Analisa kultivasi pertama kali dikembangkan oleh George Gerbner (1972), Ia meneliti tentang keterkaitan antara media (televisi) dengan tindak kekerasan. Dampak ‘kekerasan media’ ini oleh Gerbner disebutnya sebagai “mean world syndrom”, dalam Cultivation Analysis. Secara teknis Gerbner membagi 2 kategori penonton televisi, kategori pertama disebut Heavy Viewers (pecandu berat), dan Light Viewers (penonton biasa). Hipotesa yang diyakini adalah menonton televisi secara independen akan berkontribusi dalam membentuk konsepsi penontonnya tentang realitas sosial. Artinya mereka yang lebih banyak menonton televisi “hidup dalam dunia televisi” akan memiliki gambaran kehidupan nyata sebagai mana yang dilihatnya dalam televisi itu, yang kemudian oleh Gerbner disebutnya sebagai Television’s Pseudo-reality (West, 83).
Berdasarkan paparan sebelumnya, sudah dijelaskan bahwa fenomena menonton sinetron di Indonesia sudah menjadi sangat kontroversial. Hal ini ditandai dengan banyaknya kritik terhadap sinetron yang dianggap tidak bermanfaat dan membawa pengaruh buruk bagi masyarakat. Jika dianalisa dengan menggunakan analisa kultivasi, maka secara teknis, penonton sinetron pun dapat digolongkan menjadi 2 golongan, yaitu pecandu berat sinetron dan penonton biasa. Bagi analisa kultivasi, seseorang dikatakan pecandu berat TV (Heavy Viewers) jika ia rata-rata menonton televisi 4 jam per hari, atau bahkan lebih lama. Dalam hal ini ibu-ibu rumah tangga sebagai konsumen terbesar dan pengagum berat sinetron dapat dikategorikan dalam golongan pecandu berat (Heavy Viewers), dikarenakan mereka menghabiskan 4 jam atau lebih dari waktunya untuk mengikuti kisah sinetron yang ditayangkan di TV. Hal ini dapat dilihat dari tiap harinya RCTI dan SCTV memutar 4 judul sinetron. Jika satu judul sinetron saja membutuhkan waktu 1 jam, sebagai seorang Heavy Viewers maka ia akan menghabiskan waktu selama 4 jam di depan televisi untuk menonton sinetron. Sedangkan Light Viewers dalam hal ini adalah para pemirsa televisi yang hanya menghabiskan waktunya kurang dari 4 jam sehari untuk menonton sinetron, misalnya bapak-bapak dan remaja, yang lebih cenderung menyukai acara berita atau musik.
Golongan pecandu sinetron ini adalah penggemar fanatik yang akan secara atomatis memiliki ‘jam wajib’ menonton sinetron. Mereka tidak akan melewatkan satu episode pun, karena mereka merasa bahwa kelanjutan kisah sinetron yang mereka ikuti merupakan informasi yang penting sebagai pemenuhan rasa penasaran mereka. Hal ini disebabkan karena mereka telah menjadi bagian dari informasi itu sendiri. Dampak negatif secara langsung mungkin tidak akan terlihat, namun dalam teori kultivasi meyakini asumsi bahwa karena sering terlalu menonton sinetron membuat orang merasa dunia ini adalah tempat yang tidak aman (Signorelli dalam Severin dan Tankard, 321). Dalam fenomena pecandu sinetron ini, para ibu-ibu rumah tangga ini kebanyakan tidak menyadari pengaruh tayangan tersebut terhadap perilaku dan nilai yang mereka internalisasi. Maka, keadaan ini dapat berakibat pada keyakinan mereka yang berlebihan terhadap, misalnya perilaku kekerasan dalam rumah tangga yang terjadi di masyarakat, tindak kejahatan (penipuan, balas dendam, pembunuhan, dll) yang mungkin akan mereka alami di kehidupan nyata. Selain itu juga menumbuhkan stereotipisasi terhadap ras, jender, status sosial tertentu, akibat dari penokohan dan penggambaran karakter yang terlalu berlebihan dalam sinetron. Contoh konkritnya misalnya, ibu-ibu rumah tangga akan lebih bersikap ‘waspada’ terhadap menantu perempuannya, mereka meyakini bahwa sosok menantu perempuan dalam sinetron digambarkan sebagai orang yang materialistis, culas, penuh tipu muslihat, dan licik.
Selain itu, sinetron juga kerap sekali menggambarkan tokoh utamanya (protagonis) sebagai seseorang yang berkarakter lemah lembut, penuh kasih sayang, baik hati, tidak berdaya, dan selalu mendapatkan penindasan dari tokoh antagonis. Namun ia tetap konsisten tidak melakukan perlawanan dalam ketidak berdayaannya, alih-alih dikarenakan sifat pemaafnya, ternyata dia mendapatkan ‘perlindungan’ dari beberapa tokoh pria yang nota bene ternyata menaruh hati padanya. Dari penggambaran ini jelas sekali bahwa sinetron seolah ingin menunjukkan realitas bahwa ‘kebaikan’ akan mendapatkan perlindungan dan ‘diselamatkan’. Menjadi seseorang yang baik itu tidak aman dan akan dimusuhi banyak orang. Sedangkan bersikap melawan penindasan atau berlaku agresif akan cenderung diasosiasikan dengan arogansi, defensif dan negatif. Sebaliknya, sikap submisif, ‘nerimo’, pasif, dan ‘pemaaf’ identik dengan keluhuran, kebaikan hati, dan positif.
Kekhawatiran lainnya terbangun dari penggambaran tokoh suami, sebagai sosok laki-laki yang kejam, suka memukul, pemabuk, tukang selingkuh, dan kerap mengeluarkan kata-kata kotor pada istri dan anak-anaknya. Dalam sinetron, terutama sinetron religi, kisah seperti ini kerap sekali ditemui sebagai tontonan ‘biasa’. Sehingga, pesan yang diterima oleh penonton, terutama bagi pecandu sinetron adalah, istri merupakan sasaran empuk kemarahan suami. Konsep istri yang baik terbangun dengan kualifikasi: diam ketika dipukuli, tidak marah, sabar, selalu berdoa, patuh, lemah lembut, yang pada akhir cerita ia akan mendapatkan ganjaran dari buah kesabarannya. Pecandu sinetron memiliki kecenderungan kurang kritis menerima setiap pesan yang ditampilkan oleh tayangan sinetron, mereka menyerap apa yang mereka saksikan dan dengar secara utuh tanpa filter. Akibatnya, bagi mereka yang menikah maupun yang belum, akan merasa terusik dan tidak nyaman (aman) dengan kehidupan mereka. Ada ketakutan dan kekhawatiran mereka akan mengalami kekerasan dalam rumah tangga seperti apa yang mereka saksikan di sinetron.
Pecandu berat sinetron akan menelan mentah-mentah nilai-nilai tersebut dan meyakininya sebagai gambaran realitas yang sesungguhnya. KDRT dan kerusakan moral merupakan permasalahan penting yang dihadapi bersama. Kenyataan ini yang oleh Gerbner disebut sebagai pengarusutamaan (mainstreaming). Mereka mempercayai sepenuh hati bahwa perilaku kekerasan yang dilakukan oleh tokoh antagonis terhadap tokoh protagonis merupakan potret masyarakat di sekitar mereka. Parahnya lagi, bentuk-bentuk tindak kejahatan yang digambarkan dalam sinetron dapat menimbulkan paranoia sosial, menurut Gerbner disebut sebagai Indeks Dunia yang Kejam. Terdapat tiga asumsi yang membangun mind-set ini, antara lain kebanyakan orang akan berhati-hati untuk diri mereka sendiri; namun tidak terlalu berhati-hati ketika berurusan dengan orang lain; jika tidak maka orang lain akan mengambil keuntungan apabila ada kesempatan (West, 91).
Tidak dapat dipungkiri bahwa televisi memiliki pengaruh jangka panjang yang meskipun kecil, perlahan dan tidak langsung namun sifatnya menumpuk (kumulatif) dan nyata (signifikan). Televisi menjadi media utama dimana para penontonnya belajar tentang masyarakat dan kultur di lingkungannya. Dengan kata lain, persepsi apa yang terbangun dibenak kita tentang masyarakat dan budaya sangat ditentukan oleh televisi. Artinya, melalui kontak kita dengan televisi kita belajar tentang dunia, orang-orangnya, nilai-nilainya, dan adat istiadatnya. Gerbner meyakini bahwa media massa menumbuhkan sikap dan nilai yang sebenarnya sudah ada di masyarakat; dimana media melestarikan sekaligus menyebarluaskan nilai-nilai tersebut kepada masyarakat. Secara ilmiah Gerbner menyebutkan bahwa televisi telah mendominasi lingkungan simbolik, dimana televisi bukan lagi sekedar jendela atau refleksi atas dunia nyata, namun telah menjadi dunia itu sendiri (http://www.jurnal.budiluhur.ac.id/).
tulisan ini disusun sebagai bahan tugas MK. Teori Komunikasi Advanced
3 komentar:
bagus juga dek
betul itu
makasi kak udah komen...follow dunkk ;)
Posting Komentar