Regulasi Media dan Munculnya Sistem Kapitalisme
Ketentuan hukum yang mengatur media massa pers, perfilman dan penyiaran, menjadi dasar bagi posisi institusionalnya. Dengan ketentuan pokok dan peraturan masing-masing media, sifat suatu media dapat dilihat apakah sebagai institusi poitik, kultural ataukah ekonomi (bisnis). Undang-undang Pers tahun 1966 dan 1967 menggambarkan sifat media pers sebagai institusi politik. Sementara itu UU yang sama setelah direvisi lagi tahun 1982, mulai membawa semangat sebagi institusi ekonomi (bisnis) (Siregar, 2006).
Pada tahun 80an dunia pers telah memasuki era industrial, ditandai dengan padat modal, basis manajemen, dan orientasi profit. Dengan begitu secara empiris menunjukkan sifat pers sebagai institusi bisnis. Selain itu, keberadaan 3 wadah media massa sebagai institusi bisnis, politik, dan kultural, tidak dapat dipisahkan dari hukum besi yang berlangsung dalam masyarakat. Dengan sistem sosial yang digerakkan oleh mekanisme pasar, bahkan undang-undang nasionalpun akhirnya tidak dapat menghindari hukum besi ini. Dari sini tidak dielakkan bahwa realitas empiris yang terjadi adalah media tidak bisa lepas dari fungsinya sebagai institusi bisnis. Dengan begitu sifatnya sebagai institusi politik dan, atau kultural hanya sebagai idealisme, atau orientasi normati, bukan sebagai fungsi imperative (Siregar, 2006).
Ketika dikeluarkannya Peraturan Pemerintah (PP) no 20 tahun 1994 yang menyebutkan diperbolehkannya modal asing masuk ke dalam bisnis media massa, sempat mengejutkan beberapa pihak. Pengelola media seperti Don Quichot de la Mancha sepertinya saat ini sudah langka. Media pers yang dilahirkan hanya semata-mata berorientasi pasar. Kalau pun ada yang masih memegang idealisme seperti yang diperjuangkan Mancha,pengelola media harus mengkombinasikan orientasi normatifnya dengan hukum pasar. Praktisnya, para pengelola ini hanya bisa membedakan apakah sebagai pasar yang potensial untuk ‘digarap’ ataukah ataukah tidak. Kenyataannya yang berlangsung adalah sebuah kondisi yang tarik menarik antara berbagai institusi masyarakat dengan hukum pasar. Dalam perkembangan globalisasi yang akan membentuk dunia sebagai dlobal village, hukum pasar kiranya semakin menguat, sehingga wilayah yang dapat dikuasai oleh institusi masyarakat bahkan juga kekuasaan negara juga semakin terbatas. Tak menutup kemungkinan kebijakan perundang-undangan yang seyogyanya sebagai regulasi untuk mengatur para pemain media ini juga akan cenderung menyesuaikan diri dengan hukum pasar pula. Media yang telah menjadi sebuah industri tentu tidak akan lepas dari ketergantungan antar elemen yang membangunnya, termasuk modal dan sistem pasar yang dibangun. Oleh karenanya, keterikatan ini seluruhnya dipengaruhi dalam sebuah ikatan pasar dunia, ikatan sistem kapitalisme, yang tidak hanya sebatas transaksi jual-beli saham dan modal. Banyak kepentingan yang bermain disana, sehingga lambat laun yurisdiksi suatu negara pada akhirnya ditentukan oleh aturan main (rules) internasional. Salah satu contoh konkretnya adalah AFTA yang diresmikan pada tahun 2003, atau APEC tahun 2006. Sangat nyata bahwa penguasa dari sistem kapitalisme ini bukan lagi pada tataran pemerintah negara lagi, tapi sudah lebih pada tataran dunia. Aturan main dalam perdagangan menjadikan duni sebagai pasar tanpa batas negara dengan hukumnya yang bersifat liberal. Sebagai konsekuensi, alat ukur dalam menilai sebuah prodak ataupun keputusan juga ikut berubah. Misalnya prodak film, pada awalnya kita melihat bahwa film tersebut adalah prodak budaya, namun ketika dalam perdagangan internasional ditempatkan sebagai komoditas, maka nilainya pun akan berubah, film tersebut akan bernilai komersil (Siregar, 2006).
Sistem Kapitalisme dalam Media
Dari paparan tersebut sangat jelas bahwa industri media merupakan asset yang sangat menguntungkan dalam bisnis dan perdagangan internasional. Dalam bukunya, Agus Sudibyo mengutip premis dari seorang filsuf Jerman, Marx “Media massa adalah kelas yang mengatur”. Lebih jauh, premis ini menjelaskan tentang posisi media dalam sistem kapitalisme modern. Media massa diyakini bukan sekedar medium lalu lintas pesan antara unsur-unsur sosial dalam suatu masyarakat, melainkan juga berfungsi sebagai alat penundukan dan pemaksaan konsensus oleh kelompok yang secara ekonomi dan politik dominan. Melalui pola kepemilikan dan melalui produk-produk yang disajikan, media adalah perangkat ideologis yang melanggengkan dominasi kelas pemodal terhadap publik yang diperlakukan semata-mata sebagai konsumen, dan terhadap pemegang kekuasaan untuk memuluskan lahirnya regulasi-regulasi yang pro pasar (Sudibyo, 2004).
Sejarah telah menunjukkan bahwa media massa pada akhirnya merupakan lembaga kunci dalam masyarakat modern. Media massa mampu merepresentasikan diri sebagai publik sphere yang utama dan turut menentukan dinammika sosial, politik, dan budaya, di tingkat lokal maupun global. Media juga merupakan medium pengiklan utama yang secara signifikan mampu meningkatkan penjualan prodak barang maupun jasa. Media massa mampu menghasilkan surplus ekonomi dengan menjalankan peran penghubung antara dunia produksi dan konsumsi. Namun, hampir selalu terlambat disadari bahwa media massa, disisi lain juga menyebarkan atau memperkuat struktur ekonomi dan politik tertentu. Media tidak hanya memiliki fungsi sosial dan ekonomi, tetapi juga menjalankan fungsi ideologis. Oleh karena itu, fenomena media bukan hanya membutuhkan pengamatan yang didasarkan pada pendekatan-pendekatan ekonomi, melainkan juga pendekatan politik.
Konsentrasi Media sebagai Konvensi
Bisnis media yang bersifat massive serta padat modal inilah yang sesungguhnya menimbulkan banyak hal, seperti konglomerasi dan monopoli media, baik dalam hal ownership, maupun dalam prodak pemberitaannya. Karena melibatkan banyak elemen dan kepentingan dalam bisnis ini, maka secara tidak langsung dumunculkanlah banyak konvensi sebagai aturan main dalam industri media. Salah satu fenomena yang lazim ditemukan adalah fenomena konsentrasi media, hal ini merupaka reaksi dari media sebagai publik sphere dengan sejumlah fungsi-fungsi sosial yang melekat di dalamnya. Konsentrasi media ini salah satu upaya yang mengarahkan media pada konsolidasi dan konvergensi dalam bisnis media modern. Tentu saja ini tidak akan terlepas dari pengaruh penggunaan teknologi digital pada perangkat-perangkat media.
Jika dikaitkan dengan Empat Teori Pers yang dikemukakan oleh Siebert, Peterson, dan Schramm, maka konsentrasi media ini dapat kita lihat pada jaman Orba, dimana pemerintah sebagai agen pelaku sosial mempunyai kapasitas untuk menentukan arah proses komersialisasi, liberalisasi, privatisasi, dan internasionalisasi, yang kemudian melahirkan kapitaslisme krooni (Sudibyo, 2006). Kebijakan yang diimplementasikan adalah kebijakan yang dictator dan terpusat (authoritarian). Hal ini ditandai bahwa media dikuasai oleh sector privat (pemerintah), yang mengendalikan aturan main media.
0 komentar:
Posting Komentar