Seni Dakwah Islami dari Pekalongan

Diawali dari sebuah majlis dzikir yang telah berdiri sejak 15 tahun yang lalu, Muhammad Shahab memulai kiprahnya untuk mempopulerkan tarian sufi menjadi sebuah pentas kesenian yang mempesona. Jika biasanya tarian sufi diiringi oleh rebana dan irama padang pasir (gambus), tarian yang dikreasikan oleh Muhammad Shahab justeru didominasi oleh budaya jawa dengan gending sebagai musik pengiringnya.

Tidak banyak seniman di daerah yang sukses mengkolaborasikan dua budaya yang berbeda menjadi sebuah performing art yang diterima oleh khalayak. Upaya Muhammad Shahab ini tidak lepas dari motivasi yang dimiliki oleh anggotanya. Banyak dari mereka yang masih aktif bekerja dan bersekolah, tetapi komitmen dan konsistensi yang dimiiliki mampu memujudkan visi bersama: memajukan Pekalongan dengan kesenian budaya.
“Tarian ini memang multikultur, selain memadukan gamelan jawa, marawis dan calung. Adapun gerakaannya didasari oleh tarian sufi yang merupakan tarian dzikir dengan percampuran gerakan tari melayu” ujar bapak paruh baya ini ketika ditemui di sela-sela pembukaan acara Festival Seni Lintas Budaya di Convention Hall Galaxy Mall.
Tarian sufi atau whirling dervish diciptakan oleh Jalaludin Rumi sebagai sebuah ekspresi kecintaan dan kerinduan hamba kepada sang Khalik. Tarian sufi ini berasal dari Turki tempat dimana Rumi lahir. Namun seiring berjalannya waktu, tarian ini kemudian juga berkembang di berbagai penjuru dunia. Walaupun masih belum terlalu populer, namun tarian ini tidak asing di Indonesia.
Nilai-nilai yang telah mendarah daging selama bertahun-tahun itulah yang dipilih oleh Majlis Dzikir Keraton Pekalongan untuk menjadikan kesenian sebagai jalan berdakwah. Mengingatkan kita pada jaman Sunan Kali Jogo dimana beliau berhasil memasukkan nilai-nilai islam ke dalam kesenian wayang kulit sehingga mudah diterima oleh masyarakat kala itu. Tidak salah jika Muhammad Shahab kemudian menamakan kreasi keseniannya sebagai kesenian Sufi Multikultur. Keanekaragaman budaya tidak hanya dapat dirasakan dari musik pengiringnya saja, tetapi dari kostum dan gerakannya pun juga mengelaborasi dari beberapa gerakan tari melayu misalnya Tari Zapin. Nuansa Jawa juga sangat kental dari ornamen batik yang menghiasi kostum yang dikenakan.
Setelah hampir dua tahun sukses mempopulerkan Tari Sufi dengan versi baru, kini Muhammad Shahab dan kelompok majlis dzikirnya mempersiapkan diri menjalani tour ke beberapa negara di Asia untuk mempromosikan tari kreasi barunya yang masih bernuansa marawis bercampur alunan calung dari Banyumas. Berbagai penghargaan juga pernah diraih oleh komunitas yang beralamat di Keraton Pekalongan ini, misalnya juara 1 kesenian se Jawa Tengah dan Juara harapan untuk kompetisi tari kreasi baru.
Sementara itu, Esa, salah satu penari utama dalam pertunjukan yang disaksikan oleh Walikota Surabaya menambahkan bahwa komunitasnya telah mengharumkan nama kota Pekalongan yang pada awalnya hanya dikenal sebagai kota pengrajin batik. Kini, komunitasnya telah memiliki 100 anggota lebih, 50 orang diantaranya aktif menekuni kesenian sufi. Sebagai seorang penari Dervish (tari sufi) dibutuhkan latihan yang rutin dan disiplin. Esa dan komunitasnya melakukan latihan dan dzikir bersama setiap kamis malam. Dan bagi seorang pemula memang tidak mudah untuk bisa menarikan tarian sufi.
“Langkah pertama yang dibutuhkan oleh seorang pemula adalah melakukan tawasul dan dzikir. Efek dari latihan tari sufi biasanya pusing-pusing, tapi jika dilatih secara rutin maka efeknya akan hilang dengan sendirinya”. Esa juga menjelaskan bahwa latihan tari sufi ternyata tidak boleh sendirian, karena bisa menyebabkan hilang kontrol.  Maka sebaiknya ada yang mendampingi.
Apa jadinya jika sebuah karya tidak diapresiasi oleh pemimpin daerahnya. Beruntung kelompok kesenian yang dipelopori oleh bapak paruh baya ini dirangkul dan didukung sepenuhnya oleh Dinas Pariwisata setempat.  Selain ikut mempromosikan ke daerah-daerah lain, Pemerintah Kota juga aktif mengajak komunitas Muhammad Shahab untuk mengikuti kompetisi dan festival seni.
Terdapat tiga pilar yang mendukung industri kreatif yaitu pemerintah, akademisi, dan swasta. Yang sering dilupakan adalah apresiasi. Apresiasi adalah bentuk dukungan tertinggi yang harus diberikan oleh khalayak kepada para seniman atau kreator dalam mengembangkan kreativitasnya. Sebagai seorang seniman, Esa berpendapat bahwa kepercayaan diri adalah hal yang paling utama dalam diri seorang kreator. Inilah yang kemudian membawa mereka menjadi sebuah agen perubahan dunia dakwah islam seperti jaman keemasan Sunan Kali Jaga.

[Published by GAPURA-August 2011]

0 komentar: