Pernahkan sejenak kita menghayati dengan sepenuh hati makna teks Proklamasi yang selalu dikumandangkan setiap upacara peringatan kemerdekaan RI? Pernahkah terbayang dalam benak kita betapa beratnya perjuangan untuk menyusun dan membacakan selembar teks yang tertulis tangan itu?
Kemerdekaan itu bukan mie instan yang tinggal dijerang air panas kemudian siap saji. Kemerdekaan itu pertumpahan darah, nyawa, dan airmata. Kemerdekaan adalah hasil dari gagasan rakyat dan bangsa Indonesia yang ingin berubah ke arah yang lebih baik, yaitu perubahan dari bangsa yang terjajah menjadi bangsa yang merdeka dan berdaulat.
Lahirnya kesadaran untuk melepaskan diri dari penjajahan itu tentu saja tidak bisa dilepaskan dari semangat nasionalisme, yaitu semangat untuk menjunjung tinggi harkat dan martabat tanah tumpah darah Indonesia. Nasionalisme lahir karena ada persamaan nasib dari seluruh rakyat, yaitu nasib bahwa tanah air yang merupakan hak yang syah dari seluruh elemen bangsa sedang dikangkangi oleh bangsa asing.
Sejak diproklamasikan kemerdekaan Indonesia pada tanggal 17 Agustus 1945, secara politik bangsa Indonesia sudah merdeka karena sudah memiliki hak penuh untuk memerintah diri sendiri. Namun, sampai dengan 66 tahun, ternyata Indonesia masih termasuk ke dalam negara yang berkembang, terutama untuk bidang ekonomi. Tanda-tanda tersebut antara lain masih tingginya ketergantungan Indonesia kepada bangsa asing. Hal ini ditunjukkan dengan membanjirnya prodak-prodak asing dan bahkan mengalahkan prodak-prodak lokal. Selain itu ekploitasi sumber daya alam besar-besaran yang kerap kita temui juga akan menghambat kemandirian bangsa yang masih membangun ini.
Permasalahan ini terjadi akibat dari ketidakmandirian dan rendahnya kemauan untuk lepas dari cengkeraman ekonomi asing. Hampir semua perusahaan besar, mulai dari perusahaan perbankan, perusahaan telekomunikasi, bahkan perusahaan makanan, sebagian besar sahamnya dimiliki oleh bangsa asing. Penjajahan politik yang berlangsung sangat lama telah menyebabkan bangsa kita mengalami inferior complex, yaitu perasaan rendah diri yang akut ketika berhadapan dengan bangsa asing, terutama dengan orang-orang berkulit putih. Kita lebih bangga memakai barang-barang produksi asing dibandingkan memakai barang produksi bangsa sendiri. Situasi semacam itu tentu saja dimanfaatkan oleh produsen asing untuk memasarkan barang-barang yang mereka produksi. Kedua, pemerintah yang diberi amanah untuk menjaga tanah air ternyata tidak memahami nilai moral yang dibebankan. Dengan demikian semakin menyuburkan kapitalisasi yang mencengkeram perekonomian bangsa.
Langkah strategis yang dapat diambil untuk mengatasi permasalahan tersebut antara lain dengan menumbuhkan semangat nasionalisme pada generasi muda. Semangat nasionalisme yang tinggi akan membuat bangga terhadap bangsanya juga tinggi. Sejarah menulis, pada akhir tahun 1950-an semua perusahaan-perusahaan Belanda di Indonesia dinasionalisasikan. Kepemilikan perusahaan-perusahaan tersebut diambilalih oleh para pemuda yang didukung penuh oleh pemerintah. Pengambilalihan perusahaan-perusahaan Belanda tersebut karena perekonomian kita tidak ingin disetir oleh bangsa asing, terutama oleh Belanda yang bertahun-tahun telah menjajah Indonesia. Para pemuda tidak ingin penjajahan berlanjut dalam bentuk penjajahan ekonomi, ketika kita sudah lepas dari penjajahan politik. Selanjutnya, semangat nasionalisme tersebut juga harus diwujudkan dalam bentuk melepaskan diri secara nyata kepada bangsa asing. Contoh yang paling ringan misalnya, ketergantungan kepada produk-produk asing secara berlahan-lahan harus dikurangi. Jika ada es jeruk, mengapa harus minum minuman ringan produk asing, toh gunanya sama, yaitu untuk mengurangi rasa haus.
Kota Surabaya adalah potret perlawanan terhadap dominasi asing, perlawanan terhadap kesewenang-wenangan. Ketika kota Surabaya diduduki Mataram pada abad ke-17, rakyat kota Surabaya melawan. Ketika kota Surabaya dijajah oleh Belanda, diteruskan oleh Jepang, rakyat kota Surabaya juga melawan. Perang besar pada bulan Oktober-Nopember 1945 juga menjadi bukti perlawanan rakyat kota Surabaya terhadap pasukan Sekutu. Rakyat kota Surabaya tidak pernah rela jika kotanya dijajah oleh bangsa asing.
Sangat jelas bahwa ciri Arek-arek Suroboyo adalah reaktif, Arek-arek Suroboyo juga tidak takut berhadapan dengan siapapun jika merasa berada pada pihak yang benar. Hal tersebut dibenarkan melalui perjalanan sejarah arek-arek Suroboyo ketika berhadapan dengan perubahan-perubahan yang radikal di kota Surabaya. Dua hal tersebut menjadi modal dasar yang kuat untuk mendorong perubahan ke arah yang lebih baik bagi rakyat kota Surabaya. Yang terpeting adalah jangan sampai sikap-sikap tersebut disalahgunakan untuk hal-hal yang negatif. Bagaimanapun, sebuah progresifitas harus dikawal agar menjadi enerji positif yang mendorong pada perubahan yang positif pula.
Pengejawantahan progresifitas ini dapat terlihat dari berbagai pergerakan massa. Hal ini akan berhasil jika dilakukan secara luas dengan dukungan dari elemen masyarakat yang luas pula. Sayangnya, sebagian besar masyarakat Indonesia saat ini dihinggapi sikap yang apatis dan apolitis. Masyarakat saat ini lebih pragmatis. Hal-hal yang tidak menguntungkan dirinya secara langsung tidak lagi menjadi perhatian. Tidak bisa dinafikan, keberhasilan gerakan-gerakan tersebut karena mendapat dukungan opini dari luar. Hal ini mengindikasikan bahwa gerakan-gerakan yang dilakukan oleh kekuatan lokal masih belum menemukan momentumnya yang tepat. Kekhawatirannya adalah bahwa perubahan yang terjadi di Indonesia justru karena didisain dan dipersiapkan oleh kekuatan dari luar. Hal ini akan membahayakan apabila bangsa Indonesia menjadi ajang percobaan bangsa asing untuk menerapkan ide-ide mereka. Oleh karena itu, jika kita menghendaki perubahan ke arah yang lebih baik, maka ide-ide perubahan itu harus datang dari diri kita sendiri.
Saat ini kita memiliki modal untuk mendorong perubahan ke arah yang lebih baik. Modal tersebut berasal dari local wisdom (kearifan lokal) yang dimiliki oleh Arek-arek Suroboyo dan merupakan warisan dari perjalanan sejarah rakyat kota Surabaya. Tugas utama para pemangku kepentingan adalah mengelola kearifan lokal tersebut agar dapat digunakan untuk menjadi enerji atau bahan bakar. Bagaimana strategi mengubah kearifan lokal tersebut agar menjadi enerji positif? Satu-satunya cara yang bisa dilakukan oleh para pemangku kepentingan adalah dengan menyatu atau manunggal dengan rakyat. Para pemangku kepentingan, dalam hal ini negara, harus bahu-membahu dengan rakyat, dan rakyatlah yang harus menjadi subyek dari perubahan tersebut. Pemangku kepentingan adalah fasilitator dari perubahan tersebut. Ke mana perubahan akan diarahkan harus ditentukan oleh rakyat dengan difasilitasi oleh negara.Pelajaran yang harus kita petik untuk saat ini adalah bahwa untuk mengubah kondisi bangsa ke arah yang lebih baik maka diperlukan semangat nasionalisme yang membara. Perubahan tanpa dilandasi semangat nasionalisme akan melahirkan situasi anarkhis dan tanpa arah.
Nara Sumber:
Purnawan Basundoro
Staf Pengajar Departemen Ilmu Sejarah, Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Airlangga. Melakukan penelitian intensif di negeri Belanda untuk disertasinya yang berjudul “Rakyat Miskin dan Perebutan Ruang Kota di Surabaya 1900-1960-an.” Disertasi tersebut baru saja diujikan dan dinyakan lulus pada tanggal 4 Agustus 2011 di Universitas Gadjah Mada. Dapat dihubungi di alamat: pbasundoro@yahoo.com
0 komentar:
Posting Komentar