Seni Mendengarkan


Alkisah seorang raja yang telah berusia lanjut berniat memberikan tahtanya kepada putra mahkotanya, namun ia masih ragu apakah sang putra mahkota mampu memimpin kerajaannya. Oleh karena itu, sebelum putra mahkota dinobatkan sebagai raja, sang raja mengutus putera mahkota untuk pergi menemui seorang guru yang terkenal sangat bijak dan arif supaya putera mahkota dapat belajar bagaimana menjadi seorang pemimpin yang baik. Maka berangkatlah putera mahkota menemui guru yang bijak tersebut.

Sesampainya di tempat sang guru, putera mahkota ditanya oleh sang guru bijak
“Apa yang hendak paduka pelajari?”
“Aku ingin belajar bagaimana menjadi raja yang bijak, guru”
“Pergilah ke hutan dan belajarlah mendegarkan selama satu tahun di sana”
Kemudian putera mahkota berangkat ke hutan. Setelah satu tahun berlalu, putera mahkota kemudian kembali menemui gurunya. Sang guru kemudian bertanya lagi
“Apa yang paduka pelajari selama di hutan?”
“Aku belajar mendengarkan, guru”
“Apasaja yang paduka dengarkan?”
“Aku mendengarkan suara berbagai macam binatang, mendengarkan daun dan ranting pohon yang tersapu angin, air sungai yang mengalir, hujan yang menimpa pucuk-pucuk pohon, embun yang bergulir di pagi hari…”
“Baiklah, kalau begitu tinggallah setahun lagi di hutan dan dengarkan dengan seksama apa yang paduka alami”
Meski dengan berat hati dan tanda tanya yang besar di benaknya, akhirnya putera mahkota kembali ke hutan. Setahun kemudian ia kembali menemui gurunya
“Guru, aku telah mendengarkan banyak hal” ujarnya
“Ceritakan”
“Aku telah mendengar bagaimana burung-burung membantu pohon untuk berbuah, mengapa air sungai mengalir dari hulu ke hilir yang lebih dangkal, matahari yang panas ternyata mampu mengumpulkan hujan, serta bagaimana udara malam berubah wujud menjadi buliran embun yang indah…”
“Kalau begitu, kini paduka telah memahami hakikat kepemimpinan…” ucap sang guru seraya tersenyum.

Ilustrasi diatas memberikan gambaran bahwa mendengarkan adalah sebuah hakikat yang paling utama dalam mempelajari ilmu kepemimpinan. Jadi sangat mudah dalam menilai kualitas kepemimpinan seseorang: apakah dia mampu menjadi seorang pendengar yang baik?
Jika dipahami lebih dalam, Tuhan menciptakan sepasang telinga yang terbuka, dan sebuah mulut yang beranatomi tertutup. Maka seyogyanya kita perlu mendengarkan dua kali sebelum berbicara satu kali. Memiliki intensitas mendengarkan lebih banyak daripada membuka mulut.
Menjadi seorang pemimpin tidak cukup hanya mendengarkan dengan sepasang telinga saja, ia harus mampu menguasai mendengarkan dengan mata. Artinya ia dapat menangkap dan mendengarkan apa yang tersirat dengan pandangannya, misalnya bahasa tubuh, reaksi alam, perubahan situasi dan lingkungan, dll. Dalam ilmu komunikasi, diyakini bahwa bahasa, kata-kata dapat menyuratkan kebohongan, namun bahasa tubuh, yang merupakan tanda, dapat menyiratkan kebenaran. Dalam hal ini seorang pemimpin hendaknya mengasah sensitifitas dan kemampuan untuk membaca isyarat dan ‘mendengarkan’ apa yang tidak terdengar oleh telinga.
Tidak berhenti sampai disana, kesempurnaan seorang pemimpin dalam seni mendengarkan harus ditunjukkan dengan kemampuannya mendengarkan dengan hati. Ini adalah tingkatan tertinggi dalam seni mendengarkan. Mendengarkan dengan hati berarti ia tidak hanya telah melampaui keterbukaan pikiran, namun ia juga telah memaknai kepemimpinannya sebagai sebuah kepemimpinan yang melayani. Maka dalam tugas-tugasnya ia akan senantiasa menuntut dirinya untuk selalu memberikan ‘pelayanan’ yang baik kepada masyarakat. Dalam tahap ini tidak hanya menuntut kepekaan dalam merespon, namun juga empati. Sehingga dalam melaksanakan tugasnya pun ia memberikan perhatian yang penuh pada setiap detil permasalahan yang dihadapi.
Sebuah nilai moral yang sudah jarang dimiliki oleh pemimpin-pemimpin di negara kita, kedua telinga mereka telah tertutupi oleh ego dan kepentingan pribadi, sehingga mereka terlalu banyak berbicara dan tidak pernah mendengar apa yang terjadi di sekelilingnya: rakyat sampai berdemo dan berteriak-teriak dengan menggunakan bahasa verbal yang sangat keras, aksi mogok makan, pembakaran simbol-simbol negara, pertumpahan darah antar sesama warga negara, sampai dengan bencana alam yang bertubi-tubi. Mereka telah sengaja menulikan telinga dan mungkin telah sungguh-sungguh ditulikan oleh Alloh. Astagfirulloh…
Dengarkanlah para pemimpin bangsaku, dengarkanlah wahai siapapun yang mengaku khalifah di bumi Alloh bahwasanya telinga dan panca indera yang kita miliki bukan untuk menyakiti dan merusak alam apalagi menghabisi sesama. Setiap ummat di bumi adalah pemimpin bagi dirinya, untuk memimpin ambisi dan kehendak kebinatangan yang kerap muncul untuk menguasai dan mengumbar keserakahan. Ingatlah bahwa Alloh Maha Membalikkan Hati bagi siapa saja yang Dia kehendaki. Dengarkan saudaraku, bukalah telinga, mata, dan hati untuk dapat memaknai siapakah dan bagaimanakah kekacauan ini terjadi dan segeralah menentukan pilihan yang bijak untuk dirimu, buatlah perubahan untuk perbaikan sehingga tidak terjebak pada kebutaan dan kebisuan yang kekal.
Dan janganlah kamu membuat kerusakan di muka bumi, sesudah memperbaikinya dan berdo'alah kepada-Nya dengan rasa takut dan harapan. Sesungguhnya rahmat Alloh amat dekat kepada orang-orang yang berbuat baik. (07:56)

2 komentar:

depalpiss mengatakan...

saya juga bebarapa waktu yang silam pernah mendengar tentang mendengarkan! "ada pelajaran yang hebet mengenai mendengarkan".

Seorang sahabat mengingatkan apa yang kau dengarkan, berbagai suara hiruk pikuk di dunia". hey kau bodoh katanya, dengarkanlah hati mu katanya tegas.

hmm baru setelahnya mengapa saya begitu sesak di dunia, terlalu sibuk mendengarkan suara2 di luar sampai lupa mendengan suara nunari sendiri. Sambil bertahajud saat mulai menyelam kemudian barulah kita menemukan musuh yang sesungguhnya di dalam diri.

sejak saat itu, ku berjanji mendengarkan hatiku, hatiku, hatiku.

Bacalah,... apa yang akau baca bacalah hatimu. demikian kata sahabat saya. akhirnya saya emngucapkan terimakasih ya sahabat. Alhamdullilah!. Walaupun jalan mendengarkan hati sendiri adalah bukan pekerjaan paruh waktu, namun pekerjaan seumur hidup. Demikian lah sang sahabat menasehati.

Salam ceria, selalu sobat mudah2 segala mahlih berbahagia..!!

Unknown mengatakan...

makasi komennya, bisa minta e-mail dan YM? thanks b4 :)