Companioship


Kamu bertanya padaku tentang apa yang paling berharga dalam hidupku, companionship, jawabku.
Seperti malam ini, masih seperti yang lalu-lalu, tidak ada yang baru dari percakapan sederhana dalam 2x60 menit bersamamu ditemani secangkir penuh kopi panas dan setengah rindu. Seperti biasa kamu menanyakan apakah aku sehat-sehat saja, kujawab bahwa aku selalu mendapatkan kondisi terbaikku saat detik pertama aku berbicara denganmu. Selalu.
Dan kamu pun tergelak.
Sempat aku berpikir bahwa kamu itu dukun atau keturunan cenayang. Karena aku seolah terhipnotis untuk terus berada di dekatmu. Aku tidak sanggup untuk diam ketika berhadapan denganmu. Selalu ada saja hal-hal yang ingin aku bagi denganmu, dari pancake yang baru saja aku santap sampai dengan berita terbaru Antasari Azhar yang kembali menggugat. Ah…kamu itu benar-benar punya magic!
Companionship. Kamu mengulang jawabanku.
Perkawanan, aku menemukan kata itu beberapa tahun yang lalu ketika aku membaca sebuah novel yang ditulis oleh Nova Riyanti Yusuf, judulnya Libido Junkie, kalau tidak salah ingat. Aku berpikir bahwa setiap orang pasti membutuhkan kawan dalam hidupnya. Menginginkan seorang teman dalam perjalanan hidup yang dijalaninya. Siapapun itu.
Sebuah keluarga. Kutegaskan.
Kemudian kupahami bahwa dalam perkawanan ada nilai-nilai yang hampir sama dengan apa yang kuyakini. Salah satunya adalah kesetaraan.
Kulihat matamu berbinar, dan kamu tersenyum. Aku tidak berani berspekulasi untuk menebak makna dibalik senyummu yang hanya sekilas itu.
Iya. Kesetaraan. Awalnya aku ragu dan sedikit khawatir ketika mengucapkan kata itu. Khawatir kalau-kalau kamu terintimidasi dan menyerangku dengan teori-teori ilmiah, dalil agama, atau yang lebih menakutkanku adalah ego patriarkhimu. Kesetaraan, seolah-olah itu mantra berbahaya yang bisa mengurangi kesaktian kaummu. Mungkin.
Kesetaraan luas. Kulanjutkan.
Yang lebih penting adalah kesetaraan dalam berkomunikasi. Jika dalam komunikasi saja tidak seimbang, mana bisa sebuah hubungan dapat berkembang dengan sehat? Kemudian aku bercerita tentang bagaimana pola komunikasi yang terjalin antara aku dan ayahku. Walaupun kami tumbuh dalam generasi yang berbeda, status yang berbeda, gender yang berbeda, namun ayah selalu menempatkan aku dalam posisi yang sejajar. Ayah tidak pernah menggunakan dominasi posisinya, baik sebagai laki-laki ataupun sebagai pemimpin keluarga untuk memaksakan kehendaknya padaku. Kalau pun beliau berposisi sebagai orang yang lebih ‘tinggi’ di keluarga, itu karena ayah memang lebih berpengalaman dalam kasus-kasus dan keadaan-keadaan tertentu. Kami berusaha saling memahami isi kepala masing-masing. Dengan demikian, kami dapat saling belajar. Saling menghormati.
Bagiku, kesetaraan sangat dibutuhkan sebagai pondasi membangun kompromi. Sebuah konsensus yang adil tidak akan pernah terwujud jika salah satu pihak memaksakan kehendaknya dengan menggunakan dominasi predikatnya. Kondisi yang paling tertekan adalah ketika kita melakukan dan mengerjakan sesuatu yang tidak kita butuhkan. Dan aku tidak ingin sisa hidupku aku habiskan dalam keadaan tertekan.
My life is my choice.
Lalu aku bertanya, apa hak asasi yang paling asasi?
Hak untuk memilih. Hak untuk menentukan apa yang akan kita putuskan untuk hidup kita.
Kamu mengangguk.
Itulah kamu, kamu selalu berhasil mengorek-korek dan mampu mengeluarkan semua isi kepalaku tanpa ada yang bisa aku sembunyikan. Kamu sangat ahli untuk membuatku mengaku. Jangan-jangan kamu adalah seorang intel yang sedang menyamar?
Aku masih menatap matamu, ada sedikit ketakutan dalam diriku. Dalam hati aku berdoa semoga kamu masih mau mendengarkan penuturanku. Menyimak dengan bijak penjelasanku. Aku bersyukur ternyata kamu menyadari bahwa aku sedang khawatir kehilangan atensimu, paling tidak dalam waktu beberapa menit kedepan. Aku tidak sedang memujimu, tapi harus aku akui bahwa kemampuanmu menjadi seorang pendengar memang mengagumkan, kamu tidak hanya mampu mendengarkan apa yang kuucapkan, tetapi kamu juga mampu memahami apa yang aku pendam tanpa aku harus berbahasa verbal.
Aku tidak ingin menjalani sisa hidupku sendirian, Sayang. Aku menatapmu.
Aku dan kamu terdiam.
Kamu tersenyum lagi. Namun kali ini aku tahu bahwa aku tidak harus meneruskan celotehku yang ngalor ngidul soal companionship karena sepertinya kamu sedang menata kalimat untuk mengomentari isi kepalaku.
Relationship itu mirip mesin ya... Kamu membuka kalimat.
Sesaat aku berpikir untuk mencerna. Aku mencoba menghubungkan latar belakang referensimu sebagai orang teknik dengan kalimat yang baru saja kamu ucapkan.
Keduanya butuh perawatan, manajemen, dan bisa kita modif sesuai dengan keinginan kita. Relationship juga bisa rusak jika kita tidak bijak mengoperasikannya. Kamu melanjutkan.
Relationship bisa korslet juga kalau tegangannya beda. Makanya perlu di-step-up atau di-step-down. Dua-duanya musti saling menyeimbangkan. Komentarku.
Companionship. Kamu mengangguk lagi.
Ya. Companionship. Kesetaraan. Keseimbangan. Aku juga mengangguk.
Sebetulnya itu hanya istilah, terminologi untuk menandai konsep yang sebetulnya sudah ada. Apapun istilahnya, dari mana asal teorinya, aku tidak terlalu peduli. Kamu selalu melihat peta buta dalam kepalaku dengan sangat terang benderang. Bahkan tak pernah terbayangkan olehku bahwa aku akan mendapatkan sebuah analogi yang sangat sederhana dari runutan paparanku.
Keterbukaan pikiran, kedewasaan, dan ketenangan adalah jurus ampuhmu hingga  mampu menggiringku untuk membuat pengakuan dua kali tanpa perlawanan.
Harus kuakui bahwa kamu adalah seorang teknisi handal yang mampu membuat mesin tidak sampai korslet. Kamu juga seorang manajer jenius dan ahli maintenance hingga membuatnya jadi awet.
Aku tidak punya alasan lagi untuk tidak menjadikan kamu sebagai kawan yang bisa saling menyeimbangkan.


“You always bring my faith back when I’m lost. Now, you teach me how to redefine what love is. It is about equalities”

0 komentar: