Sebuah Janji dan Janda Muda


Ia masih mengenakan kerudung berwarna jingga yang ia kenakan pada hari ia melihat seseorang yang ia kasihi harus pergi meninggalkannya tanpa suara. Sesak di dalam relung hatinya masih menyisakan perih dan perasaan yang ia sendiri tak pernah pahami. Ia tahu bahwa semua ini adalah proses yang tak dapat ia hindari, ia pedih, ia menangis dalam keheningan dukanya. Disadarinya bahwa ini adalah sebuah fase yang telah menjadi bagian dari perjalanan panjang yang mungkin akan berakhir. Atau diakhiri.

Ia sematkan sekuntum melati pada rambutnya, ditatapnya sekali lagi binar yang telah mengajarinya berair mata beberapa tahun belakangan. Ia tersenyum memandang perempuan berkerudung jingga dihadapannya, kemudian ia memejamkan mata mencoba melebur dalam haru biru jiwanya... ada aliran hangat mengalir di sela-sela buluh nadinya, nafasnya tak lagi memburu, dan ketenangan itu terpancar kala ia mengusap lembut jemari yang merengkuh wajah sendunya. ”aku hanya ingin dipahami, itu saja” ujar perempuan berkerudung jingga itu.

Jemari itu akan selalu sama, kehangatan kasih sayang itu tidak pernah berubah dari pertama kali ia berjabatan tangan. Tatapan mata itu selalu teduh dan mendamaikan jiwanya yang bergejolak bertandatanya. Ia menyadari bahwa dalam kondisi apapun, jemari dan tatapan teduh itu akan selalu ada buatnya. Karena dia setia, dia akan siap menjadi tong sampah-yang-tak-pernah-penuh untuknya. Mendengarkan sumpah serapah yang membabi buta sampai dengan pujian yang mengharu biru.
Jemari itu tidak pernah bersuara, tatapan teduh itu hanya mengajarkan satu bahasa yang hanya mereka berdua yang memiliki sistem monolingualnya. Mereka tidak perlu men-step-up atau men-step-down tegangan, karena mereka percaya bahwa perbedaan itulah sumber percikan yang membuat mereka semakin memahami warna dan keunikan masing-masing. Hidup ini indah karena perbedaan.
Jemari itu telah menemukan tempatnya yang nyaman, menemukan fungsinya yang lain. Masih ditatapnya wajah yang direngkuhnya seolah dia ingin menempatkannya pada selaput di dalam matanya sehingga dia tidak lagi kehilangan bayangannya. Dibelainya bibir yang kini hanya terkatup bisu. ”Tidak perlu berikrar untuk bersamaku”


special thanks: Enigma, for ‘The Screen behind the Mirror’

0 komentar: