perpisahan yang menyedihkan.

aku tidak tidak bisa memberikan judul dan statement yang lebih indah selain memberikan statement "perpisahan yang menyedihkan"
haru...
kecewa...
.... tidak terima...

bukan, bukan karena perpisahan itu...bukan karena waktu yang telah habis terlewati. bukan itu...

tetapi kami telah dipisahkan dengan skenario yang sangat kejam, alur cerita yang sengaja dibuat untuk menyingkirkan kami...kami bersekian

keluarga

menjadi sangat asing disini
bisa juga menjadi sangat basi

"bu, hari ini saya muak...saya muak dengan sistem di sini..."
"kenapa?"
"come on...grow up...!"

aku masih berduka.
sangat berduka dengan spirit dan semangat yang tidak pernah bisa saling menghargai bahwa kita adalah manusia.
BUKAN MESIN
yang bisa dibuang ketika ia rusak atau tidak sesuai dengan keinginan sang pemilik.

aku berduka
sangat berduka
dan kami telah kehilangan anda, bu...
ibu kami yang setiap senin, rabu dan jumat mengajari kami berbahas inggris
meskipun tidak semuanya sependapat
namun, anda telah memberikan warna yang nyata...
bagaimana mencintai...
menghargai..dan
melihat kegelapan dari sisi terang..
doa kami, semoga ibu selalu mendapatkan yang terbaik dari Tuhan...
tempat kerja yang lebih menghargai ibu sebagai manusia...

Love you Maam...we'll be missing you always :)


dedicated to our beloved English Teacher, our Mother in 905
Cornelia Nathalie

menjadikan sederhana dengan kasih (part I)


Selamat Malam Sahabat...
Semoga hari ini menjadi salah satu hari terbaikmu. atau paling tidak, waktu yang terjalani adalah waktu-waktu yang tidak tersesali di kemudian hari. walaupun terkadang hati dan pikiran masih sering merasakan penolakan dan kekecewaan terhadap realitas yang ada di depan mata.
saya percaya, bahwa berkompromi adalah sebuah proses yang tidak mudah, berat di awalnya, dan ketika itu berproses, masih saja kita 'dituntut' untuk melihat sisi terang dari sebuah peristiwa.
ada kalanya kita menjadi seorang individu yang susah untuk dimengerti, seolah-olah semua orang menjadi sangat menyebalkan. dan kita pun menjadi seorang yang self-centered.
kita adalah diri kita, dan berdamailah dengan segala kekhilafan dan kegagalan. kesombongan tidak hanya untuk sebuah kesombongan dan keberhasilan. namun, yang saya pahami dari kesombongan adalah ketika kita menjadi seorang yang keras hati terhadap sesuatu yang melekat pada diri kita: kekecewaan, kegagalan, rasa malu, dan lainnya. bukankah itu hal yang berlebihan. demikian juga saya, sebagai manusia biasa tak akan terlepas dari gesekan dengan orang lain. persinggungan kepentingan, hasrat, dengki, dan sifat kemanusiaan lainnya. dan menurut saya itu sangat wajar, sahabat...
saya sempat berpikir, bahwa hidup adalah sebuah perjalanan, pengalaman mengalami. dan paling tidak apa yang saya akan dan ingin alami dapat menjadi sesuatu yang berharga, bermanfaat. paling tidak untuk diri saya pribadi. lantas apakah itu sudah cukup?
relatif, sahabat. setiap orang memiliki parameter dan batas masing-masing, hal ini terkait dari pengalaman dan pemahamannya.
saya teringat pada salah satu sahabat saya, secara keyakinan dia berbeda. namun satu hal yang saya dapatkan dari dia untuk perenuangan saya pribadi. yaitu bahasa kasih.

"Bukankah Tuhan berbicara melalui bahasa kasih, Fit?"

benar, mengapa kita tidak membuat kehidupan ini damai dengan kasih?


"Dia-lah yang telah menurunkan ketenangan ke dalam hati orang-orang mu'min supaya keimanan mereka bertambah di samping keimanan mereka (yang telah ada). Dan kepunyaan Allah-lah tentara langit dan bumi dan adalah Allah Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana" (QS. 48:04)

sabtu, malam minggu


sabtu. minggu kedua di bulan november. surabaya mendung, tapi tampaknya tidak akan turun hujan. cuaca begini harusnya akan lebih lengkap dengan secangkir coklat panas dan beberapa komik kariage kun...apalagi ya? after after before-nya coldplay! that's what i called heaven!
persediaan coklatku habis, kariage kun-pun tak ada... hanya seekor cicak yang juga manyun dengan lehernya yang menjulur-julur. berharap ada nyamuk yang apes melintas di dekatnya. sayang sekali cicak, aku sudah mengantisipasi kehadiran hewan penghisap darah itu dengan obat nyamuk elektrik yang baunya bikin sesak. lama-lama tidak hanya nyamuk saja yang binasa, mungkin aku juga akan mati perlahan-lahan karena banyaknya karbon beracun yang masuk ke paru-paruku. bodo ah, daripada badan jadi bentol dan gatal.
kulirik sekali lagi cicak di dinding kamarku. rupanya ia juga telah menyerah. dengan lunglai ia merayap ke sela-sela pinggir lemari. selamat berjuang ya cak, semoga kamu ketemu rayap atau sebangsanya, paling tidak malam ini kamu tidak manyun. seperti aku :(
tidak ada yang menarik. mungkin untuk saat ini. otakku masih terus berputar-putar. ingin rasanya aku menambah partisi berkuncian di dalam kepalaku. suatu ketika kalau otakku sudah hampir overload, bisa aku share ke partisi yang lainnya. mungkin itu lebih baik.

A warning sign
You came back to haunt me and realized

You were an island and I passes you by

You were an island to discover


aku mulai menulis. kubiarkan otakku mengembara dan jari-jariku sepertinya mulai membandel tak turut perintah otakku. menarilah kau jari-jariku. sebetulnya aku membenci menuliskan beberapa kata. ada sensasi yang tidak aku sukai tiba-tiba menggangguku. sudahlah anggap saja itu efek samping.

Come on in
I've gotta tell you what state I am in
I've gotta tell you in my loudest tones
that I started looking for a warning sign

sampai suatu ketika aku berhenti menulis dan otakku tiba-tiba tak lagi bisa kuajak kompromi. writing block!

aku terdiam.

ada yang bergerak-gerak diantara tumpukan kertas di sebelahku. ada seraut kepala muncul dan memandangiku innocent. cicak! kau lagi, apa kabar malam minggumu?



thanks to Frodo the Lizard!

italized lyrics by Coldplay-Warning Sign

the truth


everyone is on high
everyone is start crawling

everyone is keep demanding



everyone is staying alive

everyone is busy with their parts

everyone is being grey


everyone is missing

everyone is learning to be loved

everyone is selfish

everyone is figuring out the truth



the truth is

I miss you :)

Politik Identitas dan Kesempatan LGBT dalam Politik


Istilah LGBTiQ mungkin masih belum terlalu popular di masyarakat dibandingkan dengan istilah gay, lesbian, transgender, dan waria. Namun bagi sebagian kelompok tertentu, istilah LGBTiQ menyimpan sebuah perjalanan, bahkan perjuangan yang panjang. Adalah sebuah perjuangan dalam meraih sebuah cita-cita kesetaraan, tidak hanya dalam wacana gender dan seksualitas saja. Lebih dari itu, identitas-identitas ‘baru’ yang tidak termasuk dalam identitas mainstream juga selayaknya mendapatkan tempat yang adil. Ruang yang adil ini merupakan ruang yang dapat diasumsikan sebagai ruang politis, karena tidak dapat dipungkiri, kaum yang beridentitas ‘baru’ ini juga memiliki agenda dan tujuan yang ingin mereka wujudkan. Sehingga, sudah sangat lazim jika mereka juga mempunyai cara dan strategi tertentu dalam perjuangannya.

Perkembangan ini tidak terlepas dari berkembangnya ilmu pengetahuan dan pendekatan tentang gender dan seksualitas, yakni teori Queer. Sedikit ulasan tentang teori Queer, secara sederhana dapat dijelaskan bahwa teori Queer tertarik mengkaji kombinasi berbagai kemungkinan dari tampilan gender. Mereka tertarik mempelajari isu-isu gender, seksualitas dan politik identitas dalam kaitannya dengan perubahan paradigma sosial. Queers menjunjung segala cara yang digunakan dalam mengekspresikan sexualitas dari semua kemungkinan, baik yang dipengaruhi secara biologis, maupun non-biologis. Peluang-peluang yang tak terhitung tersebut ternyata tidak terakomodir secara keseluruhan oleh seksualitas yang heteronormatif.

LGBTiQ, queer, identitas, dan politik adalah isu-isu yang saling terlekat satu dengan yang lainnya. Dalam pemikiran queer, identitas gender bahkan identitas seks (yang secara biologis) bukan merupakan suatu hal yang mutlak berhenti di suatu titik, paten. Namun, identitas-identitas tersebut terus berkembang dan terus dipertanyakan seiring dengan perkembangan situasi di sekitar kita. Lebih jauh lagi Butler menjelaskan,

Gender ought not to be constructed as a stable identity or locus of agency from which various acts follow. Rather, gender is an identity tenuously constituted in time, instituted in an exterior space through a stylized repetition of acts.”

Sangat jelas bahwa identitas adalah bentukan, konstruksi dan identitas dapat secara nyata dikaitkan dengan pranata sosial seorang individu, misalnya keluarga, sekolah, sampai dengan negara dimana kita adalah bagiannya. Dalam pranata sosial tersebut itulah seorang individu menemukan ‘identitas’nya. Namun demikian proses penemuan itupun tidak semata-mata dalam proses yang sebentar, biasanya dalam proses penemuan identitas, seorang individu mengalami masa ‘adaptasi’ dengan konstruksi-konstruksi yang dia hadapi, dengan nilai-nilai yang dia internalisasi, sampai kemudian dia mendapatkan ‘identitas’ atau label yang sesuai untuk dirinya. Dalam proses adaptasi inilah dialektika identitas terjadi, karena tidak hanya melibatkan kondisi biologis, misalnya jenis kelamin dan organ tubuh (jika berbicara tentang seksualitas), namun juga akan bersinggungan dengan tantangan secara kultur, agama (kepercayaan), setting ekonomi, serta latar belakang politik.

Menariknya dari politik identitas adalah ketika dikaitkan dengan isu gender, seksualitas dan LGBTiQ movement. Munculnya isu-isu tersebut tidak lain adalah sebuah perwujudan ‘perlawanan’ mereka terhadap tuntutan keseragaman identitas yang disuarakan oleh kaum identitas mainstream (laki-laki dan perempuan). Pengakuan yang absolut baik secara hukum (agama dan negara) dan sosial memberikan implikasi bahwa hanya identitas yang berada dalam kategori tersebut sajalah yang memiliki ‘privilage’ dan kebebasan. Praktisnya, mereka memiliki hak yang diakui, kebebasan dalam mengekspresikan seksualitasnya, dll. Dengan adanya pengotak-kotakan yang sangat ekstrim tersebut secara otomatis akan mereduksi kesempatan bagi identitas yang tidak dapat dimasukkan kedalam kategori tersebut. Konsekuensinya, hak-hak mereka pun juga tidak dapat dipenuhi, ruang lingkup yang terbatas, dalam berbagai konteks kehidupan.

Secara nyata LGBTiQ berkonsentrasi pada perkembangan dan isu-isu seputar lesbian, gay, biseksual, transgender, dan in-questioning. Tidak menutup kemungkinan dengan perkembangan masyarakat yang semakin kompleks dengan isu-isu seksualitas, akan muncul berbagai identitas-identitas baru. Namun demikian, perkembangan identitas ini tidak in-line dengan realitas yang ada. Artinya, baik secara sosial dan hukum, kaum LGBTiQ ini masih mengalami stigma dan diskriminasi. Sebuah paradigma besar masih menjadi sebuah acuan dalam berpikir masyarakat, hegemoni pemerintah, kaum fundamentalis, dan kultur yang konservatif adalah beberapa faktor mengapa kaum LGBTiQ tidak memiliki suara selantang kaum heteronormatif. Isu-isu penyimpangan seksual, sampai dengan klaim ‘pendosa’ seolah terus dilekatkan pada kaum LGBTiQ, karena dikaitkan dengan orientasi seksual yang mereka miliki. Dengan demikian, sangatlah jelas bahwa kaum LGBTiQ tidak memiliki ruang yang cukup untuk menyuarakan kepentingannya.

Dalam mewujudkan sebuah agenda besar yang dikaitkan dengan perubahan sosial, kaum LGBTiQ harus menyadari bahwa perjuangan mereka tidak hanya secara parsial dan dalam tataran grass-root saja, namun harus sudah memikirkan keterlibatan mereka dalam dunia politik. Praktisnya, pertimbangan keterwakilan suara dalam parlemen harus mulai dijadikan sebuah target dalam strategi politisnya. Selain itu, pelibatan para praktisi hukum, akademisi, public figure, dan tokoh agama juga sangat potensial dalam mendukung dan menguatkan jejaring sosial. Perubahan sosial tidak akan terwujud jika belum terbangun sebuah integrasi yang berkesinambungan diantara elemen-elemen masyarakatnya.

Sejauh ini, menurut pendapat penulis, perjuangan kaum LGBTiQ memang masih belum menampakkan keberhasilan yang cukup signifikan. Terdapat beberapa hal yang dapat dijadikan parameter dalam keberhasilan perjuangan mereka, terkait dengan dukungan politis (prodak kebijakan, dan aliansi), dan dukungan pendanaan. Berbagai konferensi dan pertemuan-pertemuan yang membahas isu-isu LGBTiQ telah banyak digelar, agenda-agenda besar telah disusun bersama, penyatuan kekuatan dan semangat perubahan juga telah diperoleh, namun realitas yang paling ironis adalah ketika terjadi pemboikotan secara paksa oleh kelompok tertentu terhadap konferensi LGBT yang akan digelar di Surabaya. Ini menunjukkan bahwa masyarakat masih memandang isu-isu LGBTiQ adalah bahasan terlarang. Terpaan dan tekanan sosial yang masih tinggi menyebabkan kelompok dengan identitas-identitas tersebut menjadi sebuah hidden population.

Dukungan dari luar negeri ternyata menjadi celah yang cukup potensial dan ‘menguntungkan’ bagi pejuang-pejuang isu LGBTiQ. Ketika mereka tidak mendapatkan dukungan secara politis di dalam negeri, lembaga donor Internasional, sekelas USAid, Hivos, Rotary, AUSAid, dan lainnya, berbondong-bondong datang dengan suntikan dana segar untuk mendukung perjuangan mereka. Tidak hanya itu, beberapa dari mereka bahkan menawarkan strategi ‘perang’ sebagai hasil lesson learn dari negara-negara ‘jajahan’ mereka (baca: negara maju). Secara otomatis, frame of reference dan field of experience yang terbentuk adalah internalisasi nilai-nilai donor, yang terkadang tidak sepenuhnya memahami kondisi lokal masyarakat. Jika tidak disikapi secara bijak dan kritis, maka tidak menutup kemungkinan kaum dengan identitas marjinal ini akan semakin terjajah oleh perjuangannya sendiri.

Menenemukan Kembali Engkau


Aku masih berpikir bahwa jalan ini akan tetap selalu sama dari waktu ke waktu.
aku juga masih mempercayai perjudian dalam kehidupan.
tak ada yang tidak mungkin, setiap angka, kartu, dan tanda akan memiliki kemungkinan yang sama untuk muncul.
atau dimunculkan?

Aku terduduk diantara kepastian dan ketidak pastian.
aku terhimpit dalam otakku sendiri yang meraung-raung mencari alasan untuk tetap mempertahankanmu.
logika yang mulai sekarat, letih dalam pembenaran yang kuciptakan sendiri.
keraguan itu perlahan meracuni dan mendramatisir realitas yang kujalani setiap waktunya.
yang kutahu bahwa aku memiliki dua kaki untuk menapaki kemungkinan-kemungkinan permainan.
kedua mataku, penyimpan segalanya, pembohong, intimidatif, walaupun sering kali bisa sangat rapuh.

Dengan semuanya itu aku masih dapat melihatmu, dan kau juga mengenalku dengan baik.
aku juga akan selalu mengikutimu, meskipun saat ini aku merasa terabaikan dan tertinggal.
aku tidak mencari apapun dari dalam diriku dan dirimu kecuali kedamaian.
ijinkan aku mencarinya dan aku menemukannya dengan caraku meskipun ini nanti akan menyakitkanku diakhirnya.
aku hanya ingin berkompromi dengan kemarahanku, keputusasaanku, dendam hatiku, rasa syukurku, kebangganku hingga kesombongan jiwaku.
karena keniscayaan itu realitas nyata, ketakpastian itu dapat dihitung dan kemungkinan-kemungkinan itu matematis.

Aku masih tetap menginginkanmu kembali, menjadi hangat dalam hati dan otakku.


Saturday, July 18, 2009 at 12:44am

Represi = sampah (?!?!)


Suatu ketika salah satu dosen teori English Literature bercerita tentang jaman post-colonial dan oppressed people. Cerita tentang orang-orang Black America. Dan ternyata lebih jauh lagi menyinggung soal gender dan orientasi seksual yang berbeda.

Ada satu hal yang menarik dari paparan sekian jamnya, represi, tekanan.

Lebih jauh soal psikoanalisis pastinya hanya Freud yang paham sempurna, namun soal apa yang terepresi di masing-masing unconsiousness adalah subjektif. Namun dalam hal ini saya tidak akan menyinggung terlalu dalam tentang Freud, karena sejujurnya dalam beberapa hal saya bersebrangan dengannya :)

Ada pepatah yang mengatakan, Dalamnya laut bisa diukur, tapi dalam hati siapa yang tahu… pernyataan tersebut mungkin dapat menjadi dekonstrukif jika kita beranggapan kita telah memahami orang lain. Silakan jika tidak bersepakat, karena sesungguhnya hanya keegoisan kitalah yang membentuk persepsi dan batasan 'pengertian' terhadap orang lain.

Pernahkah terpikir, bahwa setiap detikan waktu yang berlalu, kita dengan tanpa sadar telah menimbun”sampah” dalam otak kita yang sebenarnya “terbatas”. Dan pernahkah terbayang berapa “byte” sampah2 yang tertimbun jika ternyata substansinya tak bisa di-recycle? Busuk pastinya.

Lantas apa yang seharusnya kita lakukan agar tidak menjadi gerobag sampah berjalan?

Logikanya, jika tidak ingin menimbun sampah, ya jangan memproduksi sampah, tapi mungkinkah kita tidak menyampah? Intinya mengurangi pemakaian benda2 yang cenderung mengakibatkan penyampahan, mengurangi ekspektasi yang berlebih, mengurangi tuntutan terhadap hidup, balajar untuk lebih berhening. Yang pada akhirnya recycle adalah cara paling efektif pemanfaatan sampah yang tertimbun. Berpikir positif dan menjadi diri sendiri. Konkritnya adalah dengan menerima apa adanya dan memaafkan. Alangkah indahnya jika ruang dan bilik dalam otak kita dimanfaatkan untuk menyimpan kenangan yang membahagiakan bukan penyakit yang menggerogoti dengan licik. Congrats for being sober!!!

Baik Saja Tidak Cukup


Lana masih saja membisu memandangi sepucuk surat bersampul jingga di tangan kanannya. Tak habis akal ia memikirkan bagaimana bias surat itu sampai ke tangannya kembali. Ia tercenung sepersekian detik. Ada bayangan Arga melintas di benaknya.

Arga, kenapa selalu dia kenapa harus ada ekspektasi atasnya lagi.

Bosan.

Bosan

Teriaknya dalam hati. Arga yang baik. Arga yang tidak pernah neko-neko dan selalu sederhana dalam pemikiran dan perilakunya.

Itulah yang membuatku tak berdaya. Selalu seperti itu.


Batinnya lagi.
Arga yang ternyata tidak sepenuhnya memperjuangkanku
Ia mendengar ada suara yang berbeda menyeruak di sela-sela rasionalitas yang sudah mulai terkoyak. Sebetulnya Lana menyadari benar bahwa kenyataan ini sangatlah bertentangan dengan pendiriannya. Ia juga sangat faham bahwa ia akan membutuhkan waktu berhari-hari untuk sekedar menterjemahkan sebuah pesan singkat di ponselnya:

Selamat pagi, Matahari. Terimakasih telah membangunkan dan bersinar hari ini.

Menjadi sangat tidak biasa karena Lana saat itu sedang terjangkit demam. Demam yang hanya dapat diredakan oleh sebuah benda yang mampu menembus jarak dan angkasa. Benda yang hanya menampilkan kode dan sandi. Bisu.

Katakan itu dengan bahasa suara, Arga.

Demam Lana semakin tinggi, badannya menggigil. Kata orang Lana terserang psikosomatis. Penyakit kambuhan yang mulai kronis. Dalam suhu badan yang tinggi ia masih menyimpan harap bahwa Arga akan segera menyadari, ia sedang sekarat. Namun, ternyata Arga sepertinya terlalu sibuk menikmati terangnya siang hingga mungkin ia tidak menyedari bahwa sang Matahari pun akan terbenam.

Arga, aku sakit. Tolong.

Lana mulai putus asa dengan dirinya. Sedangkan Arga tak pernah datang. Hampir mati rasanya ia bertahan. Jiwanya patah.
Lana mulai meyadari bahwa Arga memang berharaga untuk diperjuangkan, dipertahankan. Namun tidak dengan berperang dan mati konyol.
Arga mungkin baik di matamu, pahlawan yang kamu inginkan untuk dapat menyelamatkan jiwamu. Mungkin pula obat penurun panas yang dapat meredakan demammu. Sebenarnya, kamu tidak menginginkan seorang super hero yang mampu menyelamatkanmu dari kehancuran. Yang kamu butuhkan saat ini adalah seorang yang mempercayaimu, memberikan rasa aman dan nyaman. seorang yang sederhana. Tetapi bersedia menggenggam tanganmu untuk berjalan beriringan. Berjuang bersama. Sangat tidak adil jika kamu memperjuangkan dirinya tetapi ia tidak sebaliknya padamu. Baik saja tidak cukup, Lana.

Baik saja tidak cukup.

Dimana Arga disaat kmu kehlangan kepercayaan? Apa yang Arga lakukan disaat kamu butuh seseorang untuk berbagi kesedihan? Lantas, apakah Arga mengingatmu ketika ia bahagia dan tidak bersamamu? dan yang paling sederhana adalah, pernahkah Arga memanggil namamu dengan bibirnya? Tidak pernah.

Ya, baik saja tidak cukup.

Lana beranjak. Ia melangkah dan meletakkan benda berwana jingga itu begitu saja dan berlalu.

GAV 54A, nov 9'10

Lagu Ibu


Lagu itu mengingatkanku padamu

Kelembutan yang tak pernah terperikan

Hangat

Mendamaikan

Dalam keriuhan dunia

Aku masih mendengar bisikan meskipun hanya seringan kapas

Mengalir dalam vena dan arteri

Saat bintang dan bulan dalam sepenggalan

Ketika yang kudengar hanya nafasku sendiri

Kehadiranmu seolah nyata

Pelukanmu yakin melingkupi seluruh tubuhku

Aku hanya menatap bayangan

Seribu rindu aku menganganimu dalam kerapuhan

Puluhan mil

Engkau bertaruh nyawa, keringat, doa, dan air mata

Menunggu dalam keyakinan dan cinta

Demi seseorang yang kau harapkan kelak akan berguna

Mempersembahkan sebuah bahagia yang sederhana

Sebuah cita-cita...harapan...

Masa depan yang sedang diperjuangkan

Ibu, aku rindu...

Malam ini aku rapuh...

Aku jatuh...

Aku ingin didekapmu...

Dibelaimu...

Dan mengusap pedih hatiku...

Disini tidak ada secangkir teh hangat

Tidak juga segelas air

Hanya lagu yang melarakanku padamu

Lirik yang kuresapi tak jua meringankan dukaku

Aku berbisik

Dan berharap semoga angin segera membawa harapanku ke langit:

“Tuhan, perasaan ini begitu sempurna. Rindu ini begitu indah, karena telah Kau tunjukkan juga bagaimana kehilangan itu. Kian kupahami bahwa inilah kasih yang Kau ajarkan padaku selama ini. Kau telah karuniakan padaku malaikat-malaikat penyelamat dan penyemangat yang mengelilingi kehidupanku. Pelindung tanpa pamrih yang selalu menjagaku dengan doa dan harapan. Aku mengasihinya ya Rabb...tempatkan ibuku di tempat yang paling mulia...ijinkan aku untuk selalu melihatnya tersenyum...menghapus duka dan nestapa hatinya...dan mencium kakinya, bukan karena surga yang berada di bawahnya... tapi karena aku mencintainya...Amiiin...”

Ibuk, Fitri kangen :(

GA V, 5 November 2010

Abu Abu



berisik sekali di dalam sini lalu
kamu palingkan mukamu ke sebelah kanan
dimana kamu melihat berderetan kendaraan seperti kawanan semut yang berebut gula gula

awan hitam bergayut di atasnya
kamu mengernyitkan dahi menghela nafas dan kembali berpikir
tak lagi ramah dan semakin panas
kamu berkesimpulan sendiri
kaki-kaki dan mata-mata yang letih berlomba dengan detakan waktu yang kian renta
dan kamu masih berdiri disini
bertanya
apakah esensi hidup
kamu ingin berpaling
mencari-cari di sebelah kirimu sebuah gambaran yang berbeda yang melambatkan waktumu
dan membuatmu ingin berlama-lama menghirupi udara
meski hanya sedetik akan kamu tukar dengan ribuan dekade yang terlewati dengan hambar
sebuah senyum tanpa gincu
sederhana dan hangat
ketulusan

gumammu
bukankah Yang Maha Kasih telah mengajarkannya padamu, sobat ?
ia adalah guru kasih yang mumpuni

tidak bertanda jasa

kamu mulai mengingat-ingat dengan seksama pembicaraan di telepon beberapa jam yang lalu
percakapan yang membuatmu haru
tanpa kamu kontrol air bening di matamu seolah ikut merasakan kesyahduan itu

kamu menyadari bahwa kasih itu luas,
terkadang lepas tak teraba
terkadang terlupakan

dalam senja yang semakin mengabu
perjalan ini terasa semakin menghimpit jiwamu menggoyahkan jantung hatimu
sedetik kemudian kamu memutuskan bahwa kamu harus segera mendapatkan pijakan

bukan sebaliknya

dahan untuk bergantung

karena kamu telah pahami bahwa kamu tidak akan pernah melakukannya

dalam diam kamu masih merasakan jantungmu berbicara

menyadarkanmu bahwa hidup adalah sebuah fiksi yang nyata
perjalanan yang seolah sinema

properti-properti yang melekat padamu adalah barang sewaan
yang kelak, suatu saat harus kembali kepada pemiliknya

bukankah aktor adalah seorang penghibur?

gumammu
bukankan pemain panggung adalah pengejawantahan peran yang telah dikontrakkan oleh Sang Sutradara?

kemudian kamu berpikir lagi dengan logika yang sedikit terkoyak

ya, ini adalah panggungku...ini adalah peranku...ini adalah fiksiku aku memang seorang aktor, aku telah menandatangani kontrak ini dengan jiwaku dan aku akan bertanggungjawab atas setiap peran yang aku lakonkan namun maaf, jika semua tidak puas karena aku bukan pemuas


...life is such a fiction, rite?
enjoy your fiction... :)

Apakah Hidup Seperti Jazz?


kehidupan seperti jazz, memang penuh improvisasi.banyak peristiwa tak terduga yang harus selalu kita atasi. kita tak pernah tahu kemana hidup ini akan membawa kita pergi. kita boleh punya rencana, punya cita-cita, dan berusaha mencapainya,tapi hidup tidak selalu berjalan sesuai kemauan kita. barangkali kita mencapai tujuan kita,tapi dengan cara yang tidak pernah kita kita bayangkan. barangkali juga kita tidak punya tujuan dalam hidup ini, tapi hidup itu akan selalu memberikan kejutan-kejutannya sendiri. banyak kejutan.banyak insiden. seperti jazz? entahlah. aku agak mabuk.

( excerpt from Jazz, Parfum & Insiden by Seno Gumira Ajidarma)

kepada sebuah pengorbanan


Pagi ini, aku mengawali hariku dengan akhir mimpi buruk semalam. Beberapa malam ini aku bermimpi tentang sesuatu yang tidak pernah aku ekspektasikan sebelumnya. Bermimpi tentang orang-orang orang yang pernah ku kenal dan mengenalku. Jika kehadiran mereka menjadi sebuah kebetulan belaka ataupun penampakan akibat sugesti yang berlebihan, sepertinya aku meragukannya. Yang jelas aku tidak pernah mengangani mereka sebelumnya. Malah beberapa dari mereka tak pernah sekalipun terlintas dalam benakku sejak beberapa tahun ini. Karena mereka sejarah. Namun selama sepekan malam ini aku melihat dengan jelas mereka semua, semuanya membenciku, semuanya menuduhku dan sedikit membuahkan penyesalan di akhirnya. Sungguh, bahkan aku sama sekali tak mengerti mengapa mereka semua sepertinya tak mengindahkanku, meskipun hanya untuk sebuah senyuman. Aku pernah berdosa, memang. Tetapi apakah ini yang harus aku bayar untuk sebuah keadilan? Mata dibayar mata, dan darah ditebus dengan darah? Tujuh malam dengan tujuh insiden berdarah.

Melihat mereka hadir di dalam mimpiku merupakan sesuatu yang kuanggap biasa. Walau terkadang aku sedikit terbawa dan terus mengingatnya hingga aku benar-benar melupakannya. Kali ini berbeda, meskipun aku pernah beberapa kali mengalami mimpi yang menyedihkan, tak kusangka akan sebegini kuat pengaruhnya terhadap diriku. Pertama-tama, tepat di hari ketujuh ku hela napas panjang saat ku buka mataku, dan bergumam…entah itu rasa syukur atau sekaligus penyesalanku bahwa aku telah melihat dia lagi.

Aku tersakiti.

Bukan masalah pembenaran dan pembelaan jika aku berpikir semuanya terjadi bukan mutlak khilafku. Karena memang demikian. Yang sekarang aku pahami adalah bahwa aku bukan manusia yang bisa belajar. Aku tidak bisa belajar mencintai. Menurutku, cinta adalah sesuatu yang sangat luas, megah dan (masih) absurd. Silakan kalian berceloteh tentang bagaimana indahnya cinta, agungnya pengorbanan ataupun manisnya harapan. Silakan. Pada akhirnya kalian akan menyadari bahwa aku sangat keras hati. Cinta adalah pengalaman. Dan aku mengalami cinta sebagai sebuah kemunafikan pada diri sendiri. Sekaligus menjadi kesalahanku yang paling fatal.

Aku masih tersakiti.

Aku melihat dia lagi. Dia yang telah bertahun-tahun – ternyata enggan – ku lepas dari ruang kosong di dalam diriku. Kadang aku memaknai kehadirannya sebagai bintang pagi, yang hanya terlihat kala fajar dan menghilang saat terbit mentari. Atau kadang aku menamainya air langit yang jatuh berderai-derai membasuh semua yang berada di bawahnya. Namun yang pasti, aku masih miris saat mengingatnya. Dari sekian malam dimana dia hadir dalam mimpiku, tak pernah sekalipun aku melihatnya bahagia saat bersamaku. Aku melihatnya sangat jelas di matanya.

Pada awalnya aku menganggap semuanya akan baik-baik saja. Aku akan sehat dari semua yang pernah menyakitiku. Dendam itu mungkin kini telah sirna. Karena insiden itu terjadi lebih dari satu dekade. Mungkin dia telah menganggapnya sebagai sesuatu yang tak pernah ada. Atau bahkan dia tak pernah mengenaliku. Tetapi aku tidak demikian. Waktu telah berbohong, ia tak dapat menyembuhkan apapun dalam diriku. Malahan karena semua telah terlupakan-lah yang akhirnya membuatku menjadi monster seperti sekarang ini. Menjadi makhluk-yang-tak-dapat-dimengerti. Begitulah, aku berkesimpulan bahwa mereka-mereka semua telah aku kecewakan dengan kebodohan dan keakuan yang aku sendiri tak pernah menyadarinya. Terlepas dari semua yang tak dapat aku hindari, baru kuyakini sepenuhnya ternyata aku masih menyimpan luka. Luka yang pernah aku anggap sirna. Namun pada kenyataannya perihnya masih sangat sempurna ku kecapi sampai detik ini.

Luka itu adalah dia

Aku telah menyebutnya sebagai bintang. Ia yang paling gemilang diantara benda-benda di seluruh galaksi yang maha luas ini. Dan sebenarnya aku tak pernah dapat dengan tepat mendeskripsikan dia dengan bahasa yang dapat dimengerti. Tetapi aku sangat percaya dia telah menggenapi separuh keganjilan dalam diriku. Sebegitu emosionalnya aku terhadapnya seolah dia sangat ingin ku miliki tanpa menyisakan sedikitpun bagi orang lain. Aku yang telah mencoba merebutnya dari langit. Meraihnya dengan seluruh kemampuanku. Sampai suatu ketika aku terjatuh dan dia pun menghilang tanpa menyisakan apapun pada diriku. Kini kehadirannya hanya setitik kerlip yang menerangi kekosongan hatiku yang kembali tak lengkap. Kepergiannya membawa kehampaan yang sampai kini masih termaknai sebagai rasa bersalah yang belum bisa ku tebus. Aku telah khilaf.

Seringkali, saat aku terdiam menatap angkasa, selalu terlintas di benakku, seandainya aku bisa memutar waktu, akan ku ubah semuanya yang akan menyakitinya dan menjauhkannya dariku. Seandainya saja itu terjadi, tentu aku tak harus berairmata mengingat dan menyesali semuanya. Aku hanya ingin melihatnya tersenyum dan memaafkan khilafku. Pada akhirnya, akupun menyadari atas semua yang pernah terlewati. Dia adalah sebuah awal dan sampai saat ini belum berakhir. Dia adalah mozaik dari kepingan-kepingan hatiku yang menunggu disusun dengan presisi. Dan dia adalah bom waktu yang baru saja memporak-porandakan pertahanan diriku. Dia adalah luka itu sendiri.

Selamat Datang Kembali di Hidupku

Munafik itu sakit. Dia telah membuatku tak dapat berpaling. Bukan berarti aku berdalih bahwa dia yang telah melukaiku. Dan bukan pula berarti aku tak berusaha menyembuhkan kepedihan ini. Telah lama aku menyerah pada waktu, berharap semua yang pernah ku alami adalah bagian sejarah yang dapat kukenang dengan senyuman. Aku salah besar. Dia bukan lagi bagian sejarah, tapi ia masih mengukir sejarah sampai detik ini. Dia tidak hidup di masa lalu, namun aku masih tetap menghadirkannya, menjadikannya eksis. Ketaklengkapan itu yang membuat dia hadir. Keganjilan itu membawa ku kembali padanya. Meskipun perih tetapi aku harus memperjuangkannya, sebagai pembuktian bahwa dia memang berharga untuk aku perjuangkan. Namun demikian, pengalaman telah mengajariku banyak hal, sakit memang ketika aku memahami bahwa jiwa itu bebas. Ia tak akan mengikat dan terikat. Demikian pula dengannya, aku akan belajar bagaimana membebaskan diri dan menjadi ikhlas. Masih lekat di benakku selintas ketakutan seandainya semuanya menjadi terlambat.

“Aku selalu berdoa, Engkau adalah yang terakhir terlihat di mataku sebelum semuanya berakhir…sebelum semuanya menjadi tak terlihat. Jika seandainya aku tidak diijinkan melihatmu disini, aku berharap dapat bahagia bersamamu disana…”

Dedicated to Engkau wherever you are,

“Thank you for helping me to relieve the pain”

March, 1st 2K8