Malam ini Lana memilih untuk menghabiskan malam terakhirnya di bulan November dengan hanya duduk sendiri di balkon lantai dua rumahnya. Jendela kamarnya masih sengaja ia biarkan terbuka, dan angin malam membuat gorden berwarna biru laut itu menari-nari dan memantulkan bayangan yang dramatis, tepat dibawah kakinya. Tangan kirinya masih memegang secangkir kopi yang baru selesai ia seduh beberapa menit yang lalu. Terlihat asap tipis masih mengepul malu-malu.
Tepat dua tahun yang lalu.
Ia memulai pengembaraan benaknya dengan memilih momen ketika ia dan Arga merayakan ulang tahun Arga yang ke 28. Tidak ada kue ulang tahun, tidak juga lilin. Tidak ada perayaan spesial dan hingar bingar pesta pora. Hanya mereka berdua saja yang tengah duduk-duduk di balkon itu. Memandangi bayangan pepohonan dan sesekali menikmati burung malam yang melintasi mereka dengan acuh. Cuaca saat itupun tidak cerah, namun tidak gerimis.
Lana menghela nafasnya perlahan seolah berlomba dengan ampas kopi yang melayang perlahan menuju dasar cangkirnya. Ia kembali melirik bangku kosong di sebelahnya. Ia masih ingat betul kala itu sebenarnya ia telah mempersiapkan sebuah kado, tepatnya sebuah pertanyaan yang selama ini ia tahan. Pertanyaan yang sampai saat ini tak pernah dijawab oleh Arga, dan Arga keburu pergi.
Dalam kepergiannya, tanpa ia sadari Arga telah membawa sebuah miliknya yang berharga. Lana pernah menanyakan itu pada Arga. Lagi-lagi tanpa jawaban.
Kepercayaan dan jiwaku, Arga. Dan tolong kembalikan padaku.
Lana letih meminta. Lana juga telah sampai pada titik jenuh menunggu. Sedang Arga hanya bermain-main dengan dunianya sendiri. Berbicara pada lukanya sendiri, dan tidak mengindahkan Lana disampingnya.
Kini mereka berdua tidak lagi berbicara. Mereka telah jauh. Mereka telah memutuskan untuk mengakhiri permainan dengan sendirinya.
Silakan teruskan permainanmu Arga. Aku keluar.
Tiga tahun bukan waktu yang singkat, demikian juga ketika Lana berkompromi dengan semua kebiasaan dan ritual-ritual yang ia lakukan menjelang tidur malamnya. Kini ia harus membiasakan diri tidur tanpa ucapan “selamat bermimpi ya”, atau celetukan-celetukan Arga yang menurutnya sebenarnya sangat garing, tetapi cukup membuatnya sakit perut saking garingnya. Ia harus membiasakan diri tanpa itu semua.
Ampas kopi itu telah mendarat dengan sempurna. Lana kembali berpikir. Mengapa kini harus dia lagi yang memulai. Ini bukan perkara memafkan dosa-dosa Arga, bukan pula sebuah perjuangan cinta. Tiba-tiba saja Lana menjadi alergi dan sensitive dengan kata ‘perjuangan’. Walaupun perjuangan dapat dianalogikan dengan kata ‘memulai’, namun justru itulah, memulai sesuatu sama dengan mempersiapkan sebuah awal, babak baru, dengan kekuatan baru, artinya sebuah permainan baru. Dan Lana sudah jenuh bermain-main dengan Arga.
Baiklah. Kita lihat saja…apakah kopi ini akan selezat ketika masih berampas, ataukah lebih nikmat ketika menunggu sebuah pengendapan? Aku tunggu tantanganmu, Arga.
Lana tersenyum dan perlahan meneguk kopinya dengan segurat senyum, dan bayangan gorden berwarna biru laut masih menari-nari terhembus angin malam yang beraroma kopi.
… I want you to surrender even once…
0 komentar:
Posting Komentar