Teori Poskolonial


Teori Poskolonial atau  teori Pasca Kolonial merupakan respon dari penjajahan yang dilakukan oleh negara-negara Eropa terhadap negara-negara dunia ketiga, seperti Afrika dan Asia. Asumsi utama dari teori Poskolonial adalah menawarkan sebuah framework untuk menganalisa dan memahami lebih dalam tentang penindasan manusia, sama halnya dengan teori-teori yang lain: Feminism, Queer (gay and lesbian), dan Marxism (Tyson, 1999). Namun, karena Poskolonial ini timbul karena penjajahan, maka opresi (penindasan) dalam konteks ini merupakan dominasi politik dari suatu populasi tertentu.

Framework yang dibangun oleh Poskolonial meliputi bagaimana ideologi para penjajah beroperasi secara politik, sosial, budaya, dan psikologi, terhadap kelompok jajahannya. Melakukan hegemoni dan menekan kelompok terjajah untuk menginternalisasi nilai-nilai kaum penjajah. Disisi yang lain, Poskolonial juga menampilkan bagaiman upaya resistensi yang dilakukan oleh kaum yang terjajah untuk melawan opresi yang dialaminya.
Meskipun para penjajah telah hengkang dari tanah jajahan yang mereka kuasai bukan berarti mereka tidak meninggalkan ‘harta karun’ yang melekat amat dalam bagi kaum yang pernah mereka jajah: cultural colonisation. Cultural colonisation adalah nilai-nilai budaya yang diajarkan secara terus menerus oleh kaum penjajah karena mereka menganggap bahwa kaum terjajah tidak memiliki budaya yang tinggi seperti yang mereka miliki dan memandang rendah budaya lain. Para ex-penjajah ini telah meninggalkan warisan psikologis pada kaum jajahannya: self-image yang negatif dan alienasi dari budaya asli mereka yang sekian lama dilarang dan tidak dianggap bernilai.
Koloni berasal dari bahasa Latin “colere” yang artinya menanam, menggarap, membiakkan. Secara harfiah dapat didefinisikan sebagai sekumpulan manusia di suatu tempat yang secara politis dikuasai sepenuhnnya atau sebagian oleh kelompok/negara lain. Kolonisasi dapat dijelaskan sebagai proses pendudukan oleh suatu bangsa atas bangsa yang lainnya dengan melakukan dominasi politik, sosial, dan budaya.
Superioritas kaum penjajah ini dicerminkan dari teknologi yang mereka ciptakan dan miliki, mereka memandang dirinya beginilah seharusnya peradaban manusia. Kesenjangan yang diciptakan didasari etnosentrisme (Eurocentrism) yang mengklaim bahwa penduduk asli (kaum terjajah) adalah kaum barbar yang tidak memiliki peradaban, tidak memiliki sistem pemerintahan, agama, dan adat istiadat. Oleh karena itu, kaum tersebut harus ‘diberikan peradaban’. Penghakiman kepada semua yang berbeda dengan apa yang mereka miliki melahirkan konsep othering, yaitu antara “us” (kita) dan “them” (mereka), dimana “us” lebih superior dari “them”.
Kecenderungan yang hampir selalu muncul dari sebuah penjajahan adalah banyak dari orang-orang terjajah yang meniru perilaku penjajahnya, misalnya dalam konteks pakaian, ucapan, kebiasaan, dan gaya hidup. Poskolonial menyebut fenomena ini sebagai mimikri. Upaya ini dilakukan agar diterima oleh budaya kolonial yang dimiliki oleh kaum penjajah, selain itu juga disebabkan oleh ketidakberdayaan kaum terjajah karena mereka telah terprogram sebagai kaum yang inferior. Hal ini yang kemundian oleh Poskolonial digarisbawahi sebagai konsep double consciousness atau double vision. Yaitu bagaimana seseorang terjebak dalam dua budaya yang berbeda: budaya kolonial dan komunitas asli. Keadaan tersebut melahirkan sebuah perasaan asing di negeri sendiri (unhomed).

Source:
Tyson, Lois., Critical Theory Today. 2006. Routledge: New York

3 komentar:

082115436791 mengatakan...

O, my God. Indeed the atractive explanation. Thank for you. Good luck!

082115436791 mengatakan...

Wow. Very atractive. Indeed the amaging explanation. Good luck.

Unknown mengatakan...

thank you so much for reading :)