Kamu dan Waktuku



Tak lebih dari jumlah jari-jari tangan kiriku, aku melihatmu. Hanya dalam ruangan yang tak terlalu besar ini, aku dapat melihatmu dari seberang baris. Lelaki berjanggut keabu-abuan yang sibuk dengan Semiotic ala Barthes-nya tak menghalangi niatku untuk sedikit mencuri cara untuk melirik rambut sebahumu. Cuaca luar yang kadang kurang bersahabat tak membuatku gentar demi kamu yang tak pernah bersuara, yang selalu menghilang sebelum aku menyadarinya. Penamu seolah tak pernah berhenti berjalan, menggurat lembaran demi lembaran di bawah jemarimu. Kamu yang tak pernah mengalihkan perhatian, dan aku pun mulai merasa bahwa syaraf lehermu hanya mengikuti perintah motorik untuk menunduk dan menatap ke depan.

Hari ini aku melihat sahara di wajahmu, tetapi kemarin saat hujan berguntur masih ada bintang disana. Dan aku mulai sok tahu dengan apa-apa yang membuatmu berbeda di mataku. Meskipun masih sama sepertu dulu-dulu, kamu tetap tidak bersuara, tidak berpaling. Tetapi aku sudah mulai terbiasa dengan itu. Ku lihat kamu mulai membuka tas sandang berwarna jingga yang selalu setia menemani kemana kakimu berayun. Rambut panjang hitammu tergerai tanpa ornamen-ornamen yang menurutku justru akan mengurangi pesona anggunmu. Karena tanpa itu semualah kamu semakin terlihat sangat kamu. Selembar kertas putih bergaris mulai menghiasi bangku yang kamu tempati. Bolpen itu lagi, aku masih melihat peralatan yang sama seperti yang pernah kamu gunakan. Aku mulai detil mengamatimu satu per satu dan aku berharap kamu tidak menyadarinya bahwa aku sibuk dengan pikiran di benakku. Semuanya tentang kamu. Karena aku tidak ingin satu hari dalam sepekan ini akan menjadi neraka. Memang, aku akan selalu menantikan 90 menit yang aku anggap sangat bersejarah dalam hidupku. Paling tidak selama 6 bulan ke depan aku menemukan kamu yang menjadi pemacu waktuku. Walaupun hanya dengan memandang sesuatu yang sangat tidak menarik bagi orang lain.

Sangat jelas terekam di benakku, saat itu ada sekian puluh orang di ruangan ini. Dan lelaki berjanggut keabu-abuan itu tengah bersemangat memaparkan idealisme Derridian dan perspektif dekonstruksinya yang membuatku mual. Sungguh. Suhu yang lebih rendah dari udara di luar ruangan ini tidak membuatku rileks, malahan gerah bukan kepalang. Saat itu aku mungkin bersepakat dengan Freud, bahwa seseorang yang tengah mengalami tekanan cenderung akan melakukan displacement, sebagai salah satu bentuk pertahanan diri, defense mechanism. Displacement-ku kala itu adalah mengamati. Mengamati setiap inchi pergerakan. Ternyata semuanya bergerak, semuanya berubah. Dan pergerakan itu tak menarik perhatianku. Saat itulah, disaat semuanya berubah, bergerak, dinamis, kamu satu-satunya yang statis. Seolah benda yang tak bernyawa. Kamu tak bergeming entah untuk seper sekian menit, detik, atau satuan apapun. Wajahmu menatap lurus ke depan. Kau memiliki objek yang sangat egois, hingga matamu enggan menatap yang lain. Bolpoin di tanganmu diam. Kamu hanya bernafas. Hanya bernafas.

Di waktu-waktu selanjutnya, aku masih melihatmu dengan bahasa yang sama. Tanpa bahasa. Aku sendiri masih tidak mengerti, mengapa melihatmu dan memperhatikanmu menjadi suatu ritual yang membuatku ketergantungan. Adiksi. Sempat terpikir olehku untuk menyapamu, mengenalmu lebih dekat, atau paling tidak mendengar suaramu dekat di wajahku. Sebuah pembuktian bahwa kamu juga mampu berbahasa selain bahasa diam. Pernah juga aku membayangkan bagaimana kamu tersenyum, tertawa, berceloteh ataupun menangis. Karena jujur saja, aku tidak memiliki gambaran sama sekali tentangmu.

Tunggu.

Mengenalmu?

Ternyata aku masih harus menanyakan pada diriku sendiri sebesar apa rasa penasaranku padamu. Hanya ingin melihatmu berbicara kah? Mendengar suaramu kah? Atau mungkin mengetahui nama panggilanmu?
Terkadang aku masih tak mau merelakan saat-saat melihatmu, yang seolah berusaha berbicara dengan bahasa di tubuhmu. Dan aku akan selalu merindukan waktu saat aku menostalgiakanmu di mimpiku…

Aku merasakan kepalaku bergerak-gerak. Dan, ya Tuhan, kemana semua orang orang di sekitarku? Kemana bapak setengah baya yang selalu bersemangat dengan posmod itu? dan kamu?


Inspired by Gan for his precious moment @ posmod class

March, 12nd 2k8

2 komentar:

Ibnu Adfirisen mengatakan...

ayo di update lagi blognya...bagus loh

Unknown mengatakan...

makasi ko...sudah membaca tulisan saya...semangat ya... :)