Komoditas dan Selera Global dalam Pemilihan Pelayanan Kesehatan


I. Pendahuluan

Setiap orang pasti tidak ingin dirinya menjadi sakit atau menderita sebuah penyakit. Kesehatan merupakan sebuah faktor penting dalam kehidupan. Dengan menjadi sehat, segala aktivitas dapat terjalani, bekerja, bersekolah, dan lain-lain. Tidak banyak orang yang pandai mensyukuri kesehatannya, malah cenderung tidak memperdulikan kesehatannya dengan berperilaku tidak sehat, misalnya dengan pola hidup yang tidak teratur, kebiasaan merokok, minum minuman beralkohol, tidak pernah berolah raga, dan sebagainya. Ketika seseorang menjadi sakit, saat itu pula akan menyadari bahwa proses penyembuhan dan pemulihan terkadang membutuhkan proses yang tidak sebentar. Selain itu, jika penyakit yang dideritanya cukup parah, tidak sedikit pula biaya yang harus dikeluarkan untuk pengobatan.
Di jaman yang serba modern ini, kondisi masyarakat juga semakin berubah seiring dengan perkembangan teknologi dan komunikasi. Perkembangan ini terkadang mengarah kepada keadaan yang lebih kompleks dan rumit di segala bidang kehidupan, salah satunya adalah bidang kesehatan. Tidak dapat dipungkiri bahwa dunia kesehatan adalah salah satu bidang kehidupan yang perkembangannya sangat terlihat jelas. Penemuan alat-alat kesehatan yang canggih, terformulasinya vaksin untuk penyakit-penyakit yang berat, serta peningkatan pelayanan yang semakin ‘baik’. Jika dahulu, dalam sebuah daerah hanya memiliki sebuah rumah sakit saja, dan itu dimiliki oleh pemerintah daerah, tidak dengan saat ini, rumah sakit-rumah sakit swasta, dan klinik-klik pengobatan banyak sekali ditemui di berbagai daerah bahkan di daerah terpencil sekalipun.
Selain itu, perubahan yang terjadi dalam beberapa tahun terakhir sangat signifikan jika dibandingkan dengan beberapa tahun sebelumnya. Rumah sakit dan klinik pengobatan yang dibangun pun juga semakin melengkapi pelayanannya. Bahkan ada rumah sakit yang hanya melayani spesialis penyakit tertentu, misalnya rumah sakit mata, rumah sakit kanker, rumah sakit bedah, dll. Perbedaan lain yang memberikan perubahan ‘rasa’ pada rumah sakit adalah dari sisi artistik bangunan yang digunakan. Jika dahulu rumah sakit terkesan sangat ‘menyeramkan dan menakutkan’, kotor, dan bau obat; tidak demikian sekarang. Sebagian besar rumah sakit swasta ‘tahu’ bagaimana merubah image ‘menyeramkan’ tersebut menjadi friendly dan nyaman. Memang akan masuk akal apabila alasannya adalah demi kenyamanan pasien, sehingga pasien akan lebih cepat pulih dan sembuh. Bangunan rumah sakit tidak lagi mirip ‘rumah tua dengan lorong yang panjang’, namun sudah menggunakan tangga berjalan dan elevator. Lorong-lorongnya pun tidak gelap dan menyeramkan, namun sudah dilengkapi dengan lampu yang amat terang dan beraroma terapi. Selain itu, dibangun juga taman-taman yang sudah hampir mirip dengan taman di hotel-hotel. Tidak hanya kondisi fisik rumah sakit yang banyak berubah, fasilitas dan infrastrukturnya juga mengalami banyak perubahan. Rumah sakit jaman sekarang, lebih menyadari dan memahami ‘kebutuhan’ pasien, sehingga mereka memberikan berbagai fasilitas demi kenyaman pasien, misalnya dengan menyediakan supermarket yang masih dalam area rumah sakit. Fasilitas wi-fi gratis, sehingga keluarga pasien dapat memanfaatkannya untuk browsing dan berinternet. Tidak hanya itu, bahkan diantaranya juga menyediakan cafe dan cafetaria untuk pengunjung rumah sakit. Untuk beberapa rumah sakit yang tergolong bonafide, fasilitas-fasilitas yang disediakan mereka juga berkelas, seperti fasilitas yang disediakan di hotel-hotel dan mall. Pengunjung rumah sakit tidak hanya dapat membeli starbuck dan J-Co di mall, mereka juga dapat menikmati kuliner tersebut di rumah sakit.
Tentu akan sangat berbeda ketika menggunakan pelayanan rumah sakit swasta dengan fasilitas yang one-stop service, dengan ketika datang berobat ke puskesmas atau rumah sakit umum. Selain fasilitas dan pelayanan yang berbeda, pemberi layanannya pun juga berbeda. Hal ini juga implikasi langsung dengan ‘apa yang akan diberikan’ oleh pasien sebagai penukar untuk mendapatkan ‘apa yang diharapkan’, misalnya obat-obatan yang diberikan, perawatan kesehatan yang diterima, serta ‘tata cara’ pelayanan oleh pelayan kesehatan. Singkatnya, pasien yang ingin mendapatkan pelayanan yang lebih ‘baik’ seperti yang disediakan oleh rumah sakit swasta, maka harus rela mengeluarkan dana yang tidak sedikit, karena selain harus menebus biaya obat-obatan, pasien biasanya juga diminta untuk cek/tes ke laboratorium terlebih dahulu sebelum dokter memberikan diagnosis. Mereka juga harus membayar biaya dokter, rawat inap, dan lain-lain.
Namun demikian, masyarakat sepertinya sudah terbiasa dengan fenomena tersebut, karena dari penyedia layanan kesehatan juga telah memberikan pilihan-pilihan fasilitas yang telah ‘disesuaikan’ dengan kemampuan pasien. Walaupun terkadang, banyak pasien yang merasa lebih cepat sembuh dan percaya dengan rumah sakit swasta karena dianggap memiliki ‘kualitas’ yang lebih baik. Lebih jauh lagi, bahwa kemampuan dalam pemilihan pelayanan kesehatan memberikan pengaruh pada tingkat kemampuan ekonominya, serta bagaimana sebuah pelayanan kesehatan menjadi salah satu pemicu berkembangnya budaya konsumen.
Penelitian ini akan membahas tentang selera masyarakat dalam memilih pelayanan untuk kesehatannya. Dalam hal ini penulis melakukan sebuah penelitian dengan melakukan sebuah wawancara singkat dengan dua orang responden yang pernah menjadi pasien dua buah rumah sakit di Surabaya. Dari hasil wawancara tersebut penulis ingin mengetahui motivasi dan alasan responden memilih sebuah pelayanan bagi kesehatannya, serta bagaimana responden memaknai kesehatannya dikaitkan dengan pilihan pelayanan kesehatan yang dipilihnya. Secara singkat penulis mengetahui keterkaitan antara perilaku ‘memilih’ pelayanan kesehatan dikaitkan dengan budaya konsumen dan kelas sosial.

II. Pembahasan
Perkembangan prodak dan pasar bebas adalah salah satu faktor yang mempegaruhi budaya konsumen. Heterogenisasi prodak berproses in-line dengan homogenisasi minat dan ‘selera’. Budaya mengkonsumsi tidak hanya dalam mengkonsumsi sebuah prodak, tapi juga bagaimana menikmati jasa. Salah satu yang menjadi fenomena daam masyarakat adalah bagaimana masyarakat memilih pilihan layanan untuk kesehatannya. Pembangunan untuk layanan kesehatan semakin gencar baik di sektor riil maupun dalam tataran infrastruktur. Privatisasi dan swastanisasi layanan kesehatan juga semakin berkembang dengan munculnya rumah sakit-rumah sakit dan klinik-klinik kesehatan dengan pelayanan yang ‘excellence’ dan one-stop service. Semakin banyak tersedianya pilihan-pilihan pelayanan kesehatan, semakin memperkaya pengetahuan masyarakat dalam menyeleksi setiap keputusannya.
Dalam konteks ini, pengetahuan menjadi penting; pengetahuan tentang barag-barang baru, nilai social dan budaya barang-barang itu, serta bagaimana menggunakan barang-barang itu secara tepat. Secara khusus hal ini menjadi masalah bagi kelompok-kelompok yang sedang belajar yang sedang mengarah pada pola konsumsi serta melakukan pengembangan suatu gaya hidup tertentu (Douglass dan Isherwood, 43). Selain itu, menurut Baudrillard, kemungkinan bahwa ada beberapa mode identitas yang berbeda, serta formasi dan deformasi kebiasaan yang muncul dan membuat signifikansi selera serta gaya hidup menjadi lebih kabur-jika tidak dalam seluruh struktur masyarakat, paling tidak dalam sektor-sektor tertentu, misalnya di kalangan kaum muda dan beberapa fraksi kelas menengah (Baudrillard dalam Douglass dan Isherwood, 47).
Dari eksplansi diatas dapat dianalisis bahwa perkembangan budaya konsumsi berhubungan dengan proses belajar masyarakat, bagaimana masyarakat beradaptasi dan menggunakan instrument-instrumen yang baru tersebut yang pada akhirnya perubahan tersebut diarahkan pada perubahan gaya hidup yang baru. Masyarakat yang telah mengalami perubahan dalam gaya hidupnya secara natural akan berpengaruh pada pembentukan identitas yang melekat pada individu tersebut.
Baudrillard juga menambahkan bahwa, gaya hidup adalah suatau proyek kehidupan dan menunjukkan individualitas mereka serta pengertian mereka tentang gaya dalam kekhususan benda-benda, busana, praktik, pengalaman, penampakan, serta disposisi jasmaniah yang mereka disain sendiri ke dalam suatu gaya hidup. Individu modern dalam budaya konsumen itu disadarkan bahawa dia tidak hanya berbicara dengan busananya, tetapi dengan rumahnya, perabotannya, dekorasi, mobil, dan berbagai aktivitas lainnya yang harus dipahami dan diklasifikasikann dalam kaitannya dengan kehadiran serta tidak adanya selera (Baudrillard dalam Douglass dan Isherwood, 205).
Dalam fenomena pemilihan pelayanan kesehatan, masyarakat dihadapkan pada perubahan dari pelayanan yang sebelumnya bersifat manual, beralih pada pelayanan yang bersifat digital. Dari paparan sebelumnya, masyarakat cenderung memiliki kebiasaan untuk memilih pelayanan kesehatan yang terpercaya dan memiliki layanan yang lengkap. Hal ini disebabkan karena kesehatan merupakan kebutuhan primer yang penting, sehingga mereka akan berusaha sekuat tenaga untuk menjadi sehat. Namun demikian, sebagai gantinya mereka harus ‘menukar’ ketepercayaan dan kenyamanan itu dengan biaya yang relative tidak murah. Sebagai contoh, untuk sebuah general check-up saja, di sebuah laboratorium, pasien harus mengeluarkan dana anatara 600 ribu sampai dengan 1 juta rupiah. Jika mereka memiliki kartu anggota, laboratorium tersebut akan memberikan potongan harga sampai privilege yang ‘menguntungkan’ pasien. Contoh lainnya dapat ditemui ketika seorang pasien akan melakukan pengobatan kesehatannya pada sebuah rumah sakit swasta yang bertaraf ‘internasional’, pasien tersebut pertama-tama akan dihadapkan pada front-liner yang bertugas sebagai customer service yang akan membantu meregister pasien dan mengantarkan pada dokter yang menangani spesialisasi penyakit yang dideritanya. Dengan pelayanan yang serba digital dan computerized, teknis administrasi akaan lebih mudah dan dapat dilayani dengan cepat, sehingga pasien tidak harus mengantri dan menunggu terlalu lama. Jika pasien tersebut harus menunggu, pasien akan ditawarkan untuk menunggu di ruang tunggu yang sangat nyaman, lengkap dengan televise flat dan free wi-fi. Pihak rumah sakit sangat paham bagaimana memperlakukan pasien yang mengantri, sehingga tidak jau dari ruang tunggu akan disediakan café/cafeteria, dan supermarket mini. Sebagai contoh, di Rumah Sakit HCOS, yang bertaraf internasional, mereka sangat ‘menghargai’ pasiennya. Pihak rumah sakit menyediakan berbagai fasilitas yang juga bertaraf internasional, mulai dari fasilitas kesehatan (laboratorium,alat-alat kesehatan, dll), obat yang direkomendasikan, furniture yang digunakan, pelayan kesehatannya (dokter, perawat, farmacist, dll), sampai dengan café dan supermarketnya. Mereka menggunakan brand-brand yang sudah dikenal di dunia internasional, misalnya untuk laboratorium menggunakan brand Glen Eagels, untuk obat-obatan mereka lebih memilih merek dagang luar negeri: Glaxosmithkline, dan Bhoeringer Ingelheim, dengan asumsi lebih qualified dan sudah dipercaya secara internasional. Dari segi estetika, rumah sakit juga pandai memanjakan pasien dengan ‘bekerjasama’ dengan pengelola café yang bertaraf internasional, misalnya McDonald, Starbucks, Excelso, J.Co, Coffee Bean, Cicle K 24 hrs, dll.
Perubahan-perubahan yang terjadi dalam dunia pelayanan kesehatan hampir sama dengan perubahan yang terjadi pada perkembangan konsumsi masyarakat terhadap benda-benda dan makanan. Nilai guna (use-value) barang telah tereduksi dengan nilai tanda (sign-value). Dalam proses perturan pun, barang yang memiliki nilai tanda (benda komodity) bernilai tukar lebih tinggi dibanding dengan barang yang hanya memiliki nilai guna, hal ini dikarenakan benda-benda komoditas memiliki fungsi yang sangat politis ketika dikonsumsi oleh masyarakat. Misalnya dapat meningkatkan gengsi, dan menunjukkan status social tertentu. Demikian pula dengan rumah sakit, nilai guna rumah sakit yang pada awalnya hanya sebagai tempat pengobatan penyakit, beralih menjadi tempat untuk mengukur batas batas kejayaan seseorang. Rumah sakit menjadi tempat untuk mengkonsumsi dan mereproduksi budaya konsumen yang bersifat global.
Jika konsumsi adalah aktivitas manusia yang bersifat primordial, maka budaya tercermin dalam selera. Hal ini disebabkan karena selera mempunyai hubungan yang kompleks dengan struktur, nilai dan ideology sebuah masyarakat. Dalam masyarakat modern, selain kesehatan dipandang sebagai suatu yang utama, bagaimana masyarakat ‘memperlakukan’ kesehatannya juga menjadi suatu yang lebih penting. Menurut Bourdieu, perilaku masyarakat dalam memutuskan pilihan-pilihannya menggambarkan suatu keadaan yang bersifat membedakan dengan masyarakat yang lainnya. Kemudian oleh Bourdieu disebut sebagai selera (taste). Selera, termasuk selera makan (mengkonsumsi) ikut membentuk struktur budaya dalam masyarakat, dan sebaliknya, ia dibentuk oleh struktur budaya tersebut. Maka struktur selera dibentuk oleh kode-kode budaya, dimana kode tersebut harus diinterpretasikan ke dalam benda-benda yang dikonsumsi dan cara mengkonsumsi benda-benda tersebut, sehingga aktivitas mengkosumsi tersebut dapat bermakna secara cultural. Sehingga, masyarakat yang mampu memilih pelayanan kesehatan modern dan canggih, akan dianalogika sebagai masyarakat yang memiliki kultur modern dan berselera tinggi. Karena benda-benda dan cara-cara yang dipakainya identik dan terlekati oleh brand-brand yang juga identik dengan selera yang baik. Dalam hal ini masyarakat, yang oleh Baurillard, diasumsikan tengah mengkonsumsi sebuah benda-benda (dan jasa) yang bersifat komoditas. Artinya, mereka tidak lagi mencari sebuah upaya pemenuhan untuk kesehatannya, namun mereka mengkonsumsi simbol-simbol yang melekat pada benda-benda tersebut, sebagai salah satu upayanya untuk melegitimasi ‘selera’ nya.
Hal ini selaras dengan pendapat Bourdieu bahwa selera bersifat sangat politis, karena berhubungan dengan homogenisasi kepentingan dan peguasaan (hegemonisasi) dari kelas-kelas yang berkuasa. Intinya, selera diciptakan oleh kelas tertentu dan dimasyarakatkan sebagai selera yang lazim. Selera yang ‘baik’ akan diakui secara universal yang akan diimitasi oleh kelas-kelas yang lebih rendah. Selera yang homogen ini terus dikembangkan oleh masyarakat kelas tinggi untuk membuat perbedaan dengan kelas-kelas yang lain. Cara yang ditempuh oleh mereka adalah dengan berlomba-lomba menciptakan sebuah perilaku konsumtif terhadap benda-benda yang bersifat komoditas. Douglass dan Isherwood menilai perilaku konsumsi ini sebagai ‘penggunaan hak milik material’; yaitu menghabiskan nilai material itu sendiri.
Oleh sebab itu, konsumsi dalam pengertian yang lebih luas mencakup hal-hal yang non-material, seperti konsumsi sebagai konsep di balik sebuah tanda (consumption of sign). Bourdieu menambahkan, selera dibagi menjadi 2, yaitu selera yang mengutamakan nilai ekonomis, dan selera yang merujuk pada kebebasan/kemewahan. Secara kasat mata, selera yang merujuk pada nilai-nilai kebebasan dapat ditemukan pada pelayanan kesehatan yang memiliki brand internasional, mereka tidak hanya melabeli prodaknya dengan brand-brand yang ‘berkelas’, cara promosi yang mereka lakukan juga mengadaptasi promosi benda-benda komersil, yaitu dengan metode francise (399-400). Berbagai bentuk francise ini bertebaran di berbagai tempat global, yang pada akhirnya menciptakan penjajahan selera, homogenisasi, standardisasi, internasionalisasi. Hal ini dikarenakan bahwa selera internasional yang ditawarkan adalah selera dari Negara-negara barat, yang mengkondisikan budaya/selera local untuk melakukan imitasi/peniruan. Tidak bisa dipungkiri, globalisasi identik dengan kemajuan teknologi, yang kemudian menggiring pola kehidupan yang serba instan: instant food, instant delivery, fast-food, fast-service, fast-speed, dll (Bourdieu, 398).
Dalam konteks pemilihan pelayanan kesehatan, peran kapitalisme menjadi penentu dalam menciptakan selera masyarakat dengan menawarkan berbagai kecanggihan teknologi, kecepatan pelayanan, dan kenyamanan. Hal-hal tersebut akan mempengaruhi tingkat kepercayaan pasien dalam menentukan pilihannya. Seperti pendapat yang diungkapkan Bourdieu, rumah sakit dan klinik kesehatan sekarang tidak luput dari pengaruh kapitalisme, akhirnya juga memerankan diri sebagai prodak yang bersifat komoditas dan menawarkan selera yang homogen, menciptakan kelas-kelas, dan menjual symbol-simbol dari setiap prodak dan jasanya.
Fenomena ini menunjukkan bahwa dalam dunia kesehatan, hegemoni barat menjadi kekuatan yang sangat berpengaruh dalam penguasaan selera dan kepentingan masyarakat yang bermuara pada symbol budaya. Symbol-simbol yang terlekat pada rumah sakit dan klinik kesehatan ini hampir sama dengan symbol-simbol yang terlekat pada McDonald dan J.Co dimana symbol-simbol tersebut memberikan homogenisasi selera yang mecipakan selera global.

III. Kesimpulan
Selera, oleh Boudieu, bersifat politis. Hal ini dikarenakan selera menciptakan sebuah hegemoni (penguasaan), serta bersifat pembeda. Dalam hal ini, masyarakat sebagai pemilih layanan kesehatan, seperti rumah sakit, klinik kesehatan, puskesmas, dll, dalam hal menentukan keputusannya dipegaruhi oleh selera global. Pelayan kesehatan yang pada awalnya berfungsi sebagai tempat pengobatan, ternyata tidak luput dari pengaruh kapitalisme. Perubahan ini dapat dilihat dari peralihan fungsiya, dari fungsi use-value menjadi sign-value. Konkretnya, rumah sakit – yang modern – mengadaptasi promosi-promosi barang-barang komoditas seperti metode franchise. Selain itu, rumah sakit juga telah terlekati oleh label-label yang memiliki fungsi sign-value, misalnya dengan menggandeng J-Co, Excelso, dan lain-lain. Media promosi seperti yang banyak dilakukan oleh barang-barang yang profit-oriented ini merujuk pada sebuah kondisi bahwa rumah sakit memiliki nilai ganda, selain sebagai temapat pengobatan masyarakat, rumah sakit juga dapat berfungsi sebagai temapat untuk menunjukkan status social seseorang, dan melegitimasi selera tertentu.
Rumah sakit modern yang nota bene memiliki pelayanan yang canggih, cepat dan baik, sebagai gantinya pasien harus menukarnya dengan sejumlah nominal yang tidak sedikit. Artinya semakin canggih dan berprestis sebuah rumah sakit, maka semakin tinggi pula nominal yang harus dikeluarkan. Banyaknya nominal yang dikeluarkan oleh seseorang, akan identik dengan tingginya status social seseorang, ini menunjukkan bagaimana seseorang tersebut membelanjakan uangnya, kepada siapa uangnya dibelanjakan, dan akan dipakai apa uangnya tersebut. Pembedaan kelas ini identik dengan pembedaan selera yang dimiliki oleh seseorang. Seseorang yang memiliki selera yag tinggi akan menjadi role model dalam seleranya, sedangkan orang yang memiliki selera lebih rendah akan berusaha mengimitasi selera yang lebih tinggi. Selera yang lebih tinggi, lebih baik, lebih modern secara natural akan menguasai kepentingan-kepentingan masyarakat kelas bawah. Kondisi nyaman, canggih, ketenangan, kemewahan, kesenangan, hedonism, akan identik dengan masyarakat pada kelas social atas yang memiliki selera yang lebih tinggi, sehingga kapitaslis membidik masyarakat ini untuk mempengaruhi pasar dengan hegemoninya. Karena masyarakat kelas atas akan dengan mudah mengeluarka uang untuk menukarnya dengan barang-barang yang bersifat komoditas.


tulisan ini disusun untuk MK. Advertising and Consumer Culture

2 komentar:

KOPENHAM mengatakan...

Orang sakit memang sumber mata uang yang tidak pernah padam, maka dari itu semua HIU ( orang punya duit ) menciptakan fasiltas sedemikaian rupa, tapi tetep yang menikmati orang sehat ( keluarga orang sakit ) yang sakit tetep aja merasakan tidak nyaman he..he..
Kesehatan itu murah kok tinggal menjaganya, yang mahal itu ketika sakit !

indraddict

Unknown mengatakan...

hehe, jadi inget ansosnya mbak intan...jadi inget ma segitiga penindasan...bahwa semuanya telah terkonstruksi secara sistemik...dan kita hanya bermain di dalamnya, bahkan mungkin tidak sadar telah menjadi korban para HIU... ;p