koktail di bumi Afganistan


Afganistan! Apa yang ada dibenakmu ketika mendengar atau membaca kata itu. Sebuah negara yang saat ini sedang berjuang untuk kemerdekaan dan perdamaian. Entah perdamaian dan kemerdekaan menurut versi siapa. Ini adalah novel pertama saya yang saya baca di tahun 2011. Lumayan. Lumayan tebal, hmm.
Tidak banyak ekspektasi yang saya harapkan dari membaca sebuah karya Khaled Hosseini ini. Awalnya saya berpikir bahwa novel ini mungkin menceritakan tentang perjuangan seorang perempuan ditengah-tengah peperangan. Apa menariknya? Selintas saya teringat novel Pram “Larasati”.

A Thousand Splendid Suns, merupakan novel kedua Hosseini setelah “The Kite Runner” (saya belum sempat membacanya). Secara spesifik, novel ini menceritakan tentang perjalanan dan sekaligus perjuangan hidup dua orang perempuan Afghan, Mariam dan Laila, sangat kompleks. Tidak hanya menceritakan bagaimana mereka bertahan ditengah-tengah situasi peperangan yang telah merenggut keluarga mereka, bahkan kehidupan mereka. Namun juga menceritakan bagaimana mereka membuat pilihan-pilihan yang sangat tidak mudah bagi mereka.
Hosseini cukup piawai dan sangat detil menggambarkan setiap situasi dan konflik yang terjadi, darah, airmata, nafsu, sampai dengan kematian. Banyak konflik yang diangkat disana, derita Mariam yang terlahir sebagai ‘harami’ (anak haram), kemudaian bagaimana ia menerima perlakuan yang sangat diskriminatif dari keluarga ayahnya, pernikahan yang dipaksakan, sampai dengan kekerasan dan penganiayaan yang diterimanya dari suaminya yang sangat brutal. Disisi lain, Laila, seorang gadis cantik yang sangat cerdas yang kemudian jatuh cinta dengan sahabatnya, Tariq. Namun kemudian mereka terpisah karena peperangan. Sampai suatu ketika Mariam dan Laila dipertemukan pada sebuah kondisi yang sama, mereka sama-sama berjuang menghadapi suami mereka, Rasheed yang berperangai seperti iblis.
Novel ini sangat vulgar dalam menceritakan dan mengungkapkan nilai-nilai yang terkadang masih dianggap tabu, baik pada kondisi masyarakat Afganistan maupun masyarakat pada umumnya. Semisal masalah pendidikan bagi anak-anak perempuan, kesenjangan ‘harga diri’ antara laki-laki dan perempuan yang sedemikan jauh, sampai dengan bagaimana kepercayaan (agama) menjadi sebuah alat politik untuk melegitimasi statusquo yang ada.
Saya melihat bahwa memang sebuah kepercayaan, budaya, bahkan agama sekalipun dapat menjadi sebuah alat yang sangat ampuh untuk menjajah suatu golongan, misalnya perempuan. Bagaimana Islam dikondisikan sebagai sebuah alat untuk menyakiti dan dijadikan kambing hitam bagi golongan yang berkuasa. Sangat jelas ketika Mariam diberikan label ‘harami’. Yang jadi permasalahan disini bukanlah label dan predikat yang tertempel secara harfiah. Persoalannya adalah bahwa label tersebut membawa sebuah konsekuensi dan dampak yang buruk. Sebagai seorang ‘harami’ ia mendapatkan perlakuan yang sangat diskriminatif, bahkan ketika Mariam sangat memuja ayahnya, Jalil, ibunya selalu berkata:
“Camkan ini sekarang, dan ingatlah terus anakku: Seperti jarum kompas yang selalu menunjuk ke utara, telunjuk laki-laki juga teracung untuk menuduh perempuan. Selalu. Ingatlah ini, Mariam”
Yang lebih menyedihkan lagi adalah ketika suami Mariam meminta Mariam untuk memakai burqa demi ‘keselamatan’ dan untuk ‘melindungi’ Mariam dari jahiliyah. Padahal sebetulnya, Rasheed merasa malu mendapatkan seorang istri seorang harami. Kemunafikan-kemunafikan inilah yang terus dipelihara sehingga para perempuan ini hidup pada kondisi yang sangat terhimpit. Mariam adalah gambaran perempuan yang tidakn berdaya, jangankan untuk membuat keputusan, bersuara pun ia tidak sanggup.
Begitu juga Laila, ia adalah gambaran perempuan yang sedikit lebih berpendidikan, paham mengenai ketidakadilan yang meinimpanya, namun ternyata ia masih harus ‘menyerah’ sekian waktu untuk mewujudkan impiannya. Bahkan untuk mendapatkan kebahagiaannya, ia harus melanggar ‘aturan’.
Hosseini menggambarkan perjuangan perempuan dan sekaligus ketakberdayaannya dari berbagai perspektif, Nana (ibu Mariam) yang dianggap seorang pelacur karena hamil diluar nikah, Mariam sebagai anak haram yang selalu mendapatkan kekerasan baik secara fisik maupun verbal, Laila yang keberadaannya selalu kalah oleh abang-abangnya, bahkan ibunya pun masih melegendakan anak-anak laki-lakinya karena dianggap sebagai pahlawan. Hosseini juga sangat cerdas menggambarkan kematian dan kehilangan dari. Novel ini sangat kaya akan konflik dan banyak hal yang digambarkan sangat dramatis oleh Hosseini. Bahwa perjuangan tidak mengenal waktu, dan tidak dapat menunggu.

0 komentar: