Tentang Visi


“Alia, sepertinya kita akan pindah lagi…”
Ujar Vita, kakak perempuanku. Direbahkannya tubuhnya di sebelahku. Aku tidak berkomentar. Kalimat itu sudah sering kudengar setiap kali kedua orang tua kami memutuskan untuk pindah.
Ayahku adalah seorang perwira TNI. Demi tugas, kami sekeluarga harus rela hidup berpindah-pindah mengikuti kemana ayah akan ditempatkan. Sedangkan ibuku hanya ibu rumah tangga biasa. Aku memiliki dua orang kakak perempuan, Vita dan Rena. Kakakku yang sulung sedang menyelesaikan pendidikan masternya di Inggris. Dia sangat pandai, kata orang dia mewarisi karakter dan sifat ayahku yang pekerja keras dan gigih. Sejak kecil Rena selalu menjadi juara kelas dan giat mengikuti berbagai macam turnamen pendidikan. Tidak heran jika ayah dan ibu sangat bangga menceritakan Rena dan pencapaian hidupnya. Kakakku yang nomor dua, Vita, meskipun otaknya tidak secemerlang Rena, ibu dan ayah sangat mendukungnya untuk jadi seorang model. Yang aku tahu, setiap hari Vita sibuk dengan perawatan tubuhnya, meng-update fesyen terbaru, serta jadwal bepergian bersama teman-temannya. Sedangkan aku? Tidak ada yang istimewa.
Dua minggu kemudian, kami telah resmi pindah ke tempat baru. Surabaya. Kota kelima yang akan menjadi tempat tinggal kami. Mungkin untuk sementara, dan aku tidak tahu sampai kapan aku dan keluargaku menetap disana. Yang aku tahu, Surabaya adalah salah satu kota dengan polusi yang tinggi dan masyarakat yang bertempramen keras. Rasa khawatir terus bergayut dalam benakku kalau-kalau aku tidak betah tinggal disana. Dan yang paling menyebalkanku adalah: aku harus beradaptasi lagi. Fiuh.
Rumah baru kami berada di sebuah perumahan yang terletak di Surabaya bagian barat. Tidak terlalu ramai juga, dan lingkungan di sini ternyata lumayan nyaman. Tetapi tetap saja aku tidak menyukai kota ini. Aku kesepian. Sehari-hari aku hanya menghabiskan waktuku dengan duduk-duduk di taman sambil mendengarkan radio, memutar lagu-lagu yang aku suka, dan sesekali menikmati berita dan hiburan di televisi. Sejak lulus dari SMU aku memang tidak melanjutkan pendidikanku, selain karena sulitnya menemukan sekolah khusus bagi orang yang tidak normal seperti aku, kondisi kami yang selalu berpindah-pindah membuat aku berinisiatif untuk belajar sendiri di rumah. Ibu lah yang selalu giat mencarikan guru les atau tentor sehingga aku bisa home-schooling. Namun aku tetap berusaha untuk tetap bisa belajar dan melihat dunia dengan caraku sendiri. Yang aku syukuri adalah, aku memiliki keluarga yang sangat menyayangiku. Ayah mendidik kami untuk disiplin, mandiri dan tidak cengeng. Meskipun kondisiku berbeda dari kedua kakakku, Ayah dan ibu tidak pernah memberikan perlakuan yang berbeda. Aku mendapatkan kesempatan yang sama untuk mengembangkan diriku, namun karena aku orangnya cenderung minder dan tidak percaya diri, maka sering kali kesempatan itu aku lewatkan begitu saja. Ayah dan ibu sangat memahami kondisiku, oleh karenanya mereka cenderung membiarkan apa saja yang aku lakukan asalkan aku menyenanginya. Termasuk bermain biola dan membuat dongeng anak.
Kasih sayang ayah dan ibu yang diberikan kepadaku sudah lebih dari cukup hingga membentuk diriku seperti sekarang ini. Namun diusiaku yang menginjak dua puluh dua tahun ini aku merasa masih menjadi Alia yang baru lulus sekolah dasar. Entah apa yang bisa aku lakukan untuk mengisi kehidupanku yang hingar bingar namun tanpa warna ini. Kesibukan ibu bersama perkumpulan para ibu-ibu TNI membuat kami jarang bertemu di siang hari. Terkadang ibu baru sampai di rumah tepat ketika aku sudah bergumul dengan selimut dan guling lumba-lumbaku. Ayah rupanya sangat sibuk sekali dengan tugas barunya, hingga hampir tidak memiliki waktu walaupun hanya untuk sekedar berbincang saat makan malam. Rena, ini adalah tahun keduanya di Oxford, dan sampai sekarang ia belum pulang ke tanah air sama sekali. Hanya sesekali kudengar ia menelepon ibu, menceritakan betapa perkuliahannya sangat padat dan sibuk dengan tugas dan papernya. Dari nada bicaranya, sangat jelas bahwa Rena menikmati sekali berada di kota kelahiran Lady Diana itu. Setelah puas bercerita bagaimana spektakulernya London dengan bangunan-bangunan indahnya, ia akan menanyakan kabar Vita dan aku. Jika Vita sedang kebetulan di rumah, mereka berdua akan mengobrol lamaaaa sekali mulai dari fesyen sampai dengan pengalamannya kencan dengan bule. Menyenangkan sekali kedengarannya. Aku selalu mendapatkan giliran terakhir. ‘Bagaimana kabarmu adik kecilku’ itu adalah kalimat pembuka yang selalu Rena tanyakan padaku dan aku menjawab dengan jawaban yang sama: ‘au ah gelap’ selorohku dan Rena pun terbahak-bahak. Sebetulnya kami bertiga adalah saudara yang sangat kompak, namun karena masing-masing memiliki kehidupan yang berbeda-beda intensitas pertemuan kami menjadi sangat jarang. Seperti sekarang ini, sudah dua hari ini Vita tidak pulang ke rumah. Ia mengikuti sebuah fesyen show di luar kota bersama agensinya. Aku membayangkan kakakku berjalan di sebuah kerumunan orang dengan mengenakan busana terbaik, meliuk-liukkan badannya yang gemulai tak lupa melempar senyumnya yang paling yahud. Lalu terdengar tepukan tangan penonton dan suara yang riuh rendah mengelu-elukan nama Vita. Vita terkadang membuatku iri. Ibu pernah bercerita padaku bahwa Rena, Vita, dan aku memiliki karakter dan postur yang berbeda-beda. Rena mewarisi postur badan ibuku yang mungil, kulitnya sawo matang seperti ayah, rambutnya lurus. Sedangkan Vita, tulang bahunya persis ayah, postur badannya juga, ia paling jangkung dan bongsor diantara kami bertiga. Kulitnya kuning langsat yang cenderung kemerahan, dan berambut ikal. Namun belakangan aku mendengar rambut ikal Vita telah ia rebounding supaya lurus seperti milikku. Sedangkan aku, tidak mewarisi postur baik ayah maupun ibuku, namun aku lebih mirip almarhum kakekku. Tubuhku tidak terlalu tinggi, memiliki sepasang bulu mata lentik, dan yang membuat Vita senewen adalah meskipun aku makan dengan porsi besar badanku tidak mudah gemuk. Rena dan Vita adalah panutanku, mereka telah memberikan kebanggaan bagi ayah dan ibu. Meskipun aku tidak se-brillian Rena ataupun se-populer Vita, aku pun bisa menjadi seseorang yang berguna. Kecintaanku pada anak-anak membuatku menjadi bersemangat untuk terus berkarya, bersemangat untuk dapat membahagiakan sesama.
Aku gemar bermain biola dan membuat dongeng anak-anak. Karena aku tidak dapat membuat karya tulisan, maka aku merekam suaraku dan mengkopinya pada sebuah keping CD. CD inilah yang kemudian aku bagikan ke beberapa tetangga yang memiliki anak kecil usia sekolah dasar dan balita. Dan aku sangat bersyukur ternyata karyaku banyak diminati oleh ibu-ibu dan anak-anak.
Sudah hampir 3 bulan aku hanya makan, tidur, dan duduk-duduk di teras depan sambil memainkan biola kesayanganku dengan pikiran yang tidak jelas. Ibuku sepertinya sudah menemukan aktivitas baru dengan ibu-ibu arisan kompleks, sedangkan Vita, semakin sibuk mengembangkan dirinya di dunia model. Sebetulnya, aku tidak benar-benar paham dengan lingkungan di sekitar sini. Vita pernah bilang padaku bahwa orang-orang disini sangat individualis, makanya rumah-rumah mereka dipagari sangat tinggi. Pantas saja aku tidak pernah mendengar penjual jajanan berkeliling kompleks. Alangkah menjemukan.
Seperti sore itu, aku kembali duduk-duduk di teras depan mendengarkan gemericik air kolam. Kumainkan beberapa lagu dengan biolaku berharap aku segera menemukan ide untuk bahan dongengku nanti.
“Lagu yang indah!”
Aku terkejut, seketika ku hentikan permainanku.
“Hai, aku Rio…maaf telah mengganggumu. Tapi aku suka permainan biola kamu”
Aku beringsut. Kucondongkan telingaku mencari arah suara itu berasal.
“Thanks. Apa yang kamu inginkan?”
Kuberanikan diri untuk bersuara walau dengan sedikit gemetar
“Sudah satu minggu ini aku selalu memperhatikan kamu. Jangan takut, rumahku hanya 2 blok dari rumahmu. Oke, sampai ketemu besok ya…daaag..”
Satu minggu? Mana mungkin aku tidak menyadari ada orang yang telah menyatroniku selama satu minggu ini. Aku bergidik. Segera aku melangkah masuk ke dalam rumah dan lekas-lekas mengunci pintu.
Di dalam kamar, aku kembali terdiam. Ada sesuatu yang berontak dalam dadaku, sesak sekali. Kembali aku bertemu dengan sebuah pertanyaan yang sebenarnya tidak ingin aku pikirkan. Aku telah berusaha sangat keras untuk berkompromi dan berdamai dengan keadaanku sekarang. Tapi mengapa Tuhan tidak ijinkan aku memiliki apa yang Rena dan Vita miliki? Aku menelungkupkan kepalaku ke bantal. Aku berteriak sekeras-kerasnya. Aku menangis dan kecewa. Sudah bertahun-tahun aku memohon pada Tuhan, tetapi tak pernah kudapati setitik petunjuk ataupun jawaban dari ketidakadilan ini. Sejujurnya aku benci dengan perasaan ini namun aku tidak sanggup untuk tidak protes dengan keadaanku sekarang ini. Setelah puas dengan kemarahan dan kesedihanku. Aku pun terlelap sampai senja tiba.

 “Tadi ada seorang teman yang mencarimu Alia…” ujar ibu suatu saat ketika kami sedang makan malam
“Kenalan dimana Al?” Vita memotong
“Siapa?” tanyaku datar
“Laki, ibu lupa tanya namanya”
“Cowokmu ya?” goda Vita lagi
“Dia nanya kenapa kamu tidak main biola lagi di teras…”
Aku tidak menjawab dan kulanjutkan mengunyah makananku.

Ini adalah kali pertamaku mendapat seorang tamu. Seorang laki-laki pula. Mau apa sih sebenarnya orang itu. Mengapa ia tiap hari mengirimkan salam padaku melalui ibu? Mengapa ia terus menanyakan alasanku berhenti bermain biola di teras?
“Hai Alia, sori kalau aku udah bikin kamu takut. Tenang aja, aku bukan orang jahat kok. Aku cuma mau berteman denganmu” kudengar ia menyapaku ramah
“Hai…” jawabku pendek
“Kudengar dari ibumu, kamu suka berdongeng ya?” tanyanya sopan
“Hanya hobi kok” aku merapikan rokku dan ku tegakkan badanku. Tersenyum.
“Keponakanku juga suka sekali kalau didongengin, tapi sayang sekali aku tidak mahir…hehe…” kudengar tawanya renyah sekali
“Jika kamu mau, aku bisa berikan satu kopi CD dongengku buat keponakanmu…”
“Mau banget…makasi ya…”
“Siapa nama keponakan kamu?”
“Jasmine”
“Nama yang bagus”

Tak pernah terbayang sebelumnya bahwa aku akan mempunyai seorang sahabat. Rio namanya, seorang mahasiswa tingkat akhir yang hobi bermain gitar. Permainannya indah. Dia juga seorang pencerita dan pendengar yang baik. Seringkali Rio mengajakku berkendara sambil bercerita tentang Surabaya. Pengetahuannya tentang sejarah dan perkembangan musik membuatku sangat kagum. Selain itu ia gemar sekali mencicipi dan mencoba beragam makanan dan kuliner. Kami telah memiliki jadwal rutin untuk berwisata jajanan setiap sabtu atau minggu malam. Hampir tiap sore, jika dia tidak ada tugas, ia akan menyempatkan mengunjungiku, entah hanya untuk mengucapkan salam atau bertanya bagaimana keadaanku hari itu. Aku tidak lagi sendirian bermain biola, Rio akan selalu menemaniku mencipta dan mengiringi gesekan biolaku dengan petikan gitarnya. Alunan nada biolaku tidak lagi minor, tak kusadari notasi permainan gitar Rio merubah musikalitasku secara drastis. Saat ini kami tengah mengerjakan sebuah project film pendek untuk anak-anak. Rio mempercayakan skenarionya padaku, sedangkan ia dan teman-temannya mengerjakan visualisasinya. Kubayangkan bahwa dongengku akhirnya tidak hanya dapat didengarkan saja, tetapi juga dapat ditonton.
Hanya Rio satu-satunya temanku. Meskipun ia pernah memperkenalkan aku dengan teman-temannya yang lain, tetapi aku merasa Rio lah yang paling memahami dan yang membuatku nyaman. Dia tidak pernah memperlakukan seperti orang yang cacat, ia sangat easy going dan membumi dengan kekurangan yang aku miliki. Satu hal yang membuatku bangga menjadi temannya adalah dia sama sekali tidak risih dan canggung ketika harus menuntunku dan membimbing jalanku walaupun di tengah keramaian. Mengambilkan barang-barangku, membantu menata makananku di meja, bahkan tak jarang dia menyuapiku. Rio gemar sekali bercerita tentang banyak hal, mulai dari film-film terbaru, kegiatannya di kampus, sampai dengan mimpi-mimpi yang ingin dia wujudkan. Kehadiran Rio seolah suntikan semangat yang tak pernah habis untukku. Setiap kata-katanya menguatkanku ketika aku mulai putus asa dan labil. Riang candanya seolah menghapus titik-titik mendung kepedihan yang melingkupiku menjelang senja. Rio adalah duniaku. Rio juga telah mewujudkan mimpi-mimpi gelapku menjadi nyata dan berwarna.
Sore itu, kami duduk-duduk santai di taman belakang. Aku mendengar Rio masih memetik gitarnya perlahan.
“Tinggal 75% Al…, nunggu Ricky pulang dari Jakarta. Dia akan bantuin kita untuk editing” Ia menghentikan petikannya sejenak
“Baiklah, kita masih punya banyak waktu kok” ku ingsutkan badanku padanya
“Aku tidak sabar menyaksikan hasil kerja keras kita” ujarnya dekat sekali
“Ya, andai saja aku bisa menyaksikannya juga…” aku tertunduk. Kegelapan yang mengkungkungku sontak membuat dadaku sesak sekali. Kurasakan tanah yang kupijak seolah berpendar dan tiba-tiba menenggelamkanku jauh ke dasar perut bumi. Dalam sekali. Pekat. Dan sendiri.
“Engh…Enggghh…tapi aku tidak keberatan kok menceritakan dan mendiskripsikannya untukmu…aku akan jadi matamu…” kudengar Rio gelagapan menyelesaikan kalimatnya.
“Tidak perlu Rio…aku sudah cukup bahagia dengan semuanya. Kamu telah mengajarkan aku banyak hal, membuat aku ‘melihat’ dengan cara yang berbeda. Aku bersyukur bertemu denganmu…”
Kurasakan tangan Rio menyentuh tanganku dan menggenggamnya.
“Aku akan selalu menjadi matamu Alia”
Aku luruh. Jatuh. Aku telah jatuh dan Rio mendekapku sangat hangat dalam kejatuhanku. Kurasakan irama detak jantungnya sangat ritmis dan menenangkanku.
“Biarkan aku takluk bersamamu…”

Proyek film pendek kami telah rampung dan kami sangat bangga sekali meskipun kami buat dengan teknologi yang sederhana. Diluar dugaan, film buatan kami ternyata banyak diminati oleh anak-anak di sekitar komplek perumahan, malah Rio juga berencana akan mengirimkan naskah dan film kami ke salah satu produser film indie di Jakarta.
“Inilah beda film kita dengan film-film Hollywood, Al…” ujarnya suatu ketika
“Apa bedanya?”
“Visi”
“Visi?”
“Ya. Visi. Kita tidak hanya sekadar membuat tontonan untuk anak-anak. Tetapi kita membuat visi. I saw them when I look into your eyes, Alia…”
“Do you think that the darkness is a vision? Is that your vision?”
“Banyak orang yang melek, tetapi ternyata mereka buta. Buta mata batinnya. Nuraninya. Jadi mereka tidak bisa melihat dunia di sekitarnya dengan jernih. Atau bahkan ada yang pura-pura buta dan sengaja menutup juga telinganya rapat-rapat. Lantas bagaimana mereka dapat memaknai kehidupannya, mengartikan pandangannya? Itulah orang-orang skeptis, oportunis. Orang-orang seperti itulah yang tidak memiliki visi. Visi perubahan ke arah perbaikan. Mereka tahunya hanya merusak dan merusak. Kamu adalah visi itu Alia…” Rio menyentuh wajahku. Kurasakan nafasnya menyapu hidung dan bibirku. Badanku terkesiap.
“Aku juga memiliki visiku…” bisikku
“Boleh aku tahu?” Rio menarik wajahnya
“Kamu… aku hanya bisa menyentuhmu dengan hatiku… dan aku pun mampu mendengar bisikmu tanpa kamu harus berkata-kata…namun aku tetap ingin melihatmu dengan mataku, Rio… aku ingin melukismu dengan mataku… dengan warna yang aku pilih sendiri… karena aku tidak ingin imaji… Aku akan terus memohon pada Tuhan, semoga aku diberikan cahaya untuk dapat segara menemukanmu…menemukan visiku…” aku tak kuasa lagi menahan linangan air mataku yang terus mengalir. Perih kurasakan menyayati buluh-buluh jiwaku. Dan kali kesekiannya aku protes pada Tuhan, namun kali ini Rio adalah alasan terbesarku. Dalam hati aku berteriak pada Tuhan, aku akan melakukan apapun untuk dapat melihatnya dan aku siap menanggung risiko yang paling buruk sekalipun.
Kami terdiam.
Sudah hampir seminggu ini Rio tidak menemuiku, katanya ada beberapa tugas yang harus ia selesaikan. Hanya suaranya saja yang selalu ku dengar setiap aku membuka mata dan ia akan memberikan cerita ringan sebelum aku tidur. Selama itu pula aku tersiksa dengan diriku sendiri. Aku tidak terbiasa berlama-lama tanpa kehadirannya. Jiwaku berontak dan keinginanku untuk memiliki pengelihatan semakin besar, akhirnya aku mengutarakannya pada ibuku. Sampai suatu ketika kudengar ayah sedang menelepon seorang dokter mata rekanannya yang kini bekerja di sebuah rumah sakit di Jerman. Namun ternyata karena aku memiliki kelainan pada beberapa syaraf di mataku, ada kemungkinan aku gagal dioperasi. Aku buta permanen. Seketika itu aku limbung. Mungkin memang harus ku kubur dalam-dalam keinginanku untuk mampu melihat cahaya. Melihat Rio.
“Halo Al, aku lagi di Jalan Kertajaya nih…ujannya deres banget. Kamu mau martabak manis nggak?” kudengar suara Rio di telepon
“Boleh…mau banget. Coklat kacang keju. Yang tebel ya” seruku girang. Rio tahu aku doyan sekali makan martabak manis
“Jangan tidur dulu ya…daag” klik.
Aku tak pernah menyangka bahwa itu adalah telepon terakhir darinya. Martabak manis itu tidak pernah sampai ke tanganku. Rio tidak pernah lagi mengunjungiku tiap sore. Ia juga tidak lagi mengiringiku bermain biola. Tidak ada lagi cerita sebelum tidur, aku pun harus bangun pagi tanpa suaranya yang membangunkanku. Rio meninggal dalam sebuah kecelakaan saat perjalanan menuju ke rumahku.
Rio, Sekarang apa lagi? Apa lagi kejutan dan rencanamu untukku? Setelah kau bawa aku untuk mempercayai duniamu yang katanya penuh warna, sekarang kau tinggalkan aku dengan sejuta tanda tanya dan misteri yang tak kumengerti. Aku telah mengalami banyak ketidakadilan, dan sepanjang hidupku aku berteriak pada Tuhan ‘Mengapa?’, sekarang malah kau yang lebih dulu mendapat giliran untuk bertemu dengan Nya sebelum aku menitipkan salam. Aku masih menunggumu dan aku tidak akan pernah tertidur sebelum kau tiba.
Kau pasti tau ini sangat berat, namun aku tidak akan mengatakan padamu bahwa aku sangat terluka dengan kepergianmu yang tanpa salam perpisahan itu. Satu yang harus selalu kau ingat, aku tidak akan pernah melupakan janji-janji mu untukku, dan kau berhutang semua itu padaku... Jika Tuhan tidak mengabulkan keinginanku untuk melihatmu, bahkan untuk mencium jasadmu pun aku tak bisa. Semoga kali ini Tuhan berbaik hati untuk menunjukkan jalanku untuk menagih semua janji yang belum terpenuhi. Menunjukkan arah dalam kegelapanku untuk segera menyusulmu karena aku tidak lagi memiliki alasan untuk terus berada di sini…sendiri! Rio, katakan bagaimana aku meneruskan kehidupanku…

Selama dua puluh tahun lebih aku telah hidup dalam kegelapan. Sepeninggal Rio, duniaku seolah menyempit. Bahkan aku telah menulikan telingku dari apapun, kutinggalkan semua aktivitasku, kututup pendengaranku dari nada dan bunyi-bunyian yang mengingatkanku padanya. Tetapi apa yang bisa kulakukan dengan keadaanku yang seperti sekarang ini. Hidupku tak ubahnya seperti mayat hidup. Tidak ada yang bisa dilakukan oleh seorang buta yang telah kehilangan semangat hidup. Mendengarkan detikan waktu seperti memasukkan racun dalam darahku.  Bagaimana aku bisa kabur, aku tidak pernah mengenal arah, bahkan aku pun tidak bisa membedakan kapan siang dan malam hari. Satu hal yang kuimani adalah Rio abadi dalam gelapku walaupun hanya bentukan imaji yang tak pernah mampu kusentuh lagi. Kini, aku seperti seorang terpidana yang pasrah menunggu kapan saat eksekusi tiba.
Satu bulan kemudian.
Gerimis masih terus mengguyur perlahan sesorean ini. Aku masih terduduk di atas gundukan tanah yang mulai becek. Bunga-bunga yang ada di atasnya ada beberapa yang sudah mengering. Kuusap perlahan batu nisan di samping kananku. Kupandangi lekat-lekat. Pedih.
Rio, kini aku mulai memahami semua yang pernah kau ungkapkan padaku. Tentang visi. Namun aku tidak pernah menyangka jika aku dan kamu harus membayarnya cukup mahal. Kau telah benar-benar mewujudkan visi itu sekarang sekaligus memenuhi janjimu padaku. Kau benar-benar menjadi mataku sekarang, dan aku akan berjanji dengan seluruh hidup dan jiwaku bahwa aku akan terus hidup untukmu, seperti kau yang terus menerangi gelap pandanganku. Damailah engkau dalam tidur abadimu, sayang…

0 komentar: