Tanah itu masih basah. Aroma itu sangat khas tercium di hidungnya. Egi hafal benar dengan bau itu. Bau yang mengingatkannya pada seseorang yang sekarang telah berlalu. Dan waktu telah menggilas semuanya tanpa tersisa, kecuali kenangan yang masih utuh tersimpan di kepalanya. Kenangan yang hanya ia bagi dengan dirinya sendiri. Betapa hidup sangat tidak adil, batinnya.
Egi sayang,
Aku tau saat ini engkau tidak sedang memikirkan aku. Aku tahu bahwa saat ini pikiranmu masih terbelenggu bayang-bayang itu. Aku telah mengetahui semuanya bahkan sebelum kamu mengetahuinya.
Satu dekade bukan waktu yang sebentar buatku. Banyak hal yang telah terjadi dan terbangun di sana, harapan, cita-cita, hasrat, dan kasih sayang. Dan kamu mengetahui, bahwa aku memilih untuk menjalaninya disini, bersamamu.
Egi sayang,
Aku telah kehilangan kata dan bahasa untuk mengungkapkan batapa aku sangat terluka, kecewa, dan marah. Entahlah, apakah seharusnya aku marah padamu atau padanya...atau pada diriku sendiri. Aku sedang hilang, Egi...
Sejujurnya aku benci memiliki perasaan ini, namun aku juga sangat membenci kejujuranmu. Jauh sebelumnya aku berkata pada diriku bahwa aku telah mempersiapkan segalanya untuk perjalanan kita. Bahkan aku telah siap jika memang aku harus melepaskanmu. Aku menyadari bahwa aku bukanlah seseorang kekasih yang kau impikan. Aku tidak bisa memberikan sesuatu yang kau inginkan sebagaimana yang telah kau terima saat ini. Kau telah memiliki kebahagiaan yang kau bangun sendiri dengan duniamu, dengan peran-peran yang kau pilih sendiri. Tidak Egi, aku tidak akan berbicara tentang sebuah egoisme. Jika menurutmu, kompromi adalah segala-galanya, tawar menawar adalah jalan bijak untuk mendapatkan suatu kesepakatan bersama, tidak bagiku. Disinilah perbedaan kita. Kita berpijak pada bumi yang berbeda. Bagiku, cinta bukan lah transaksi perdagangan, komitmen bukan material yang dapat ditawar dan diperjualbelikan. Dan aku tidak akan pernah menjualnya.
Egi sayang, silakan kamu muntahkan semua argumentasi yang kau anggap logis di hadapanku, dan kini aku telah muak menelan semuanya. Walaupun aku sangat menyayangimu dengan sepenuh hatiku, namun aku tetap akan terhina ketika kejujuranmu kau ungkapkan dengan tanpa rasa bersalah. Bisakah kau memahami bagaimana terlukanya aku saat aku tahu, dengan segala kesadaranku, bahwa aku bukan lagi seseorang yang kau pikirkan ketika kau terjaga. Aku tidak lagi menjadi penghantar saat kau akan terlelap. Dan mungkin kau malah tidak pernah berharap untuk bertemu denganku, meskipun dalam mimpi. Dan aku merasakannya dengan sepenuh hatiku juga. Aku tahu bahwa itu adalah salah satu upayamu untuk berlari meninggalkan segala yang kau anggap siksaan bathin. Keadaan yang membuatmu kehilangan dirimu seutuhnya. Aku terluka...sangat terluka.
Egi sayang, aku tidak butuh sesumbar picisan atas nama hak asasi manusia yang kamu dewa dewakan jika kamu sendiri tidak pernah tahu apa esensi hak yang paling asasi itu sendiri. Jangan lagi menguliahiku tentang kebebasan jender yang juga kau agung-agungkan. Sembah saja patung liberty sebagai bentuk penghambaanmu pada kebebasan. Simpan semua omong kosongmu, sayang...karena aku telah menutup telingaku rapat-rapat.
Satu kata yang sebenarnya tidak ingin aku ungkap kepadamu. Namun kupikir, aku tidak lagi memiliki terminologi lain yang kuanggap sepadan makna dengan apa yang sedang terjadi saat ini kecuali pengkhianatan. Kau tahu, pedih ku rasakan jika aku mengingat semua pertengkaran kita. Tidak hanya kau yang tersiksa. Aku pun demikian. Kalau boleh aku protes pada kaum feminis yang mengagung-agungkan kesetaraan hak, bahwa saat ini aku telah terluka oleh mereka. Mereka tidak pernah memahami bahwa tidak sesimpel itu menerapkan teori-teori tai kucing itu pada setiap manusia. Menurut mereka aku korban ketidakberdayaan perempuan, dan mereka juga pasti akan memperolok-olokku dengan nasihat-nasihat murahan dan menempatkanku pada sudut ketakberdayaan. Bodohnya aku... tapi aku waras.
Egi, maafkan aku yang telah hilang kendali. Semuanya aku lakukan bukan tanpa alasan. Karena aku menghargaimu, dan aku menghormatimu lebih dari siapapun. Silakan saja kamu tidak menerimakan segala yang kulakukan. Tapi aku akan tetap memperjuangkan apa yang kuanggap berharga untuk kuperjuangkan, sampai kau menyadarinya...sampai kau menyadari bahwa mungkin kau telah kehilangan semuanya. Sekarang, silakan kau pilih kebahagiaanmu... karena seperti yang kau pernah katakan padaku, bahwa kebahagiaan tidak raih, tapi dipilih...diciptakan.
Padma.
Dilipatnya kembali kertas itu dan menaruh di sisi tempat tidurnya. Egi masih menatapi relung-relung kamarnya yang sunyi seolah ia tengah menggambar sesuatu disana. Ditariknya nafasnya perlahan namun berat. Satu persatu peristiwa terlintas di benaknya, silih berganti. Tanpa ia sadari, ada perih yang tiba-tiba menyusupi lubuk jiwanya.
Tak ada suara. Masih sama seperti malam-malam sebelumnya. Lengang. Bahkan suara cicak dan nyamuk pun enggan. Seseorang itu masih terjaga dengan sejuta drama di benaknya.
(I would like to appreciate to those who have inspired me for writing this prose. Anyway, this prose is fairly fiction and doesn’t have retentions for any purposes... Enjoy!!!)
2 komentar:
ok Juga tulisan ini, mirip sekali dengan kisah hidupku. kalau bener berarti orang yang nulis ini sangat sayang kepadaku ( GE-ER ).
yang menjadi pembelajaran dariku adalah aku baru sadar bahwa diriku adalah orang yang terlalu mementingkan kenyamananku tanpa memikirkan kenyamanan orang lain. aku akan berbenah diri dan akan menikmati komitmenku. Bisa berarti untuk orang lain/pasangan juga termasuk tujuanku hidup. itu mungkin yang perlu aku pupuk supaya aku bisa tenang kalau mati nanti.
terima kasih ya...tulisan ini sangat menyentuh hatiku ( sok romantis, he..he..)
hmmm...semoga bermanfaat :)
Posting Komentar