Saya yakin kita cukup familiar dengan kata yang satu itu: Penolakan. Sepanjang kita hidup, pasti akan ada pengalaman mengecap bagaimana sebuah penolakan. Penolakan yang paling sederhana adalah ketika kita tidak lulus UMPTN atau SPMB, ditolak masuk Perguruan Tinggi Negeri. Atau, masihkah kita akrab bagaimana rasanya ditolak di sebuah perusahaan saat kita melamar pekerjaaan? Dan yang mungkin paling ‘menakutkan’ adalah ditolak ketika menyatakan cinta pada seseorang?
Saya pernah. Saya pernah mengalami semuanya. Saat ini juga. Walaupun sebelumnya saya pernah mengalami penolakan yang serupa beberapa tahun yang lalu, namun ternyata kaget dan kecewanya masih saja membuat saya jatuh.
Proposal tesis saya ditolak. Sungguh membuat hati saya cenat-cenut. Tapi memang benar, saya tidak mempunyai pilihan lain selain segera merombak bongkar pasang yang telah saya susun. Entahlah, akan saya mulai darimana.
Bukan. Ini bukan soal materi dan permasalahan ilmiah yang akan saya pecahkan. Ini soal semangat. Bisa dibayangkan, bagaimana sebuah kerja keras dan bahkan pengorbanan yang tidak main-main ternyata hanya dihargai sebuah penolakan! Bagaimana bisa???
Jujur saja, saya butuh waktu yang agak lama untuk merefresh dan mengembalikan semangat saya untuk memulai kerja keras saya dari nol. Nol. Ternyata memang tidak mudah ‘membuang’ sisa-sisa perjuangan yang tak terpakai. Sempat saya berpikir bahwa apa yang telah saya lakukan hanya sampah yang tak bisa saya gunakan kembali. Sampai suatu ketika saya benar-benar tidak sanggup lagi, jangankan menulis sesuatu, memikirkan apa yang akan saya tulis pun tak terbayang.
Dear, God. Let me show you my powerlessness tonight. If there is a chance for me to accomplish the-I-do-not-know-how-and-where-to-start-mission, grant me Your divine spirit to understand how to be sincere…
Saya hanya mampu berdoa semoga Alloh SWT segera membimbing dan menyadarkan saya bagaimana menjadi ikhlas dengan segala ketakberdayaan yang saat ini saya alami. Penolakan itu pahit memang. Apalagi soal cinta, daripada ditolak dan malu, lebih baik diam dan jadi secret admirer aja. Aman. Bahkan ekstremnya, ditolak cinta sama dengan kehilangan harga diri. (saya tertarik membuktikan hipotesis ini, hehehe). Lantas, apakah dengan diam, kita mendapatkan jawaban?
Penolakan itu risiko!
Apa bedanya proposal tesis yang ditolak dengan ditolak cinta? Sama! Sama-sama ditolak! Sama-sama pahit! Betul kan?
Jangan dikira saya tidak mempertaruhkan harga diri saya untuk sebuah naskah yang tidak lebih dari 30 halaman itu. Bahkan mungkin saya lebih tertekan berhari-hari sebelum menghadap Advisor saya. Kehilangan banyak waktu tidur, tenaga, pikiran, bahkan uang. Masih untung tidak mimpi buruk.
Lantas, apa persamaannya proposal tesis dan menyatakan cinta? Dua-duanya butuh pengorbanan. Keberanian. Keberanian untuk menghadapi risiko apapun.
Ukurannya sederhana, jika sesuatu itu kita anggap layak, worth enough, untuk diperjuangkan, maka mengapa memilih diam? Jika masih memikirkan harga diri, malu, enggan, malas, a…b…c...d… itu artinya kita tidak benar-benar all out dan serius terhadapnya. Niatan kita tidak sungguh-sungguh. That’s it.
Setelah beberapa hari saya hibernasi dan tidak melakukan aktivitas apapun. Sepertinya Alloh mulai ‘sebal’ dengan saya karena saya kerjaannya hanya tidur, nonton film, dengerin musik, tidur lagi, tidak menyentuh apapun yang berhubungan dengan tesis saya.
Suatu pagi, saya dikejutkan oleh sebuah sms, ternyata sms dari advisor saya, bu Rachmah Ida. Beliau meminta saya untuk segera mengumpulkan revisi proposal tesis dalam minggu ini. Bagaimana tidak kalap, jangankan mau merevisi, judul baru saja saya tidak punya. Lucunya, yang terbayang saat itu bukan topik atau tema yang akan saya tulis, tetapi membayangkan saya lulus, yudisium, diwisuda, dan foto bersama dengan teman-teman dan keluarga. Whalaa….selesai.
Sedetik kemudian saya tersenyum dan tertawa sendiri. Entahlah, mungkin hanya saya dan Alloh saja yang tahu bagaimana perasaan saya saat itu. Bagaimana dengan tiba-tiba saya mendapatkan suntikan endorfin yang demikian dahsyat hingga saya merasa sangat bergembira dan melihat semuanya menjadi terang benderang. Saya tidak lagi panik dengan pertimbangan-pertimbangan bla bla bla yang ternyata hanya drama ketakutan dalam benak saya sendiri. Satu hal yang saya imani, bahwa Alloh pasti tidak akan membiarkan saya ‘terbunuh’ begitu saja.
Stop Playing Save. Get out of your Comfort Zone and Challenge your World!
Kemudian, saya berpikir bahwa penolakan-penolakan yang pernah saya alami, kepedihan yang saya kecap, kekecewaan yang kerap hadir, membuat saya semakin mengakrabi mereka, tidak lagi menjadikan mereka musuh untuk selalu dihindari. Menurut saya, penolakan dan segenap cita rasa yang melengkapinya ibarat jamu kuat. Kalau tidak pahit, bukan jamu namanya. Namun pernahkah terpikir, dibalik pahit dan bau yang terkadang membuat muntah, memiliki khasiat yang sangat mujarab. Penolakan adalah bagian dari sebuah proses hidup yang amat berharga untuk dilewatkan. Dengan mengalaminya, kita akan diberikan kesempatan untuk meluruskan niat, menyempurnakan strategi kerja keras, serta memperbaiki sikap yang mungkin masih membuat Alloh mempertimbangkan kelayakan kita untuk menjadi seseorang yang lebih baik dari sebelumnya. Penolakan juga bisa berarti ujian untuk menempa mental menjadi lebih tangguh, parameter untuk mengukur setinggi apa kita menghargai sesuatu/seseorang yang akan kita perjuangkan. Ini bukan tentang harga diri, tetapi ini adalah tentang perjuangan kita sendiri, untuk diri kita sendiri, untuk sebuah pencapaian hidup. Penolakan berarti pelajaran bagaimana menjadi lebih bijak dan dewasa dalam memandang setiap permasalahan hidup. Penolakan adalah awal untuk memulai perjuangan yang baru!
Sometimes, Alloh breaks our spirit to save our soul; breaks our heart to make us whole; sends us pain so we can be stronger; sends us failure so we can be humble; send us illness so we can take care of ourselves.
0 komentar:
Posting Komentar