Istilah LGBTiQ mungkin masih belum terlalu popular di masyarakat dibandingkan dengan istilah gay, lesbian, transgender, dan waria. Namun bagi sebagian kelompok tertentu, istilah LGBTiQ menyimpan sebuah perjalanan, bahkan perjuangan yang panjang. Adalah sebuah perjuangan dalam meraih sebuah cita-cita kesetaraan, tidak hanya dalam wacana gender dan seksualitas saja. Lebih dari itu, identitas-identitas ‘baru’ yang tidak termasuk dalam identitas mainstream juga selayaknya mendapatkan tempat yang adil. Ruang yang adil ini merupakan ruang yang dapat diasumsikan sebagai ruang politis, karena tidak dapat dipungkiri, kaum yang beridentitas ‘baru’ ini juga memiliki agenda dan tujuan yang ingin mereka wujudkan. Sehingga, sudah sangat lazim jika mereka juga mempunyai cara dan strategi tertentu dalam perjuangannya.
Perkembangan ini tidak terlepas dari berkembangnya ilmu pengetahuan dan pendekatan tentang gender dan seksualitas, yakni teori Queer. Sedikit ulasan tentang teori Queer, secara sederhana dapat dijelaskan bahwa teori Queer tertarik mengkaji kombinasi berbagai kemungkinan dari tampilan gender. Mereka tertarik mempelajari isu-isu gender, seksualitas dan politik identitas dalam kaitannya dengan perubahan paradigma sosial. Queers menjunjung segala cara yang digunakan dalam mengekspresikan sexualitas dari semua kemungkinan, baik yang dipengaruhi secara biologis, maupun non-biologis. Peluang-peluang yang tak terhitung tersebut ternyata tidak terakomodir secara keseluruhan oleh seksualitas yang heteronormatif.
LGBTiQ, queer, identitas, dan politik adalah isu-isu yang saling terlekat satu dengan yang lainnya. Dalam pemikiran queer, identitas gender bahkan identitas seks (yang secara biologis) bukan merupakan suatu hal yang mutlak berhenti di suatu titik, paten. Namun, identitas-identitas tersebut terus berkembang dan terus dipertanyakan seiring dengan perkembangan situasi di sekitar kita. Lebih jauh lagi Butler menjelaskan,
”Gender ought not to be constructed as a stable identity or locus of agency from which various acts follow. Rather, gender is an identity tenuously constituted in time, instituted in an exterior space through a stylized repetition of acts.”
Sangat jelas bahwa identitas adalah bentukan, konstruksi dan identitas dapat secara nyata dikaitkan dengan pranata sosial seorang individu, misalnya keluarga, sekolah, sampai dengan negara dimana kita adalah bagiannya. Dalam pranata sosial tersebut itulah seorang individu menemukan ‘identitas’nya. Namun demikian proses penemuan itupun tidak semata-mata dalam proses yang sebentar, biasanya dalam proses penemuan identitas, seorang individu mengalami masa ‘adaptasi’ dengan konstruksi-konstruksi yang dia hadapi, dengan nilai-nilai yang dia internalisasi, sampai kemudian dia mendapatkan ‘identitas’ atau label yang sesuai untuk dirinya. Dalam proses adaptasi inilah dialektika identitas terjadi, karena tidak hanya melibatkan kondisi biologis, misalnya jenis kelamin dan organ tubuh (jika berbicara tentang seksualitas), namun juga akan bersinggungan dengan tantangan secara kultur, agama (kepercayaan), setting ekonomi, serta latar belakang politik.
Menariknya dari politik identitas adalah ketika dikaitkan dengan isu gender, seksualitas dan LGBTiQ movement. Munculnya isu-isu tersebut tidak lain adalah sebuah perwujudan ‘perlawanan’ mereka terhadap tuntutan keseragaman identitas yang disuarakan oleh kaum identitas mainstream (laki-laki dan perempuan). Pengakuan yang absolut baik secara hukum (agama dan negara) dan sosial memberikan implikasi bahwa hanya identitas yang berada dalam kategori tersebut sajalah yang memiliki ‘privilage’ dan kebebasan. Praktisnya, mereka memiliki hak yang diakui, kebebasan dalam mengekspresikan seksualitasnya, dll. Dengan adanya pengotak-kotakan yang sangat ekstrim tersebut secara otomatis akan mereduksi kesempatan bagi identitas yang tidak dapat dimasukkan kedalam kategori tersebut. Konsekuensinya, hak-hak mereka pun juga tidak dapat dipenuhi, ruang lingkup yang terbatas, dalam berbagai konteks kehidupan.
Secara nyata LGBTiQ berkonsentrasi pada perkembangan dan isu-isu seputar lesbian, gay, biseksual, transgender, dan in-questioning. Tidak menutup kemungkinan dengan perkembangan masyarakat yang semakin kompleks dengan isu-isu seksualitas, akan muncul berbagai identitas-identitas baru. Namun demikian, perkembangan identitas ini tidak in-line dengan realitas yang ada. Artinya, baik secara sosial dan hukum, kaum LGBTiQ ini masih mengalami stigma dan diskriminasi. Sebuah paradigma besar masih menjadi sebuah acuan dalam berpikir masyarakat, hegemoni pemerintah, kaum fundamentalis, dan kultur yang konservatif adalah beberapa faktor mengapa kaum LGBTiQ tidak memiliki suara selantang kaum heteronormatif. Isu-isu penyimpangan seksual, sampai dengan klaim ‘pendosa’ seolah terus dilekatkan pada kaum LGBTiQ, karena dikaitkan dengan orientasi seksual yang mereka miliki. Dengan demikian, sangatlah jelas bahwa kaum LGBTiQ tidak memiliki ruang yang cukup untuk menyuarakan kepentingannya.
Dalam mewujudkan sebuah agenda besar yang dikaitkan dengan perubahan sosial, kaum LGBTiQ harus menyadari bahwa perjuangan mereka tidak hanya secara parsial dan dalam tataran grass-root saja, namun harus sudah memikirkan keterlibatan mereka dalam dunia politik. Praktisnya, pertimbangan keterwakilan suara dalam parlemen harus mulai dijadikan sebuah target dalam strategi politisnya. Selain itu, pelibatan para praktisi hukum, akademisi, public figure, dan tokoh agama juga sangat potensial dalam mendukung dan menguatkan jejaring sosial. Perubahan sosial tidak akan terwujud jika belum terbangun sebuah integrasi yang berkesinambungan diantara elemen-elemen masyarakatnya.
Sejauh ini, menurut pendapat penulis, perjuangan kaum LGBTiQ memang masih belum menampakkan keberhasilan yang cukup signifikan. Terdapat beberapa hal yang dapat dijadikan parameter dalam keberhasilan perjuangan mereka, terkait dengan dukungan politis (prodak kebijakan, dan aliansi), dan dukungan pendanaan. Berbagai konferensi dan pertemuan-pertemuan yang membahas isu-isu LGBTiQ telah banyak digelar, agenda-agenda besar telah disusun bersama, penyatuan kekuatan dan semangat perubahan juga telah diperoleh, namun realitas yang paling ironis adalah ketika terjadi pemboikotan secara paksa oleh kelompok tertentu terhadap konferensi LGBT yang akan digelar di Surabaya. Ini menunjukkan bahwa masyarakat masih memandang isu-isu LGBTiQ adalah bahasan terlarang. Terpaan dan tekanan sosial yang masih tinggi menyebabkan kelompok dengan identitas-identitas tersebut menjadi sebuah hidden population.
Dukungan dari luar negeri ternyata menjadi celah yang cukup potensial dan ‘menguntungkan’ bagi pejuang-pejuang isu LGBTiQ. Ketika mereka tidak mendapatkan dukungan secara politis di dalam negeri, lembaga donor Internasional, sekelas USAid, Hivos, Rotary, AUSAid, dan lainnya, berbondong-bondong datang dengan suntikan dana segar untuk mendukung perjuangan mereka. Tidak hanya itu, beberapa dari mereka bahkan menawarkan strategi ‘perang’ sebagai hasil lesson learn dari negara-negara ‘jajahan’ mereka (baca: negara maju). Secara otomatis, frame of reference dan field of experience yang terbentuk adalah internalisasi nilai-nilai donor, yang terkadang tidak sepenuhnya memahami kondisi lokal masyarakat. Jika tidak disikapi secara bijak dan kritis, maka tidak menutup kemungkinan kaum dengan identitas marjinal ini akan semakin terjajah oleh perjuangannya sendiri.
0 komentar:
Posting Komentar