Bahasa dan Konstruksi Sosial dari Realitas
Konsep utama dalam bab ini adalah : Bahasa. Bagaimana bahasa dapat
membentuk sebuah realitas sosial. Beberapa poin pentingnya adalah:
1.
Manusia mengatur dan membangun kehidupan (dunia) dengan cara-cara
tertentu
2.
Mereka ‘membangun’ (construct) kehidupan (dunia) dan membangun
‘realitas’
3.
Realitas yang terbangun dinormaliasi dan dinaturalisasi
(dialamiahkan) sehingga diterima tanpa syarat (taken for granted) oleh masyarakat
4.
Masyarakat melupakan bahwa realitas tersebut telah dibangun,
dibentuk, dan hal tersebut pun dapat diatur dengan cara-cara yang berbeda-beda
5.
Kita mempelajari dunia melalui bahasa. Bahasa sangat penting dalam
pembentukan realaitas dan dalam penyampaian hasil konstruksi tersebut kepada
orang lain.
Apa yang ada dalam sebuah Nama? Politik lingustik dalam Penamaan
Terdapat 2 teori yang menjelaskan tentang korelasi antara bahasa
dan dunia nyata
1.
Reflective atau Mimetic
Teori ini
menyatakan bahwa bahasa hanya menggambarkan dunia nyata, dan memberikan sebutan
terhadap sesuatu yang telah ada. Menurut teori ini, manusia melihat dunia nyata
dengan cara yang sama, berbagi konsep yang sama, dan bahasa hanya alat untuk
mengekspresikan konsep-konsep tersebut dan dunia nyata berdiri sendiri terlepas
dari hal-hal tersebut.
2.
Constructionist
Teori ini menyatakan bahwa bahasa
tidak menggambarkan dunia sebelumnya. Tetapi bahasa membentuk/membangun dunia
nyata melalui penamaan (naming), dan membangun/menciptakan konsep melalui cara
kita memahami kehidupan dan dunia nyata. Sehingga, bahasa yang berbeda akan
mengakibatkan pemahaman (terhadap dunia nyata) yang berbeda juga. Beda bahasa
akan melahirkan arti yang berbeda.
Pandangan kita terhadap dunia seluas kapasitas bahasa yang kita
miliki. Kita tidak berbicara bahasa, tetapi bahasa yang berbicara kita. Bahasa
membentuk identitas kita, seperti hipotesa dibawah ini:
a.
Bahasa kita menentukan pikiran kita, atau
b.
Bahasa kita hanya mempengaruhi pikiran kita
Nama sebagai contoh dari konstruksi identitas
1.
Bahasa tidaklah natural
Kita
memperoleh dan memproduksi bahasa melaui interaksi dan pemahaman kita terhadap
kehidupan sehari-hari ketika kita akan mendiskripsikan sesuatu (ide, atau
benda) dan kemudian kita memberikan nama terhadapnya untuk mempermudah kita
mengingat dan menyederhanakan konsep abstrak tersebut. Penamaan dan penyebutan
tersebut (penamaan) merupakan hasil kesepakatan bersama. Walaupun secara
harfiah dan leksikal tidak keduanya tidak berhubungan. Misalnya susunan huruf: t-h-o-n-g,
deretan huruf tersebut tidak memberikan indikasi: suara, bau, bunyi, rasa yang
dapat diasosiasikan dengan sesuatu yang dapat dipakai di kaki. Di Australia
‘thong’ adalah penyebutan (nama) untuk sebuah benda yang dipakai di kaki (dalam
bahasa Indonesia disebut dengan konsep ‘sandal’). Tetapi di beberapa tempat,
misalnya di US, ‘thong’ adalah nama untuk sejenis pakaian dalam.
Maka, bahasa
dapat memiliki arti dan pemahaman yang berbeda-beda dan dapat mengakibatkan
bias.
2.
Bahasa tidaklah netral
Bahasa
membawa beberapa asosiasi, konotasi, atau nilai-nilai. Setiap penyebutan
(utterance) memiliki signifikansi pada nilai rasa, misalnya ‘up’, ‘top’ dan
‘right’ dipersepsi secara positif, sebaliknya ‘down’, ‘bottom’, dan ‘left’
membawa konotasi yang negative. Jika dikaitkan dengan kepercayaan dan mitos,
contohnya: ‘left-hand’ merupakan bagian tubuh yang ‘kotor’ atau ‘jorok’ bahkan
diasosiasikan dengan setan, karena setan memiliki tangan yang kidal. Sedangkan
‘right-hand’ cenderung dipakai untuk mengerjakan aktivitas yang baik: makan,
menulis, bersalaman, dll. dan sebagai symbol kesopanan.
Dalam dunia
politik, bahasa sangat krusial untuk memberikan label kepada kelompok,
aktifitas, ide, dll. misalnya: teroris, ‘ilegal’, ‘pengungsi’, ‘subversif’,
dll. Pemberian label/istilah secara signifikan akan mempengaruhi posisi dari
objek yang dikenai. Sehingga akan berdampak pada perlakuan yang akan
diterimanya. Sangat jelas bahwa bahasa memiliki tendensi dan pretensius
tergantung siapa yang memakai dan untuk tujuan apa.
3.
Bahasa adalah arena perubahan dari kekuatan dan perjuangan
Arti dan
asosiasi yang dimiliki oleh bahasa dapat berubah seiring waktu. Perubahan
tersebut dapat dianalisa dari konteks sejarah dan budaya. Misalnya:
‘lady’
memiliki nilai lebih terhormat dibandingkan dengan ‘woman’
‘queen’
adalah sebutan untuk perempuan bangsawan pendamping raja di kerajaan. Namun
seiring perkembangan jaman, sebutan ‘queen’ digunakan untuk mendiskripsikan dan
merendahkan laki-laki homoseksual. Mereka kemudia berjuang melalui media dan
bahasa untuk memantaskan kembali ‘queen’ dan ‘queer’ menjadi sebutan yang
berkonotasi positif. ‘Queer theory’ kini menjadi bagian dari media dan cultural
studies. Artinya, baik sebutan (nama), maupun keseluruhan ide yang terkandung
di dalam terminology tersebut telah ‘diterima’ dan ‘dilayakkan’ sebagai sesuatu
yang eksis.
Sebutan
‘grrrl power’ lahir dan berkembang sering dengan berkembangnya budaya perempuan
di media, yang ditokohkan oleh perempuan-perempuan ‘kuat’ misalnya: Angelina
Jolie dalam film Lara Croft, Spice girl, Britney Spears, Halle Berry dalam film
Cat woman, dll. ‘grrrl’ menggambarkan perempuan yang berdaya, mandiri, dan
berani.
Dalam dunia politik, contoh yang
paling mudah adalah penjajahan yang menggunakan bahasa oleh Bangsa Inggris. Dibeberapa
negara, misalnya Kenya, semua warga negara wajib belajar dan menggunakan bahasa
inggris, dan melarang penggunaan bahasa lokal/bahasa ibu. Ini menunjukkan
dominasi dan imperialism bangsa Inggris untuk menguasai budaya dan bangsa
Kenya.
(Source: MEDIA AND SOCIETY - O'SHAUGHNESSY AND STADLER-OXFORD)
0 komentar:
Posting Komentar