"Going to School Together": Education for All


Kalau Jogja dikenal sebagai kota pelajar, maka Belanda sebagai negara pelajar sepertinya sepertinya tidak terlalu berlebihan. Dengan populasi yang mencapai 6.491.852 jiwa (per 8 Maret 2008) ini merupakan negara ‘penghasil’ kaum intelektual yang telah teruji di dunia.




Sudah sangat lazim terdengar di telinga kita kalau Belanda termasuk negara yang sangat multikultur, dinamis, orangnya yang open-minded, dan anti-diskriminasi.Hal ini dituangkan dalam pasal 1 di Undang-Undang Dasar negara Belanda: anti-diskriminasi terhadap agama, kepercayaan, pandangan politik, ras, jender, kebangsaan, orientasi seksual, status perkawinan, cacat atau penyakit kronis, jam kerja (paruh waktu/penuh waktu), atau jenis pekerjaaan (kontrak/permanen).

Pelaksanaan perundang-undangan ini ternyata tidak setengah-setengah. Para penyandang cacat baik mental maupun fisik terbukti dapat mengenyam pendidikan formal yang sebanding kualitasnya dengan orang yang normal. Dukungan pemerintah ini diwujudkan tidak hanya dalam bentuk tuition-fee, tetapi juga tunjangan perawatan sampai dengan usia 18 tahun.

Langkah pertama yang diambil oleh orang tua jika memiliki anak yang cacat mental/fisik, adalah segera melaporkan kepada departmen pendidikan untuk diupayakan mendapatkan pendidikan yang sesuai dengan usia dan ketidakmampuannya. Atau bisa berkonsultasi dengan psikolog terlebih dahulu untuk mendiagnosa kekurangan yang dimiliki anak tersebut sehingga nantinya dapat memperoleh sistem perawatan dan pengajaran yang cocok, misalnya bagi anak yang ADD atau ADHD.

Pada tahun 1997 hampir ratusan institusi pendidikan dibentuk untuk mendukung siswa yang memiliki kebutuhan khusus. “Going to School Together” juga di menjadi salah satu kebijakan yang mendorong siswa-siswa ini untuk dapat bersekolah bersama-sama dengan siswa-siswa lain yang normal. Integrasi ini ternyata membawa dampak yang sangat positif, karena sikap diskriminatif tidak hanya datang dari orang yang normal, tetapi terkadang orang yang memiliki kekurangan cenderung menganggap diri mereka ‘berbeda’ dengan orang lain. Kesenjangan inilah yang kemudian diantisipasi oleh pemerintah Belanda sehingga semua siswa dapat saling mendukung satu sama lain untuk menciptakan iklim pendidikan yang kondusif.

Kerjasama dalam mendukung siswa dengan kebutuhan khusus ini dibangun antara banyak pihak, tidak hanya pemerintah dengan orang tua, pemerintah dengan institusi pendidikan, tetapi pihak-pihak swasta penyedia layanan kesehatan dan kesejahteraan ikut berperan aktif dalam mendukung gerakan kemanusiaan ini.

Community School
Ini adalah bentuk communnity-based support yang pertama kali dikembangkan di Rotterdam, tetapi kemudian direplikasi dan diadopsi oleh banyak institusi. CS ini sangat membantu siswa untuk mengembangkan kualitas sosial skill mereka.

Handicap Study +
Merupakan bentuk pendidikan bagi siswa yang berusia lebih dari 18 tahun. Dengan mengikuti pendidikan ini diharapkan siswa mampu melanjutkan ke jenjang pendidikan yang lebih tinggi lagi.

Nederlandse Spoorwegen (NS)
salah satu bentuk dukungan pemerintah untuk membantu para penyandang cacat adalah menyediakan layanan online terkait rute dan jam perjalanan kereta api. Layanan ini sangat berguna bagi penyandang cacat fisik yang akan melakukan perjalanan. Selain itu. layanan ini juga menyediakan jasa wheelchair di beberapa institusi pendidikan khusus untuk membantu memobilisasi siswanya.

Child Benefit
Tidak perlu cemas bagi warga negara Belanda yang memiliki anak penyandang cacat, karena pemerintah akan memperhatikan kesejahteraan setiap warga negaranya, dengan memberikan tunjangan sampai dengan usia 18 tahun. Untuk claim dan pengajuan tunjangan dapat dilakukan by internet.

Ada yang berbeda dengan negara kita tercinta, Indonesia?

Here, not only justice for all, but education also for all…

0 komentar: