Air belum Pernah Jatuh Cinta

Entah apa yang ia pikirkan saat itu, yang terlintas hanyalah mengenyahkan semua bayangan Agni seketika itu juga. Melenyapkan segala yang mengingatkan ia pada sosok yang membuatnya menjadi makhluk “yang tak dapat dimengerti”.
…ah…aku mulai membeku…

“ Aku bosan seperti ini, Air. Beri aku kesempatan. Beri aku waktu bersamamu…”
…beri aku kesempatan juga untuk lari darimu segera…
“ Kenapa, aku memang tidak pernah berarti apapun untukmu, aku yang tiba-tiba hadir di kehidupanmu dan memintamu untuk bersamaku”
…kau ingin tau? Kau benar-benar ingin tau?
“ Kamu nggak pernah tau ya gimana rasanya jatuh cinta? Nyiksa banget tau !!!”
…yah…syukurlah ternyata kau juga berperasa…dan itulah yang pernah aku rasakan dahulu…perih itu…sakit itu…aku mengingatnya dengan sempurna…

Yu…kamu dimana…tolong selamatkan aku…

Sendiri, terlalu relatif untuk digambarkan. Namun yang pasti, setiap manusia memiliki saat-saat tertentu untuk menjadi sendiri. Menjadi sendiri atau tidak, merupakan pilihan yang sangat asasi. Waktu juga terasa sangat subjektif dan menjadi personal ketika yang ada hanya sesosok citra tubuh yang sedang sibuk dengan esensi yang di dalamnya. Kadang, memunculkan banyak pertanyaan, mengapa ini dan itu, bagaimana ini dan itu. Tak jarang pula kesendirian menjadi media nostalgia sejarah yang sudah terlanjur terkesani dengan terlalu mengharu-biru, perih dapat menjadi lebih memilukan, dan seringkali hasrat menjadi terasa sangat emosional.
Ia mengingatnya semua. Setiap inci sejarah yang tergurat berbuku-buku di kalbunya masih tersimpan dengan sistematis dan tertata sangat presisi.

…Bumi…perasaanku yang paling sempurna...

Waktu sepuluh tahun bukanlah waktu yang hanya dapat terkecap pahit dan manis. Tapi dimana ia belajar tentang mengecap itu sendiri, bukan hanya mengidentifikasi rasa dengan indera. Terkadang ia masih saja merasa sangat naïf dan di satu sisi penyesalan itu terus membayanginya. Perasaan itu sangat tidak mudah ia lepaskan begitu saja. Bukan pula ia menjadi lebih bahagia dengannya, tetapi ia telah membangun sebuah penjara untuk dirinya. Bukan, Bumi yang telah memenjarakan hatinya, dan ia terlalu bandel untuk tetap betah bertahan.

Bumi telah menjadi pusat kehidupannya. Bumi yang melingkupi hari-harinya. Bumi pula lah yang menjadikannya menunggu.

“Cukup, Air ! Apa yang telah Bumi lakukan padamu? Ini tidak adil”
…aku tidak pernah meminta Bumi melakukan apapun terhadapku…
“Bumi tidak pernah nyata, kau melihatnya sebagai bayangan mozaik yang terfragmentasi. Itu palsu…mulailah hidup, Air”
…Bumi nyata bagiku. Ia hidup dan aku pun hidup. Apa yang salah… aku tidak memiliki ekspektasi atasnya. Aku pun tidak pernah mengganggu hidupnya. Aku takut. Aku hanya takut akan menyakitinya lagi, dan itu menyakitkanku…itu semua karena aku tak mampu mengendalikan diriku. Karena sejujurnya, aku ingin berada di dalam matanya, walau pun tidak di jiwanya. Tak pernah ku sadari bila semuanya menjadikannya berakhir dengan tidak indah. Bahkan aku tak pernah terlihat di matanya…
…Bumi, maafkan khilafku…
…kau telah mengajarkan segalanya. Damainya harapan dan indahnya pengorbanan. Sebaliknya, mengenalmu sama dengan beradaptasi dengan pedihnya penolakan dan yang sampai saat ini ku hapal adalah piluhnya sebuah penantian…
…Bumi, aku tidak bodoh…




Bukan trauma, bukan pula mengidap penyakit mental. Hanya malas. Malas berkomitmen, malas mematuhi serangkaian regulasi yang ia tak pernah sepenuh hati memenuhinya. Belum pernah, tepatnya.

Air belum pernah jauh cinta.


“ For inspiring elements of the world…for bringing the live within”

September 2007

0 komentar: