Represi = sampah (?!?!)


Suatu ketika salah satu dosen teori English Literature bercerita tentang jaman post-colonial dan oppressed people. Cerita tentang orang-orang Black America. Dan ternyata lebih jauh lagi menyinggung soal gender dan orientasi seksual yang berbeda.

Ada satu hal yang menarik dari paparan sekian jamnya, represi, tekanan.

Lebih jauh soal psikoanalisis pastinya hanya Freud yang paham sempurna, namun soal apa yang terepresi di masing-masing unconsiousness adalah subjektif. Namun dalam hal ini saya tidak akan menyinggung terlalu dalam tentang Freud, karena sejujurnya dalam beberapa hal saya bersebrangan dengannya :)

Ada pepatah yang mengatakan, Dalamnya laut bisa diukur, tapi dalam hati siapa yang tahu… pernyataan tersebut mungkin dapat menjadi dekonstrukif jika kita beranggapan kita telah memahami orang lain. Silakan jika tidak bersepakat, karena sesungguhnya hanya keegoisan kitalah yang membentuk persepsi dan batasan 'pengertian' terhadap orang lain.

Pernahkah terpikir, bahwa setiap detikan waktu yang berlalu, kita dengan tanpa sadar telah menimbun”sampah” dalam otak kita yang sebenarnya “terbatas”. Dan pernahkah terbayang berapa “byte” sampah2 yang tertimbun jika ternyata substansinya tak bisa di-recycle? Busuk pastinya.

Lantas apa yang seharusnya kita lakukan agar tidak menjadi gerobag sampah berjalan?

Logikanya, jika tidak ingin menimbun sampah, ya jangan memproduksi sampah, tapi mungkinkah kita tidak menyampah? Intinya mengurangi pemakaian benda2 yang cenderung mengakibatkan penyampahan, mengurangi ekspektasi yang berlebih, mengurangi tuntutan terhadap hidup, balajar untuk lebih berhening. Yang pada akhirnya recycle adalah cara paling efektif pemanfaatan sampah yang tertimbun. Berpikir positif dan menjadi diri sendiri. Konkritnya adalah dengan menerima apa adanya dan memaafkan. Alangkah indahnya jika ruang dan bilik dalam otak kita dimanfaatkan untuk menyimpan kenangan yang membahagiakan bukan penyakit yang menggerogoti dengan licik. Congrats for being sober!!!

0 komentar: