Lukisan Lana
Sebuah Permulaan dalam Ampas Kopi
Jagal Amerika
if you’re a true human being.
How do You Taste the Death
Injury Time
Seni Mendengarkan
Menghargai Proses
Kekuatan Tersembunyi dibalik Atom
Belajar dari Nelayan Jepang
drowning Under the Iron Sea
koktail di bumi Afganistan
Antiglobalisasi, dan Oposisi bagi Kapitalisasi
Jika kita baca dalam berbagai media, bahwa perkembangan perekonomian dunia telah banyak dikuasai oleh para negara-negara surga pajak. Krisis pangan, krisis ekonomi, krisis energi, sampai dengan krisis moral hampir-hampir menjadi permasalahan yang lazim dihadapi oleh negara negara yang ‘berkembang’. Sekarang coba tengok siapa saja negara yang hampir selalu menjadi ‘superhero’ bagi negara-negara yang sedang menghadapi krisis global. Eropa dan Amerika. Memang, jika dilihat dari sejarah dan peradaban, negara-negara di benua Amerika dan Eropa memang lebih dulu memahami konsep kapitalisme Marx dan semangat imperialisme, sehingga banyak dari mereka yang memang terkenal sebagai penjajah, Inggris misalnya. Dengan dihapuskannya penjajahan di muka bumi, bukan berarti penjajahan dengan persenjataan dan perang yang berdarah-darah juga lenyap. Dalam era saat ini, penjajahan hanya bertransformasi saja dari bentuk peperangan yang menggunakan misil dan rudal, kini menjadi sebuah perang yang lebih friendly, salah satu senjatanya adalah teknologi dan modal.
Menariknya, jika kita berbicara tentang perkembagan teknologi dan globalisasi, tentu tidak ada satu pun negara yang ingin dianggap ketinggalan teknologi. Semua bersaing untuk menjadi sebuah negara yang maju, modern, dan ‘beradab’. Salah satu para meternya adalah dengan penggunaan teknologi. Tidak bisa dipungkiri bahwa Eropa dan Amerika adalah sumber dan gudang pembaharu teknologi dan informasi, mereka telah menjadi trensetter dan mode dunia, teladan bangsa-bangsa lain untuk ukuran modern dan kecanggihan, tengok saja Microsoft dan Apple-Mac yang menjadi ikon kemodern-an penggunaan teknologi.
So, apa yang harus dipersiapkan bagi negara-negara untuk mengimbangi globalisasi teknologi. Tentu saja modal yang tidak sedikit. Malang benar bagi negara-negara dunia ketiga, seperti Indonesia yang rupanya masih belum memiliki pondasi – baik dari sisi perekonomian dan politik – yang cukup kuat untuk mengimbangi terpaan (baca: jajahan) dunia barat. Cuture lag, salah satu pengaruh negatifnya. Selain itu, jika berbicara tentang pertumbuhan perekonomian negara, Indonesia, mulai dari jaman Soeharto sampai saat ini, ternyata permasalahan utang piutang dengan para donor internasional (IMF,cs) masih menjadi urusan yang yang tak kunjung terselesaikan. Lantas bagaimana urusan utang ini bisa diakhiri?
Kegelisahan tentang permasalahan utang yang membelit negara-negara yang sedang mengalami krisis ini tidak hanya dialami oleh Indonesia saja, dan hal ini menggugah para aktivis di beberapa dunia untuk membuat sebuah pendekatan, sistem, untuk mengatasi borok yang tak kunjung sembuh ini. Para aktivis ini membentuk sebuah forum yang disebut dengan Forum Sosial Dunia (FSD) dan pekan ini akan berkumpul di Dakar, Sinegal. Tidak berlebihan jika FSD ini boleh dibilang merupakan forum untuk menandingi Forum Ekonomi Dunia yang dinilai merupakan kumpulan dari kapitalis-kapitalis di seluruh dunia. Agenda utama dari FSD adalah penghapusan utang dan pengaturan pasar komoditas pertanian.
Berangkat dari serangkaian krisis yang dialami di banyak negara di seluruh dunia, beberapa diantara para aktivis ini berpendapat bahwa sistem yang sedang diterapkan ini telah gagal membawa kesejahteraan dan hanya mengakibatkan kesenjangan yang semakin besar, dan eksploitasi sumber daya diakhirnya. Alih-alih berbicara tentang kemakmuran, para aktivis ini juga ‘sakit hati’ dengan negara-negara lintah darat yang dianggap telah mengingkari janjinya untuk menghapuskan utang negara-negara miskin, sebaliknya mereka yang semakin makmur dari pendapatan pajak mereka dari ekpansi komoditas mereka yang menggurita.
Yang saat ini masih up-to-date diperbincangkan oleh FSD adalah isu kedaulatan pangan, tujuannya adalah memberikan otoritas penuh kepada petani lokal untuk menetapkan apa yang akan mereka tanam tanpa tekanan dari perusahaan-perusahaan multinasional yang selama ini mengendalikan mereka. Forum yang pada awalnya bergerak secara grassroot ini ternyata telah mendapatkan perhatian dari berbagai pemimpin di beberapa negara di dunia. Respon ini tidak hanya diberikan oleh negara-negara sosialis-komunis di Asia saja namun juga negara-negara di Eropa dan Amerika. Lantas, apakah FSD ini merupakan bibit yang akan mengulangi perang ideologi (Kapitalis vs Sosialis) seperti yang pernah terjadi pada masa perang dingin Utara Selatan beberapa tahun silam?
And…Everythings Comes and Goes
Waktu itu saya masih semester 1 ketika melihat video klip Michelle Branch “Everywhere”. Untuk seusia saya waktu itu, Michelle Branch bisa dibilang singer-songwriter yang bagus, lagu-lagunya juga lumayan. Sampai kemudian, sahabat saya meminjami album kedua Michelle Branch “Hotel Paper”, tidak semua lagu dalam album ini saya suka. Karena menurut saya ada beberapa lagu yang ‘biasa’ saja. Tapi ketika saya mendengarkan “Breath”, “Find My Way Back”, “Hotel Paper” dan duet dengan Sheryl Crowe di “Love Me Like That” saya berpikir bahwa album ini lumayan bagus, untuk ukuran musisi semuda dia, dia memiliki karakter musik yang beda dengan musisi lainnya, misalnya Avril yang cenderung rock-punk.
Lama tidak terdengar di industri musik, saya iseng googling album terbarunya, surprise juga saya menemukan project ini. Album ini memang masih belum go-public di Indonesia, karena penasaran, saya coba download kira-kira musiknya seperti apa. “Everything Comes and Goes” ini keseluruhan berisi lima lagu yang kesemuanya bernuansa country-rock-blues. Ada kemiripan aransemen dengan lagu-lagu Sheryl Crow dan Shania Twain. Coba dengarkan “I’m Ready to Let You Go” dan “Summer Time” taste country-nya lumayan ‘dapet’. Tapi ketika mendengarkan “Sooner or Later”dan “I Want Tears” mungkin akan mengingatkan kita pada Kelly Clarkson atau Chris Daughtry yang kental sekali dengan rock-balladsnya. Album ini memang salah satu project Branch yang masih dibantu sahabatnya Jessica Harp yang sempat membentuk grup musik beraliran country, The Wreckers. Secara musikalitas, lagu-lagu di album ini cukup bagus dan aransemennya dikerjakan dengan rapi. Meskipun aliran musiknya sudah banyak berubah dari album sebelumnya yang cenderung pop-alternatif, namun Branch tidak meninggalkan sentuhan balladsnya. Salah satu single favorit saya “This Way” tetapi lagu ini tidak masuk ke dalam major album ini. Terlihat sekali bahwa musik Branch tidak terlepas dari pengaruh Alanis Morissette dan Beatles, termasuk teknik vokalnya yang semakin matang serta performancenya dalam video klip.
Live Traffic Feed
Blog Archive
-
▼
2011
(57)
-
▼
Februari
(14)
- Lukisan Lana
- Sebuah Permulaan dalam Ampas Kopi
- Jagal Amerika
- Gamble everything for love,if you’re a true human ...
- How do You Taste the Death
- Injury Time
- Seni Mendengarkan
- Menghargai Proses
- Kekuatan Tersembunyi dibalik Atom
- Belajar dari Nelayan Jepang
- drowning Under the Iron Sea
- koktail di bumi Afganistan
- Antiglobalisasi, dan Oposisi bagi Kapitalisasi
- And…Everythings Comes and Goes
-
▼
Februari
(14)
Tags
- #QuinStory (2)
- 35mm (2)
- a la cipRit (2)
- catatan ciprit (75)
- cerita Lana (5)
- cerpen (1)
- city branding (1)
- communication (11)
- creative industries (6)
- culture and nations (3)
- curhat sore (7)
- di kampus (5)
- education (1)
- friendship (2)
- GAPURA (5)
- gender (5)
- Iris (2)
- kapitalisme (4)
- kuliner (3)
- law and media (7)
- media (17)
- music (1)
- musics (1)
- net generation (5)
- network society (5)
- new media (3)
- nihonggo (1)
- Novel (4)
- places (3)
- Quin (1)
- resensi (19)
- resep-resep (2)
- sentil (13)
- telecommunity (3)
- tentang kamu (20)
- teori sosial (14)
- Toilet Thoughts (6)
- Yogyakarta (5)
cipRitFrends
Jendela cipRitWoRLd
-
Model pengembangan ekonomi kreatif yang dikembangkan untuk Indonesia berupa bangunan yang terdiri dari komponen pondasi, 5 pilar, dan atap y...
-
Network Society adalah salah satu pendekatan yang dipopulerkan oleh seorang ahli ilmu media dan komunikasi Jan van Dijk. Dalam bukunya ya...
-
Teori Poskolonial atau teori Pasca Kolonial merupakan respon dari penjajahan yang dilakukan oleh negara-negara Eropa terhadap negara-negar...
-
Agak telat juga kalau saya nulis resensinya. Hanya ingin sharing tentang konten dan musik di album ini saja. Eniwe, ini adalah salah satu a...
-
Michael Foucault adalah seorang filsuf berkebangsaan Prancis, ia menjadi salah satu pemikir yang cukup berpengaruh pada era post-moderni. Pe...