IKLAN: Komersial dan Politik ditinjau dari Sosiologi Media

Dalam masa sekarang ini, manusia memang tidak akan pernah lepas dari terpaaan informasi yang ditayanngkan oleh media. Mulai dari membuka mata sampai dengan memejamkan mata, labih dari seratus informasi yang tertangkap oleh mata, mulai dari merek sabun dan alat-alat kosmetik yang kita pakai, brand pakaian yang kita kenakan, sepatu, merk televisi, hanphone, laptop, mobil yang kita kendarai, belum lagi kalau kita melewati jalan raya, ratusan bahkan ribuan reklame terpampang hampir tidak ada space yang tersisa. Banyak media yang bermain disana, tidak hanya televisi dan media cetak saja, namun media outdoor seperti papan-papan reklame ternyata juga memberikan pengaruh yang cukup besar pada khalayak.

Banyak cara yang ditempuh oleh pemasang iklan untuk menawarkan barang dan jasanya. Mulai dari memasangnya di berbagai media massa, menampilkan desain yang eye-catching, menggunakan kata/kalimat yang provokatif, sampai dengan membuat konsep yang kontroversial. Tak jarang pula para pengiklan yang harus rela berurusan dengan pihak yang berwajib, dengan oraganisasi masyarakat, atau dengan lembaga perlindungan konsumen karena promosinya dianggap ‘meresahkan’, ekploitasi yang terlalu berlebihan atau berbau pornografi.
Bagaimanapun juga para pemasang dan pemilik prodak saling bersaing dengan yang lainnya. Secara kasat mata memang persaingan yang terjadi hanya terlihat sebatas memenangkan pasar, mendapatkan keuntungan finansial yang melimpah dari penjualan barang dan jasanya. Namun jika diamati lebih dalam, persaingan para pemasang iklan dan pemilik industri ini mengakibatkan banyak hal, dan yang menjadi korban adalah khalayak.
Salah satu contohnya terdapat pada iklan provider seluler. Memenangkan pertarungan dan persaingan di dunia telekomunikasi seluler memang tidak gampang, setiap provider rela ‘banting tarif’ dan menawarkan banyak ‘bonus’ dan gratisan. Untuk menarik perhatian khalayak, para pemasang iklan ini sampai rela ‘mengeksploitasi’ perempuan dan anak-anak dibawah umur. Jika kita lihat lebih jeli, iklan pada salah satu provider tertentu memasang model seorang perempuan yang mengenakan t-shirt dan di dadanya bertuliskan “Bikin Hepi”. Hal ini merupakan masalah yang sudah sangat umum, iklan komersial memang mengundang banyak masalah sosial. Tetapi yang tidak kalah penting adalah banyak informasi yang harus dikritisi lagi kebenarannya.
Representasi prodak seperti ini yang kemudian menjadi bahan tayangan media massa, baik yang cetak maupun yang elektronik. Jika dilihat dari kacamata sosiologi media, iklan dan media bagaikan dua sisi mata uang yang tidak dapat dipisahkan, saling bersimbiosis mutualisme. Media mendapatkan penghidupan mayoritas dari pemasang iklan, sedangkan pengiklan mendapatkan tempat promosi yang sangat efektif di media. Sosiologi media memahami bahwa media merupakan tempat pertarungan, dan pertarungan iklan bukan hanya sekedar pertarungan pasar, namun juga pertarungan ideologi.
John Fiske menjelaskan bagaimana sebuah peristiwa menjadi sebuah “peristiwa televisi” apabila telah diencode oleh kode-kode sosial, dalam bukunya Television Culture, Fiske menjelaskan tiga tahapan yang mengkonstruksi sebuah peristiwa, pertama adalah realitas (reality) yang akan ditandakan (encoded) sebagai realitas, misalnya tampilan, pakaian, perilaku, gesture, dll. Jika dalam bahasa tulis berarti berupa transkrip wawancara, dokumen, dll. Pada tahap kedua disebut representasi (representation). Realitas yang terencode harus ditampakkan pada technical codes seperti kamera, lighting, editing, musik dan sound. Dalam bahasa tulis ada kata, kalimat, proposisi, foto, grafik, dan sebagainya. Sedangkan alam bahasa gambar atau televisi ada kamera, tata cahaya, editing, musik, dan sebagainya. Elemen-elemen ini kemudian ditransmisikan ke dalam kode representasional yang dapat mengaktualisasikan antara lain karakter, narasi, action, dialog, setting, dan sebagainya. Ini sudah nampak sebagai realitas televisi. Tahap ketiga adalah ideologi (ideology). Semua elemen diorganisasikan dan dikategorikan dalam kode-kode ideologis, seperti patriakhi, individualisme, ras, kelas, materialisme, kapitalisme, dan sebagainya. Ketika kita melakukan representasi atas suatu realita, menurut Fiske, tidak dapat dihindari adanya kemungkinan memasukkan ideologi dalam konstruksi realitas.
Dalam melihat sebuah organisasi media massa, tentu tidak hanya melibatkan seorang pemimpin redaksi dan reporter saja. Media adalah sebuah organisasi yang memiliki rantai dan jaringan yang saling berhubungan satu dengan lainnya. Bisa dikatakan bahwa organisasi media bisa dianalogikan dengan sebuah kartel bisnis dengan berbagai kepentingan di dalamnya. Jika berbicara tentang iklan di media, tentu tidak akan lepas dari keberadaan program acara TV, publikasi rubrik, dan keberlanjutan hidup dari orang-orang yang ada didalamnya. Karena bagaimanpun juga, semakin banyak khalayak yang menonton media (program acara) atau membeli majalah, maka akan semakin banyak pula pengiklan yang akan memasangkan prodak iklannya, maka secara otomatis semakin tinggi pula pendapatan media tersebut.
Hal yang menarik jika membahas tentang iklan atau promosi, ketika menjelang pemilihan wakil rakyat atau kampanye presiden, kandidat presiden juga melakukan strategi yang hampir sama dengan apa yang dilakukan oleh para pemilik industri, mereka memasang iklan yang mempromosikan keunggulan kandidat presidennya. Mulai dari beriklan di TV, radio, memasang billboard dan baliho, sampai dengan berkampanye dan berorasi di hadapan publik untuk menyampaikan propagandanya. Di dunia politik, khalayak sering menerima “kata-kata” sebagai fakta, dan  terkadang menelan mentah-mentah ‘fakta’ yang disampaikan. Jika dalam iklan komersial, seorang pemasang iklan sebelum iklannya ditayangkan di media terlebih dahulu harus melalui sensor yang bertingkat. Mulai dari produsen dalam interaksinya dengan biro iklan, dewan kehormatan organisasi periklanan, dan akhirnya pengelola media massa. Sementara propaganda politik, apalagi dari pihak yang berkuasa, nyaris tidak ada sensornya (Siregar, 2006).
Berangkat dari fenomena tersebut sosiologi media mengkritisi pengaruh dan keterlibatan media-owner dengan penguasaan politik, bahwa media pun tidak hanya sebagai alat informasi dan komunikasi saja, namun juga memiliki peran lain sebagai media politik dari kelompok-kelompok tertentu. Namun inilah yang kemudian menjadi salah satu isu yang yang memiliki nilai jual selain topik-topik tentang perselingkuhan dan perceraian kalangan selebriti. Kemudian media mengemas isu-isu politik tersebut menjadi sebuah pemberitaan yang menarik dan ‘kreatif’ mulai dari acara jajak pendapat (polling) capres favorit, talkshow dengan pengamat politik, debat capres, sampai dengan membuat edisi khusus untuk menayangkan profil lengkap capres lengkap dengan ‘menjual’ kehidupan personalnya.
Industri media massa adalah sebuah industri yang tidak akan pernah basi, kuncinya hanya membutuhkan kreatifitas mengolah sebuah isu menjadi sebuah program yang bernilai komersil, mulai dari politik sampai dengan perselingkuhan semua bisa menjadi sebuah bahan untuk mengeruk keuntungan baik untuk pihak pemilik media, pemasang iklan, dan orang yang diberitakan. Kacamata sosiologi media membantu untuk melihat lebih dalam mengenai hidden-agenda dan cara-cara media bekerja dalam konteks penyebaran ideologi yang dimilikinya. Selain itu, membantu melihat sebuah fenomena dan representasi yang ada di media tidak as it is as seen, tetapi mencoba menghubungkan dan membuat korelasi dengan konstruksi sosial yang ada, misalnya konstruksi gender.

Referensi:
Fiske, John., Television Culture (London: Routledge, 2001)
Siregar, Ashadi., Etika Komunikasi, 2006, Pustaka: Jogjakarta




1 komentar:

stpweb mengatakan...

komen apa yo ?