Media Studies



Studi Media menganalisis peran media di masyarakat dan pempelajari teknologi media, institusi media, sistem produksi, konsumsi, sirkulasi, dan konten dari teks media.
Mempelajari media berarti juga mempelajari ide dan nilai yang terkandung di dalamnya. Media memiliki dua sisi yang saling bertentangan, di satu sisi media dapat bersikap sangat mengecilkan, dan membuat suatu peristiwa menjadi tidak penting lagi untuk disimak. Di sisi yang lain media dapat terlalu berlebihan ketika memberitakan atau menyampaikan sebuah peristiwa. Karena media tidak netral, mereka dapat sepenuhnya self-serving dan profit-motivated.
Mempelajari media tentu sangat menantang, karena banyak hal yang sangat kontroversial dan kontradiktif terjadi di dalamnya
1.      Tujuan mempelajari media adalah untuk mendapatkan pemahaman, apresiasi, dan kesenangan dari media dari bagaimana mereka bekerja
2.      Untuk mengetahui social power yang potensial. Media dapat berfungsi sebagai alat demokrasi bagi masyarakat, artinya, memberikan ruang bagi masyarakat untuk bersuara, mempublikasikan isu-isu politik, events, melakukan penekanan terhadap kelompok tertentu yang melakukan ketidakadilan, dll.
3.      Mempelajari media dapat meningkatkan kesadaran kritis terhadap sisi positif dan negative media. Studi media berada dalam framework sosial dan politik.

Lebih lanjut, mempelajari media dapat meningkatkan keterampilan dalam mengambil manfaat media untuk dikembangkan secara kreatif dalam berbagai disiplin ilmu.

Kekhawatiran tentang penggunaan media untuk kepentingan politis
Fungsi media sebagai alat komunikasi telah dimanfaatkan oleh banyak partai politik untuk membangun dan mensupport agenda politiknya. Ide ini telah dipakai totalitarian fasis dan digunakan oleh negara-negara komunis sejak tahun 1930, kini juga diadopsi oleh negara-negara demokrasi, dimana iklan (periklanan) terlihat sebagai bentuk dari propaganda dan brain-washing yang mendukung consumerism kapitalis. Maka perdebatan harus adanya otoritas untuk mengontrol media agar tidak terjadi misused masih terjadi. Selain itu kekhawatiran bahwa media akan dipergunakan untuk kepentingan politik, melatarbelakangi di beberapa negara akhirnya melarang pemerintahnya memiliki/mengatur media. Perdebatan lain juga terjadi ketika memutuskan siapa yang berhak memiliki dan atau mengontrol kepemilikan media. Pemilik dan praktisi media seringkali menempatkan diri sebagai ‘watchdog’, hal ini dikarenakan media dihormati sebagai pilar keempat demokrasi yang diadaptasi dari Revolusi Perancis. Media, sebagai pilar keempat, adalah sebuah institusi yang dapat menyuarakan, mengkritisi, menginvestigasi, melalui kebebasan berbicara. Walaupun terkadang, keadaan tersebut dapat mengakibatkan hubungan yang kurang harmonis antara pemerintah dan media itu sendiri.

Kekahawatiran akan pengaruh media terhadap moralitas
Pengaruh yang paling berbahaya adalah konten-konten media yang berbau kekerasan dan sexualitas. Hal ini akan mengakibatkan ‘moral panic’ yang lebih banyak akan dialami oleh para remaja akibat konsumsi media yang belebihan tanpa adanya control dan filter, pengetahuan, dan kesadaran untuk memandang realitas yang dialaminya. Hal ini semakin memburuk karena remaja cenderung akan melakukan mimesis (meniru apa yang dilihat dan didengar), ditambah lagi media interaktif seperti video game membutuhkan aktivitas yang berbau kekerasan sebagaimana ditampilkan. Bahaya yang paling fundamental adalah media seolah melegitimasi konten-konten yang tidak etis untuk dinternalisasi, misalnya penggunaan kekerasan sebagai resolusi konflik, atau kurang menghormati pasangan seksual.

Kekhawatiran akan pengaruh media terhadap budaya
Konsep budaya sendiri masih dalam perdebatan, dengan adanya wacana budaya tinggi (high culture) seperti: lukisan, teater, opera, literature, dll, untuk memahaminya membutuhkan pelatihan dan pengetahuan tertentu. Sementara budaya rendah (low culture) seperti: sinetron, film-film popular, majalah, music pop, dll, dianggap merusak budaya (tinggi) yang ada.
Konsep budaya inilah yang kemudian juga berakibat pada class devided, perbedaan kelas sosial ini terjadi tidak hanya dikarenakan perbedaan ‘selera’ tetapi kemudian semakin kompleks dengan adanya stratifikasi ekonomi: kelompok kaya vs dan kelompok miskin, kelompok borjuis vs kelompok pekerja. Dimana kelompok kaya identic dengan hi-culture dan kelompok miskin identic dengan low-culture.

Media Studies: Pendekatan yang berbeda
Studi media diperkenalkan oleh Frankfurt School yang memiliki kecenderungan terhadap Marxist. Mereka berasumsi bahwa media difungsikan untuk melakukan subordinasi terhadap para kelas pekerja dan bagaimana media dipengaruhi oleh kepentingan ekonomi. Frankfurt School menilai bahwa media di Amerika merupakan ‘consciousness industry’ : yang berfungsi untuk mengontrol khalayak.
Dalam memahami media secara mendalam dibutuhkan pendekatan yang tidak sederhana, pendekatan yang dipergunakan dalam studi budaya bisa menjadi salah satu alternative pendekatan yang relevan dalam mengkaji media, misalnya : semiology dan strukturalisme.
Model komunikasi yang popular dipergunakan dalam mengajar dan mengkaji media-komunikasi adalah “who says what in which channel to whom with what effect” oleh Lasswell. Seiring berkembangnya ilmu komunikasi dan teknologi media, konsep komunikasi face-to-face kini mulai bergeser dengan ditemukannya internet dan alat komunikasi yang memungkinkan penggunanya (pengirim dan penerimanya) dapat berkomunikasi tanpa harus hadir dalam satu ruang dan waktu. Teknologi media dan komunikasi (ICT) khususnya internet telah menciptakan sebuah ruang public baru dimana mereka dapat berbagi dan berinteraksi satu sama lain tanpa harus hadir secara fisik. Oleh Marshall Mc Luhan disebut dengan konsep Global Village.
Dalam mengenalisis permasalahan media, dapat menggunakan content analysis, teknis ini lebih menekankan pada penggalian dan penilaian isi media.

Politik Ekonomi Media
Frankfurt School juga melakukan analisis media dengan menggunakan pendekatan ini. Politik ekonomi media berfokus bagaimana kekuatan-kekuatan eksternal dari ekonomi, kepemilikan media, dan kekuatan politik dapat berpengaruh pada media production. Dalam hal ini akan melibatkan siapa pemilik dan pengontrol media dan apakah terdapat legislasi pemerintah terhadap media, yang mempengaruhi output media.
Banyak wacana menemukan bahwa media dan dominasi budaya seolah menjadi dua sisi mata uang yang tidak terpisah. Dengan kata lain media akan cenderung kepada kepentingan yang ‘menguntungkan’ baik secara ekonomi dan politik. Sehingga nilai-nilai yang dipublikasikannya pun juga akan cenderung kepada nilai-nilai kelompok tertentu, kelompok yang memiliki kekuasaan. Tidak heran jika dalam praktiknya dalam masyarakat, ditemukan adanya dominasi cultural dari bangsa/kelompok tertentu, yang disebut dengan Cultural Imperialism, misalnya consumerism (budaya konsumen).
Budaya konsumen menempatkan pasar pada tingkatan tertinggi, pasar merupakan penentu sistem yang terjadi dalam masyarakat kontemporer. Sebagaimana George Gebner menyatakan, bahwa pasar akan mendorong standardisasi produk yang mengarah pada media homogenization.
Organisasi Struktural Media
Ada dua terms yang seringkali dipakai dalam konteks ini, yaitu: agenda setting, dan gatekeeping. Terminology tersebut biasanya banyak dipakai dalam dunia jurnalistik, berita, dan current affairs.
Agenda setting adalah proses dimana produsen media membangun dan memproduksi sebuah isu (agenda), yang akan dijadikan fokus pemberitaan, dan akan dipersepsikan oleh khalayak sebagai sesuatu yang layak dan penting untuk diketahui.
Sedangkan Gatekeeping adalah proses controlling apa yang sedang dibicarakan oleh media dan suara siapa yang didengar oleh media, khususnya pada acara berita.
Oleh karenanya, sebuah peristiwa belum tentu menarik untuk dijadikan bahan pemberitaan, para jurnalis memiliki kualifikasi yang disebut dengan news values/newsworthiness. News values/newsworthiness adalah elemen-elemen dari sebuah isu atau event yang membuatnya menjadi penting untuk diberitakan berdasarkan kacamata para jurnalis. Yang termasuk dalam Newsworthy feature adalah konflik, relevansi (keterkaitan), lokalitas, prominence (keutamaan), novelty (keunikan), dan magnitude (keluasan).

Analisis Tekstual dan Kajian Budaya
Kajian budaya pada mulanya dilakukan oleh Birmingham School yang tertarik dengan pendekatan literal dan sejarah seiring dengan Marxist, feminis, semiotic, dan teori structural linguistic, kemudian mengkombinasikan dengan teori-teori kritis dengan fokus politis.

(Source: MEDIA AND SOCIETY - O'SHAUGHNESSY AND STADLER-OXFORD)

0 komentar: