Are You belong to Creative Class? : Sebuah Resensi


Konsep Creative Class diteliti dan kemudian dipopulerkan oleh Richard Florida dalam bukunya yang berjudul The Rise of Creative Class. Poin pertama formasi Creative Class ini dimulai dari berakhirnya masyarakat industri menuju masyarakat informasi. Perubahan struktur masyrakat ini mengakibatkan perubahan dalam upaya (struggle) yang dilakukan oleh kelompok masyarakat untuk dapat mempertahankan hidupnya (survival). Richard Florida menegaskan bahwa kreativas itu tidak dimiliki sejak lahir (inborn) tetapi diraih (achieved), maka setiap manusia dapat menjadi kreatif. Secara konseptual Florida menyebut kemampuan dalam menciptakan ide-ide baru, teknologi baru, model bisnis yang baru, bentuk-bentuk budaya baru, dan semua yang berhubungan dengan pengembangan industri yang baru disebut sebagai Creative Capital.


Unsur-Unsur Creative Class
Lebih lanjut Florida mengajukan argumentasinya bahwa untuk dapat disebut sebagai Creative Class harus memiliki 3 kualifikasi (3T), yaitu: Technology, Talent, Tolerance; ketiganya merupakan key drivers dalam mendorong pertumbuhan ekonomi.
T yang pertama adalah Technology. Dikutip dari Paul Romer yang berasumsi bahwa pertumbuhan adalah proses yang terus menerus, yang didasari pada akumulasi dan eksploitasi pengetahuan manusia. Sehingga teknologi memegang peranan penting dalam pertumbuhan ekonomi.
Talent, merupakan pengejawantahan dari sumber daya manusia yang berdaya, tidak hanya memiliki kemampuan dan keterampilan saja, namun secara nyata mampu diaplikasikan dalam karya-karyanya. Secara konseptual disebut sebagai human capital. Lucas, dkk berargumen bahwa kuantitas sumber daya manusia merupakan modal dalam meningkatkan produktivitas ekonomi karena dapat mengkombinasikan energi kreatif dari penduduknya.
Ketiga adalah Tolerance, Florida menegaskan bahwa sikap toleransi tidak hanya sekedar mampu menerima perbedaan dari orang lain, yang lebih penting adalah bagaimana menciptakan keadaan yang lebih terbuka dan inklusif. Pelibatan aktif masyarakat sangat penting sehingga dukungan dan kerjasama yang kondusif dapat terbangun dengan masing-masing pihak.

Creative Class Values
Richard Florida menjelaskan bahwa basis dari Creative Class adalah ekonomi. Di dalam Creative Class terdiri dari orang-orang yang menambahkan nilai-nilai ekonomis ke dalam kreativitasnya. Namun yang lebih penting dari definisi Creative Class adalah bagaimana orang-orang kreatif ini mampu mengatur diri mereka di dalam kelompok sosial dan identitas umum yang secara prinsipil berdasarkan pada fungsi-fungsi ekonomi. Florida menambahkan bahwa Creative Class memiliki nilai-nilai yang sama (shared values) untuk dikomunikasikan dalam hal preferensi sosial dan budaya mereka, kebiasaan belanja dan konsumsinya, dan identitas-identitas sosialnya yang lain.
Jika berbicara kelas ekonomi tentu tidak akan jauh dari konsentrasi Marxist yang menempatkan ekonomi sebagai basis utama, sedangkan bidang-bidang lain (budaya, politik, agama, dll) adalah super-structurenya. Marxist melihat kaum kapitalis yang memiliki kontrol atas produksi dan properti (alat produksi dan pekerja), Creative Class memiliki sense yang berbeda dalam hal mengontrolan propertinya. Properti mereka – yaitu intellectual property (IP) – bersifat intangible karena kesemuanya berada di otak mereka.
Secara empiris Florida membagi dua major sub-components pada Creative Class: Super Creative Core dan Creative Professional. Kelompok pertama terdiri dari orang-orang yang bekerja pada bidang kerja yang berhubungan dengan matematis, komputer, pendidikan, seni, desain dan media. Sedangkan kelompok yang kedua cenderung mengarah pada bidang manajemen, business and financial operations, legal dan pelayanan kesehatan, hi-end sales, dan manajemen pemasaran.
Creative Class dinilai sebagai kelompok yang terdidik dan kreatif. Orang-rang pada Creative Class menambahkan nilai-nilai tertentu pada kreativitasnya dan mereka dihargai secara finansial dari output kreativitasnya. Singkatnya, Creative Class merupakan lokomotif perekonomia. Secara khusus mereka memiliki keunikan dan karakteristik yang berbeda dari kelompok sosial yang lainnya karena mereka memegang nilai-nilai berikut:
a.      Individuality
Orang-orang dalam Creative Class memiliki kecenderungan untuk bersifat individualis. Artinya, mereka tidak memiliki keinginan yang tinggi untuk terlibat dengan sebuah organisasi atau institusi. Mereka memiliki self-esteem yang cukup tinggi dan bisa dikatakan eksentrik.
b.      Meritocracy
Meritocracy dapat dijelaskan sebagai sebuah kondisi psikologis yang dimiliki oleh orang-orang dalam Creative Class. Mereka sangat menyenangi kerja keras, tantangan, dan stimulasi. Mereka memiliki kecenderungan untuk meraih target dan pencapaian yang telah dibuat. Sehingga mereka akan terus berusaha untuk maju dan berkembang menjadi yang terbaik dari apa yang telah mereka lakukan. Ambisi-ambisi inilah yang kemudian mendasari perjuangan dan kerja keras mereka dalam berkarya. Selain itu, mereka selalu termotivasi oleh teman-teman sebayanya.
c.       Diversity and Opennes
Nilai penting yang dimiliki oleh Creative Class adalah mampu beradaptasi dengan keanekaragaman dan memiliki keterbukaan terhadap perbedaan, tekanan, dll. Orang-orang dalam Creative Class cenderung menyukai lingkungan kerja yang dapat menerima setiap orang dan mendorong mereka untuk terus maju. Mereka tidak lagi mempermasalahkan perbedaan etnisitas, orientasi seksual, dan membebaskan perasaan mereka. Beberapa diantara mereka malah memiliki kebiasaan-kebiasaan aneh atau bahkan gaya berpakaian yang ekstrem.
Selain nilai-nilai yang telah dijelaskan diatas, Creative Class masih memiliki beberapa ciri dan tipikal dilihat dari cara berpakaian (dresscode), fleksibilitas jam kerja, pengaturan workspace pada tempat kerja, serta bagaimana mereka mempersepsi sebuah pencapaian dari pemanfaatan kreativitas yang mereka miliki.
Jika pada umumnya pekerja profesional yang bekerja di kantor identik dengan jas, kemeja, dasi, dan celana bahan. Berbeda dengan pekerja kreatif, mereka terlihat sangat casual. Beberapa diantaranya lebih menyukai celana jins dan t-shirt. Perubahan dalam berpakaian ini ternyata membawa dampak pada revolusi fesyen yang terjadi di Amerika. No-collar dresscode yang dipopulerkan oleh Creative Class ini akhirnya menjadi sebuah fashion-style serta atribut untuk menunjukkan identitas kelas mereka.
Dalam jam kerja, Creative Class tidak mengenal 8 am – 5 pm office hour. Mereka juga tidak terikat aturan kapan harus istirahat dan kapan harus mulai bekerja. Faktor inilah yang membedakan profesi mereka dengan working class yang pada umumnya sangat ketat dalam penjadwalan jam kerja. Ini bukan berarti bahwa orang-orang Creative Class tidak disiplin dan susah diatur. Hal ini karena ide dan kreativitas tidak dapat diatur sesuai dengan keinginan. Oleh karena itu, Creative Class ‘diberikan’ kelonggaran jam kerja selama mereka dapat menyelesaikan projek yang dibebankan sesuai dengan deadline yang telah ditetapkan. Selain itu, beberapa perusahaan besar seperti Microsoft memberikan ‘kebebasan’ kepada para pekerjanya dan mendorong mereka untuk tidak takut gagal. Menyelesaikan pekerjaan diluar kantor sangat memungkinkan untuk kondisi saat ini karena didukung oleh teknologi komunikasi dan informasi seperti internet, komputer, laptop, handphone, dll.
Dari segi pengaturan tempat kerja, Creative Class umumnya memiliki selera yang lebih kontemporer dengan traffic-oriented. Secara interior, lebih banyak ruang terbuka dan terlihat serta mudah terakses oleh siapapun, daripada ruang tertutup dan terkunci. Memiliki atap yang relatif tinggi dengan saluran udara yang lebar, memungkinkan adanya sirkulasi udara yang baik serta memperlihatkan pemandangan luar kantor. Hal ini juga mengurangi penyinaran langsung karena memanfaatkan cahaya matahari dari luar. Pemilihan furniturnya artistik dengan dekorasi modern. Tersedia banyak tempat untuk ‘hang out’ untuk me-refresh kembali pikiran, serta dapat dipakai sebagai tempat sharing dan diskusi.
Seperti yang telah disinggung pada poin sebelumnya bahwa orang-orang pada Creative Class menjual kratifitasnya untuk mendapatkan keuntungan finansial. Namun, yang lebih penting adalah bagaimana hubungan kerja yang tercipta antara perusahaan dan Creative Class yang bekerja di dalamnya. Tentu hal ini terkait dengan apa yang menjadi pencapaian para orang-orang kreatif ini.
Berbeda dengan para pekerja pada umumnya (working class), orientasi karir mereka didasarkan pada kebutuhan dan hasrat masing-masing pribadi. Jika orang-orang pada working class bekerja untuk uang, jaminan keselamatan, dan identitas mereka terbentuk saat bekerja di suatu perusahaan. Lain halnya dengan Creative Class, meskipun mereka bekerja dengan upah, namun mereka membutuhkan fleksibilitas untuk mengejar kepuasan yang mereka inginkan. Mereka rela meninggalkan gaji besar, keselamatan, untuk pindah ke perusahaan lain demi sebuah otonomi dan kemerdekaan untuk meraih pekerjaan dan aktivitas yang mereka sukai. Motivasi diri dan personal autonomy di tempat kerja terikat secara bersamaan dengan fakta bahwa Creative Class tidak mengambil identitas dari perusahaan dimana mereka bekerja. Sebaliknya, identitas mereka terbentuk dari apa yang mereka kerjakan, dari profesi, gaya hidup, dan komunitas dimana mereka hidup.

Source: Richard Florida “The Rise of Creative Class”

0 komentar: