bahkan aku sama sekali tak mengerti mengapa mereka semua sepertinya tak mengindahkanku, meskipun hanya untuk sebuah senyuman. Aku pernah berdosa, memang. Tetapi apakah ini yang harus aku bayar untuk sebuah keadilan? Mata dibayar mata, dan darah ditebus dengan darah? Tujuh malam dengan tujuh insiden berdarah.
Melihat mereka hadir di dalam mimpiku merupakan sesuatu yang kuanggap biasa. Walau terkadang aku sedikit terbawa dan terus mengingatnya hingga aku benar-benar melupakannya. Kali ini berbeda, meskipun aku pernah beberapa kali mengalami mimpi yang menyedihkan, tak kusangka akan sebegini kuat pengaruhnya terhadap diriku. Pertama-tama, tepat di hari ketujuh ku hela napas panjang saat ku buka mataku, dan bergumam…entah itu rasa syukur atau sekaligus penyesalanku bahwa aku telah melihat dia lagi.
Aku tersakiti.
Bukan masalah pembenaran dan pembelaan jika aku berpikir semuanya terjadi bukan mutlak khilafku. Karena memang demikian. Yang sekarang aku pahami adalah bahwa aku bukan manusia yang bisa belajar. Aku tidak bisa belajar mencintai. Menurutku, cinta adalah sesuatu yang sangat luas, megah dan (masih) absurd. Silakan kalian berceloteh tentang bagaimana indahnya cinta, agungnya pengorbanan ataupun manisnya harapan. Silakan. Pada akhirnya kalian akan menyadari bahwa aku sangat keras hati. Cinta adalah pengalaman. Dan aku mengalami cinta sebagai sebuah kemunafikan pada diri sendiri. Sekaligus menjadi kesalahanku yang paling fatal.
Aku masih tersakiti.
Aku melihat dia lagi. Dia yang telah bertahun-tahun – ternyata enggan – ku lepas dari ruang kosong di dalam diriku. Kadang aku memaknai kehadirannya sebagai bintang pagi, yang hanya terlihat kala fajar dan menghilang saat terbit mentari. Atau kadang aku menamainya air langit yang jatuh berderai-derai membasuh semua yang berada di bawahnya. Namun yang pasti, aku masih miris saat mengingatnya. Dari sekian malam dimana dia hadir dalam mimpiku, tak pernah sekalipun aku melihatnya bahagia saat bersamaku. Aku melihatnya sangat jelas di matanya.
Pada awalnya aku menganggap semuanya akan baik-baik saja. Aku akan sehat dari semua yang pernah menyakitiku. Dendam itu mungkin kini telah sirna. Karena insiden itu terjadi lebih dari satu dekade. Mungkin dia telah menganggapnya sebagai sesuatu yang tak pernah ada. Atau bahkan dia tak pernah mengenaliku. Tetapi aku tidak demikian. Waktu telah berbohong, ia tak dapat menyembuhkan apapun dalam diriku. Malahan karena semua telah terlupakan-lah yang akhirnya membuatku menjadi monster seperti sekarang ini. Menjadi makhluk-yang-tak-dapat-dimengerti. Begitulah, aku berkesimpulan bahwa mereka-mereka semua telah aku kecewakan dengan kebodohan dan keakuan yang aku sendiri tak pernah menyadarinya. Terlepas dari semua yang tak dapat aku hindari, baru kuyakini sepenuhnya ternyata aku masih menyimpan luka. Luka yang pernah aku anggap sirna. Namun pada kenyataannya perihnya masih sangat sempurna ku kecapi sampai detik ini.
Luka itu adalah dia
Aku telah menyebutnya sebagai bintang. Ia yang paling gemilang diantara benda-benda di seluruh galaksi yang maha luas ini. Dan sebenarnya aku tak pernah dapat dengan tepat mendeskripsikan dia dengan bahasa yang dapat dimengerti. Tetapi aku sangat percaya dia telah menggenapi separuh keganjilan dalam diriku. Sebegitu emosionalnya aku terhadapnya seolah dia sangat ingin ku miliki tanpa menyisakan sedikitpun bagi orang lain. Aku yang telah mencoba merebutnya dari langit. Meraihnya dengan seluruh kemampuanku. Sampai suatu ketika aku terjatuh dan dia pun menghilang tanpa menyisakan apapun pada diriku. Kini kehadirannya hanya setitik kerlip yang menerangi kekosongan hatiku yang kembali tak lengkap. Kepergiannya membawa kehampaan yang sampai kini masih termaknai sebagai rasa bersalah yang belum bisa ku tebus. Aku telah khilaf.
Seringkali, saat aku terdiam menatap angkasa, selalu terlintas di benakku, seandainya aku bisa memutar waktu, akan ku ubah semuanya yang akan menyakitinya dan menjauhkannya dariku. Seandainya saja itu terjadi, tentu aku tak harus berairmata mengingat dan menyesali semuanya. Aku hanya ingin melihatnya tersenyum dan memaafkan khilafku. Pada akhirnya, akupun menyadari atas semua yang pernah terlewati. Dia adalah sebuah awal dan sampai saat ini belum berakhir. Dia adalah mozaik dari kepingan-kepingan hatiku yang menunggu disusun dengan presisi. Dan dia adalah bom waktu yang baru saja memporak-porandakan pertahanan diriku. Dia adalah luka itu sendiri.
Selamat Datang Kembali di Hidupku
Munafik itu sakit. Dia telah membuatku tak dapat berpaling. Bukan berarti aku berdalih bahwa dia yang telah melukaiku. Dan bukan pula berarti aku tak berusaha menyembuhkan kepedihan ini. Telah lama aku menyerah pada waktu, berharap semua yang pernah ku alami adalah bagian sejarah yang dapat kukenang dengan senyuman. Aku salah besar. Dia bukan lagi bagian sejarah, tapi ia masih mengukir sejarah sampai detik ini. Dia tidak hidup di masa lalu, namun aku masih tetap menghadirkannya, menjadikannya eksis. Ketaklengkapan itu yang membuat dia hadir. Keganjilan itu membawa ku kembali padanya. Meskipun perih tetapi aku harus memperjuangkannya, sebagai pembuktian bahwa dia memang berharga untuk aku perjuangkan. Namun demikian, pengalaman telah mengajariku banyak hal, sakit memang ketika aku memahami bahwa jiwa itu bebas. Ia tak akan mengikat dan terikat. Demikian pula dengannya, aku akan belajar bagaimana membebaskan diri dan menjadi ikhlas. Masih lekat di benakku selintas ketakutan seandainya semuanya menjadi terlambat.
“Aku selalu berdoa, Engkau adalah yang terakhir terlihat di mataku sebelum semuanya berakhir…sebelum semuanya menjadi tak terlihat. Jika seandainya aku tidak diijinkan melihatmu disini, aku berharap dapat bahagia bersamamu disana…”
Dedicated to Engkau wherever you are,
“Thank you for helping me to relieve the pain”
March, 1st 2K8
7 komentar:
masa lalu bukan untuk dilupakan tp utk dikenang..masih banyak sinar yang bisa kau raih..sinar2 ENGKAU yg mungkin bisa membuatmu lebih hidup... keep on fight ^^
ulil: life is such as fiction, and i like writing it with my soul..hehe
thanks for reading my soul :)
Hmmm....sakitmu untuk siapa sih?????
Kak Hendra likes this one...:)
so inspiring....lumayan buat bacaan jiwa saya....:)
keep up the good work,Fit..!!
Best regards,
Hendra D.
nay: aku yakin, sakit bukanlah pilihan yang mudah...dan setiap orang memiliki pilihan2 itu...bahkan untuk dirinya sendiri.
k'hendra: makasi udah baca..tak tunggu komen2nya ya... :)
Semoga kamu bisa menikmati rasa sakit itu....tapi bukan untuk semakin sakit...:-)
Tuhan mengijinkan kita disakiti, agar esok hari kita tau cara mengobati orang yang tersakiti. Tuhan membiarkan kita menangis,agar esok hari kita mampu menghibur orang yang menangis.
Posting Komentar