tanpa makna
perlahan ku lepas semuanya
yang ku yakini adalah
bahwa segalanya telah memiliki alurnya sendiri
pertemuan
perpisahan
menjadikanmu sebagai sebuah episode yang tak terlupakan
itu saja
terimakasih

Where We Are dan Sebuah Afirmasi


Setelah lama tidak terdengar dalam pertarungan industri musik internasional, group vocal asal Irlandia ini kembali dengan album terbarunya Where We Are. Sejenak jika kita menyimak lagu-lagu di dalammya akan langsung dapat mengenali warna vokal Shane, Marx, Nicky, dan Keane. Meskipun demikian, dominasi Shane dan Marx masih kental dalam beberapa single yang ditawarkan. Westlife mengingatkan saya dengan era tahun 1990 akhir, dimana boyband-boyband dari Amrik dan Inggris merajai tangga lagu, baik di Indonesia maupun di kancah Internasional. Sejujurnya saya bukan penggemar boyband. Namun ketika saya mendengarkan salah satu single andalan Westlife di album ini, How to Break a Heart, saya memiliki kesan tersendiri. Musik mereka lebih rapi, vokal aransemennya lebih matang, dan pemilihan hits dan lagu yang diusung juga mengalami banyak perkembangan. Vocal Marx yang khas memberikan improvisasi yang apik pada album ini. Selain itu, jika dahulu Westlife identik dengan lagu-lagu cover version, kini mereka lebih percaya diri dengan menghadirkan lagu-lagu baru di albumnya. Secara keseluruhan, lagu-lagu di album ini cukup easy listening, beberapa lagu yang mungkin memiliki kans yang bagus untuk bersaing misalnya Leaving, lagu ini memiliki atmosfir yang sangat kuat dan warna yang sangat tajam. Kesan yang hampir sama dapat juga ditemukan pada lagu No More Heroes. Meskipun mereka masih setia dengan tempo-tempo moderat dan cenderung lambat, namun ternyata disitulah letak kekuatannya. Kualitas vocal Westlife teruji disana dan menjadi salah satu afirmasi bahwa mereka masih eksis dan layak diperhitungkan bersanding dengan musisi-musisi lainnya. Well, good job guys!

hidup itu (bukan) pilihan


Hidup itu pilihan…pernyataan itu sering kali kudengar. Namun jujur, aku tidak benar-benar memahami makna filosofis di dalamnya, karena menurutku hidup itu tidak lebih dari sebuah permainan. Tidak benar-benar mutlak pilihan…
Kalau hidup itu pilihan, sejujurnya aku tidak memilih untuk menjadi manusia setengah siluman seperti ini. Kalau aku boleh memilih, mungkin alangkah lebih baik jika saja aku terlahir dengan penis di tubuhku.
Aku dijebak oleh hidup.
Aku ingat sekali, masih jelas terekam di benakku, aku pernah benar-benar memiliki hidupku sediri, dunia yang kunikmati dengan semua tokoh dan konflik yang kuciptakan sendiri. Karena memang sebenarnya aku lebih nyaman dengan diriku, image yang melekat pada tubuhku.
Tapi ternyata hidup memang penuh intrik, licik dan palsu. Kalau kebanyakan manusia dituntut untuk belajar dari hidup, kalau aku sebaliknya, aku yang akan memberi pelajaran pada hidup. Bukan jumawa. Tapi aku terkondisikan. Bukan pembenaran. Tapi inilah caraku untuk bertahan.


I dedicate this writing to my beloved sista: dYa,Hei...maybe it is a fault of faulty manufacturing, huh?!? !!

take your time


Kubuka jendela kamarku yang terletak di lantai 6 sebuah hotel di bilangan Kemayoran. Hujan masih menyisakan kebekuan semalam. Jam 9 lebih 24 menit. Pagi hari di Jakarta.
Kemarin kamu masih tertawa dan menanyakan kabarku di telepon. Kamu tahu bahwa aku akan menjawab ’baik-baik saja’ walaupun kaupun tahu bahwa aku masih terluka atas peristiwa itu. Entah kamu memang mempercayai pengakuanku ataukah malas membahas dan tidak lagi peduli dengan segala pertanyaan di dalam benakku yang belum sepenuhnya terjawab.
Kamu itu sebuah puzzle yang terfragmentasi. Hanya kepingan-kepingan dirimu yang kukenali tanpa mampu kupahami bahwa kelak apakah bagian itu yang akan menggenapimu. Tiada lagi yang tersisa kini. Walaupun kusadari bahwa kau pun tanpa sengaja memporak-porandakan tatanan bagian yang dengan susah payah kucari dari dirimu yang sampai kini masih menjadi misteri bagi hidupku.
Kamu itu danau yang beku yang hanya mampu kupandangi dengan penuh ketakjuban. Tidak ada ekspektasi berlebih ketika kutapakkan kakiku di beriak air sejukkmu, tidak ada sedikitpun keinginanku untuk mengganggu tidur damaimu. Terima aku di duniamu, itu saja.
Kutuang segelas air dingin perlahan, kunikmati dirinya mengaliri kerongkongan. Masih kupandangi jalanan pagi yang mulai ramai oleh kendaraan yang melintas. Ritual pagi yang kusuka, menatap air langit.
Beberapa hari yang lalu aku masih mendengar kau bercerita tentang petualangan yang kau impikan. Traveling dan menjadi seorang backpacker. I wish I had enough time to pay your precious moment. Tidak ada yang lebih menyenangkan selain traveling dan menghabiskan sebuah perjalanan panjang bersamamu. Menikmati malam dari stasiun satu ke stasiun yang lain. Mereguk secangkir kopi hitam yang mulai berampas sembari mengenang setiap detik yang kita lewati. Kamu tahu bahwa aku bermasalah dengan kopi, tetapi aku yakin organ biologisku tidak akan protes lagi karena menikmati secangkir kopi bersamamu adalah salah satu terapi maag mujarab. Akan ada saja topik yang dapat kita jadikan bahan obrolan, tukang lumpia yang suka teriak-teriak saat kita transit di stasiun Solo, rasa makanan yang terkadang asing di lidah kita, sampai hujan yang terus mengguyur kita dan kita terdampar menggigil di stasiun Gambir menunggu kereta ke bogor.
Pagi ini. Aku masih sama seperti kemarin dan hari-hari sebelumnya. Memikirkan kamu. Beradaptasi dan berkompromi dengan hidupku, dengan keputusan dan konsekuensi yang aku ambil. Keputusan atas kamu. Aku tidak bilang bahwa aku menyerah atas kamu, tidak. Aku hanya mencoba memberi ruang yang lebih longgar untukku bernafas. Hanya capek memanipulasi otak, capek berpersepsi dan aku juga ingin kaupun tahu bahwa aku bukan cenayang yang dapat membaca pikiranmu. Aku terbatas.
Sekarang, kau ku biarkan menyusun kepingan-kepinganmu sendiri hingga aku paham, gambar apa yang ingin kau tunjukkan padaku. Take your time...I’ll give you a break to see what you wanna see. And so do I…

(dedicated to someone who teach me how to flying without wings)

Sebuah Janji dan Janda Muda


Ia masih mengenakan kerudung berwarna jingga yang ia kenakan pada hari ia melihat seseorang yang ia kasihi harus pergi meninggalkannya tanpa suara. Sesak di dalam relung hatinya masih menyisakan perih dan perasaan yang ia sendiri tak pernah pahami. Ia tahu bahwa semua ini adalah proses yang tak dapat ia hindari, ia pedih, ia menangis dalam keheningan dukanya. Disadarinya bahwa ini adalah sebuah fase yang telah menjadi bagian dari perjalanan panjang yang mungkin akan berakhir. Atau diakhiri.

Ia sematkan sekuntum melati pada rambutnya, ditatapnya sekali lagi binar yang telah mengajarinya berair mata beberapa tahun belakangan. Ia tersenyum memandang perempuan berkerudung jingga dihadapannya, kemudian ia memejamkan mata mencoba melebur dalam haru biru jiwanya... ada aliran hangat mengalir di sela-sela buluh nadinya, nafasnya tak lagi memburu, dan ketenangan itu terpancar kala ia mengusap lembut jemari yang merengkuh wajah sendunya. ”aku hanya ingin dipahami, itu saja” ujar perempuan berkerudung jingga itu.

Jemari itu akan selalu sama, kehangatan kasih sayang itu tidak pernah berubah dari pertama kali ia berjabatan tangan. Tatapan mata itu selalu teduh dan mendamaikan jiwanya yang bergejolak bertandatanya. Ia menyadari bahwa dalam kondisi apapun, jemari dan tatapan teduh itu akan selalu ada buatnya. Karena dia setia, dia akan siap menjadi tong sampah-yang-tak-pernah-penuh untuknya. Mendengarkan sumpah serapah yang membabi buta sampai dengan pujian yang mengharu biru.
Jemari itu tidak pernah bersuara, tatapan teduh itu hanya mengajarkan satu bahasa yang hanya mereka berdua yang memiliki sistem monolingualnya. Mereka tidak perlu men-step-up atau men-step-down tegangan, karena mereka percaya bahwa perbedaan itulah sumber percikan yang membuat mereka semakin memahami warna dan keunikan masing-masing. Hidup ini indah karena perbedaan.
Jemari itu telah menemukan tempatnya yang nyaman, menemukan fungsinya yang lain. Masih ditatapnya wajah yang direngkuhnya seolah dia ingin menempatkannya pada selaput di dalam matanya sehingga dia tidak lagi kehilangan bayangannya. Dibelainya bibir yang kini hanya terkatup bisu. ”Tidak perlu berikrar untuk bersamaku”


special thanks: Enigma, for ‘The Screen behind the Mirror’

Gebrakan Baru Disney dalam The Sorcerer’s Apprentice


Disney Corp. come back !. Dalam film terbarunya yang berjudul Sorcerer’s Apprentice, Disney menggandeng aktor legendaris Nicholas Cage untuk membintangi film drama (komedi) ini. Film ini berkisah tentang seorang penyihir, Balthazar (Cage) yang mencoba menyelamatkan dunia dari kehancuran akibat kebangkitan kembali seorang penyihir jahat bernama Morgana le Fay(Alice Krige). Satu-satunya cara untuk menghancurkan Morgana adalah Balthazar harus menemukan seorang murid titisan Merlin, yang disebutnya Prime Merlinean (Merlinean Utama) yang diperankan oleh seorang aktor pendatang baru Jay Baruchel seperti layaknya film sihir, film ini juga mengingatkan kita pada film serial Harry Potter, The Cronichels of Narnia, dan Eragon. Balas dendam dan roman masih menjadi tema menarik untuk dikisahkan. Yang unik dari fillm ini adalah, selain alur cerita yang cukup rapi dan ringan, setting tempat yang diambil adalah masa kini kehidupan modern, yaitu menampilkan sisi kota New York dengan crowd-nya. Ini yang membedakan film ini dari Harry Potter dan film-film sihir lainnya yang selalu menampilkan era jaman pertengahan (renaissance). Sebagai konsekuensinya, film ini cukup lihai mencari benang merah tanpa mengurangi sisi entertanment-nya, yaitu dengan memasukkan unsur fisika (ilmiah) sebagai tantangan dalam menjelaskan ilmu sihir. Pemilihan karakter tokoh yang pas dan konflik yang terbangunpun juga mampu mengalir dengan smooth sehingga penonton mampu terbawa dalam emosi yang tervisualisasi. Selain itu, unsur komedi yang ditambahkan juga tepat sasaran yang membuat film ini terkadang menggelikan. Kehadiran Alfred Molina sebagai tokoh antagonis disini juga memberikan tensi yang berbeda dalam setiap scene. Good Job !!!

Dari sekian film yang saya tonton dalam sebulan ini, baru film Sorcerer’s Apprentice yang menurut saya paling entertaining, kecuali bila anda ingin mendapatkan film dengan kesan yang berbeda. Namun bila anda menginginkan sebuah tontonan ringan, menghibur, dan no hard feeling sesudahnya, saya merekomendasikan film ini sebagai must-see movie J. Jangan lupa bawa cemilan ya.... Enjoy!!!

Badai Serotonin


Tanah itu masih basah. Aroma itu sangat khas tercium di hidungnya. Egi hafal benar dengan bau itu. Bau yang mengingatkannya pada seseorang yang sekarang telah berlalu. Dan waktu telah menggilas semuanya tanpa tersisa, kecuali kenangan yang masih utuh tersimpan di kepalanya. Kenangan yang hanya ia bagi dengan dirinya sendiri. Betapa hidup sangat tidak adil, batinnya.

Egi sayang,

Aku tau saat ini engkau tidak sedang memikirkan aku. Aku tahu bahwa saat ini pikiranmu masih terbelenggu bayang-bayang itu. Aku telah mengetahui semuanya bahkan sebelum kamu mengetahuinya.

Satu dekade bukan waktu yang sebentar buatku. Banyak hal yang telah terjadi dan terbangun di sana, harapan, cita-cita, hasrat, dan kasih sayang. Dan kamu mengetahui, bahwa aku memilih untuk menjalaninya disini, bersamamu.

Egi sayang,

Aku telah kehilangan kata dan bahasa untuk mengungkapkan batapa aku sangat terluka, kecewa, dan marah. Entahlah, apakah seharusnya aku marah padamu atau padanya...atau pada diriku sendiri. Aku sedang hilang, Egi...

Sejujurnya aku benci memiliki perasaan ini, namun aku juga sangat membenci kejujuranmu. Jauh sebelumnya aku berkata pada diriku bahwa aku telah mempersiapkan segalanya untuk perjalanan kita. Bahkan aku telah siap jika memang aku harus melepaskanmu. Aku menyadari bahwa aku bukanlah seseorang kekasih yang kau impikan. Aku tidak bisa memberikan sesuatu yang kau inginkan sebagaimana yang telah kau terima saat ini. Kau telah memiliki kebahagiaan yang kau bangun sendiri dengan duniamu, dengan peran-peran yang kau pilih sendiri. Tidak Egi, aku tidak akan berbicara tentang sebuah egoisme. Jika menurutmu, kompromi adalah segala-galanya, tawar menawar adalah jalan bijak untuk mendapatkan suatu kesepakatan bersama, tidak bagiku. Disinilah perbedaan kita. Kita berpijak pada bumi yang berbeda. Bagiku, cinta bukan lah transaksi perdagangan, komitmen bukan material yang dapat ditawar dan diperjualbelikan. Dan aku tidak akan pernah menjualnya.

Egi sayang, silakan kamu muntahkan semua argumentasi yang kau anggap logis di hadapanku, dan kini aku telah muak menelan semuanya. Walaupun aku sangat menyayangimu dengan sepenuh hatiku, namun aku tetap akan terhina ketika kejujuranmu kau ungkapkan dengan tanpa rasa bersalah. Bisakah kau memahami bagaimana terlukanya aku saat aku tahu, dengan segala kesadaranku, bahwa aku bukan lagi seseorang yang kau pikirkan ketika kau terjaga. Aku tidak lagi menjadi penghantar saat kau akan terlelap. Dan mungkin kau malah tidak pernah berharap untuk bertemu denganku, meskipun dalam mimpi. Dan aku merasakannya dengan sepenuh hatiku juga. Aku tahu bahwa itu adalah salah satu upayamu untuk berlari meninggalkan segala yang kau anggap siksaan bathin. Keadaan yang membuatmu kehilangan dirimu seutuhnya. Aku terluka...sangat terluka.

Egi sayang, aku tidak butuh sesumbar picisan atas nama hak asasi manusia yang kamu dewa dewakan jika kamu sendiri tidak pernah tahu apa esensi hak yang paling asasi itu sendiri. Jangan lagi menguliahiku tentang kebebasan jender yang juga kau agung-agungkan. Sembah saja patung liberty sebagai bentuk penghambaanmu pada kebebasan. Simpan semua omong kosongmu, sayang...karena aku telah menutup telingaku rapat-rapat.

Satu kata yang sebenarnya tidak ingin aku ungkap kepadamu. Namun kupikir, aku tidak lagi memiliki terminologi lain yang kuanggap sepadan makna dengan apa yang sedang terjadi saat ini kecuali pengkhianatan. Kau tahu, pedih ku rasakan jika aku mengingat semua pertengkaran kita. Tidak hanya kau yang tersiksa. Aku pun demikian. Kalau boleh aku protes pada kaum feminis yang mengagung-agungkan kesetaraan hak, bahwa saat ini aku telah terluka oleh mereka. Mereka tidak pernah memahami bahwa tidak sesimpel itu menerapkan teori-teori tai kucing itu pada setiap manusia. Menurut mereka aku korban ketidakberdayaan perempuan, dan mereka juga pasti akan memperolok-olokku dengan nasihat-nasihat murahan dan menempatkanku pada sudut ketakberdayaan. Bodohnya aku... tapi aku waras.

Egi, maafkan aku yang telah hilang kendali. Semuanya aku lakukan bukan tanpa alasan. Karena aku menghargaimu, dan aku menghormatimu lebih dari siapapun. Silakan saja kamu tidak menerimakan segala yang kulakukan. Tapi aku akan tetap memperjuangkan apa yang kuanggap berharga untuk kuperjuangkan, sampai kau menyadarinya...sampai kau menyadari bahwa mungkin kau telah kehilangan semuanya. Sekarang, silakan kau pilih kebahagiaanmu... karena seperti yang kau pernah katakan padaku, bahwa kebahagiaan tidak raih, tapi dipilih...diciptakan.

Padma.

Dilipatnya kembali kertas itu dan menaruh di sisi tempat tidurnya. Egi masih menatapi relung-relung kamarnya yang sunyi seolah ia tengah menggambar sesuatu disana. Ditariknya nafasnya perlahan namun berat. Satu persatu peristiwa terlintas di benaknya, silih berganti. Tanpa ia sadari, ada perih yang tiba-tiba menyusupi lubuk jiwanya.

Tak ada suara. Masih sama seperti malam-malam sebelumnya. Lengang. Bahkan suara cicak dan nyamuk pun enggan. Seseorang itu masih terjaga dengan sejuta drama di benaknya.

(I would like to appreciate to those who have inspired me for writing this prose. Anyway, this prose is fairly fiction and doesn’t have retentions for any purposes... Enjoy!!!)