Termehek-mehek vs Gambaru, Part I

Pasti mengingatkan kita pada sebuah judul reality show di Trans TV kan? Entah sekarang sudah masuk episode yang berapa ribu, yang pasti acara itu masih memiliki penggemar yang sangat banyak. Yang saya ingat, pertama kali program itu tayang langsung mendapatkan rating yang cukup bagus. Saya juga tidak paham, dilihat dari apanya sehingga acara pencarian orang hilang itu mendapatkan banjiran iklan yang fantastis dan positioning yang cukup diperhitungkan dibandingkan dengan program-program yang serupa. Jika kita simak lebih dalam tentang beberapa program reality show yang ditayangkan di televisi swasta nasional kita, temanya tidak jauh-jauh beda, misalnya Bedah Rumah, Andai Aku Menjadi, Tolooong, dan banyak lagi.
Sebetulnya saya termasuk orang yang cukup picky untuk urusan menonton acara televisi. Bukannya saya tidak mencintai prodak dan tayangan lokal, namun jika disuruh memilih: Serial Grey’s Anatomi atau Serial Cinta Fitri, dengan senang hati saya akan menonton mas-mas dokter yang ganteng-ganteng daripada melihat sosok protagonis yang menangis-nangis dianiaya oleh keluarganya, atau sosok perempuan yang suka berakting sambil melotot-melotot tidak jelas.

Tidak dapat dipungkiri bahwa industri media, khususnya pertelevisian adalah salah satu industri yang tidak pernah basi disamping industri teknologi informasi. Menariknya lagi, industri-industri ini sangat lekat dengan gaya hidup dan dibutuhkan kedekatan secara emosional dan psikologis jika ingin memenangkan pasar. Saya berani bertaruh, berapa persen diantara anda yang dalam satu hari tidak berhubungan dengan media, baik koran, televisi, googling, membuka facebook/twitter ataupun membaca milis? karena media yang telah berubah konvergen sehingga kita pun menjadi sangat dependen.
Ada satu hal yang menarik ketika saya membaca sebuah posting di sebuah milis yang saya ikuti. Teman tersebut bercerita tentang bagaimana orang-orang Jepang survive dan menyikapi permasalahan-permasalahan hidupnya, termasuk ketika bencana tsunami dan ancaman radiasi nuklir yang menghantuinya. Mereka menyebut semangat mereka dengan sebutan GAMBARU. Gambaru jika diartikan secara bebas adalah berjuang sampai titik darah penghabisan. Mau tidak mau mengingatkan saya pada semangat para pejuang kemerdekaan. Merdeka atau Mati. Ada banyak hal yang cukup menggelitik saya ketika usai membaca posting tersebut, pertama betapa orang Jepang sangat tough dan ‘terdidik’ untuk prihatin semenjak usia dini. Kedua, semangat berbagi dan saling menguatkan satu sama lain yang sangat tinggi, bahkan ketika dirinya dalam keadaan yang cukup berat sekalipun, mereka masih mampu mengobarkan semangat orang lain. Ketiga, ini yang cukup membedakan Indonesia dengan Jepang, yaitu bagaimana media memotret sebuah peristiwa yang terjadi. Misalnya bencana gempa tsunami, banjir, gunung meletus, dll.
Benar bila ketika kita melihat tayangan televisi menyiarkan bencana alam yang terjadi: runtuhnya bangunan-bangunan yang tersapu gelombang raksasa. Mayat-mayat yang berserakan dimana-mana, anak yang kehilangan orang tua dan sanak familinya, kamp-kamp penampungan yang masih jauh dari kata layak. Banyaknya bantuan yang belum merata meskipun hampir di setiap kota, bahkan di setiap RT mungkin ada pos penyalur bantuan kemanusiaan. Ada juga media yang memiliki rekening khusus untuk menampung donasi dari para pemirsanya. Plus backsound lagu mendayu-dayu untuk menggugah rasa kemanusiaan kita. (Baca: iba). Kemudian, banyak program televisi, mulai dari yang news, seperti Seputar Indonesia, dan Liputan 6, akan menjadikan peristiwa tersebut sebagai headline selama beberapa hari dengan reportase langsung dari tempat kejadian, lengkap dengan wawancara khusus dengan korban. Tak hanya itu saja, program infotainmen pun yang biasanya bergosip dan sibuk memberitakan hal-hal privat dunia selebriti juga latah mengupas bencana alam tersebut secara ‘tajam setajam silet’. Geli juga ketika menyaksikan infotainmen menyiarkan peristiwa tersebut, stetmen-stetmen yang kadang lebay juga selalu diulang seolah-olah ingin menekankan suatu pesan penting tertentu. Apalagi jika mereka juga mewawancarai beberapa selebritis untuk ditanya mengenai komentarnya mengenai bencana yang ada. Untuk menambah sensasi, tak jarang para redakturnya mengundang 'pakar' untuk ikut nimbrung di acara komen-mengkomen bencana itu. Terlihat sekali bahwa bencana pun bisa dijadikan komoditi, lo!. Sungguh-sungguh menggelikan. Gempuran pemberitaan yang terkadang tidak proper-sional ini membuat wajah negara kita menjadi sebuah potret negara yang rapuh dan terkesan butuh belas kasihan. Lebay. Jika boleh jujur, kita hendaknya bisa belajar dari Jepang, bukan hanya dari bagaimana mereka survive dari bencana, namun dari bagaimana media memotret sebuah peristiwa. Bukan potret drama yang membuat orang yang malihat jadi termehek-mehek, menangis-nangis, dan jatuh iba. Setidaknya ada spirit dan semangat juang yang bisa dibangun supaya orang yang mengalami bencana maupun yang menonton memiliki rasa optimis untuk menghadapi keadaan yang mereka hadapi. Media sebagai alat komunikasi massa yang berhubungan langsung dengan persepsi khalayak mulai dari saat ini harus mengambil peran dalam membangun mental dan spirit optimisme seperti yang dilakukan oleh media-media di Jepang.
Percaya atau tidak, semangat untuk terus berjuang serta rasa optimis ternyata tidak hanya dapat ditumbuhkan dari membaca buku motivasi seperti The Secret atau melihat program Golden Ways-nya Mario Teguh saja, tetapi media juga memberikan kontribusi yang cukup signifikan bagi semangat kumunal masyarakat. Bangkit Indonesia…Gambaru Indonesia!!!

1 komentar:

stpweb mengatakan...

Compassion is a piece of vocabulary that could change us if we truly let it sink into the standards by which we hold ourselves and others. --Krista Tippett