Superman. Salah satu film superhero yang paling masyhur dan popular. Tentu kita tidak asing dengan alur dan setting ceritanya meskipun pemeran tokoh Superman-nya digonta-ganti dari tahun ke tahun. Tetapi tetap saja kita hafal dengan kisahnya, si ganteng Clark Kent dan kekasihnya Lois Lane yang bekerja sebagai reporter di sebuah penerbit surat kabar Daily Planet. Pada tahun 2006 film ini sempat menjadi film dengan pendapatan tertinggi dan masuk ke dalam nominasi film box office (online).
Tidak dapat dielakkan memang, jika film-film yang diproduksi oleh Hollywood adalah termasuk film-film yang entertaining dan mampu menyenangkan mata (pleasing the eyes), selain setting yang dibuat sangat indah dan apik, aktor dan aktrisnya pun juga ‘dipilih’ yang mampu merepresentasikan tokoh yang akan diperankan. Sebagai contoh pemeran Superman/Clark Kent, selain memiliki paras yang tampan dan berpostur bagus, sang aktor juga harus memancarkan aura laki-laki ‘baik-baik’ dan ‘berkelas’. Tentu saja untuk lolos menjadi pemeran tokoh Superman harus melewati berbagai kualifikasi dan kriteria ‘laki-laki sejati’. Demikian juga halnya dengan tokoh perempuannya, hampir semua perempuan yang menjadi kekasih superhero digambarkan sebagai perempuan yang lemah, selalu menjadi target penjahat, tidak berdaya, berpostur gemulai (lemah), molek secara fisik, serta dependen kepada sang superhero.
Selain film Superman, masih banyak lagi film-film yang juga memiliki penggambaran yang serupa dan telah menjadi tontonan favorit khalayak sejak dahulu kala. Ternyata film-film tersebut tidak hanya menjadi must-see-movies-nya para remaja, namun para orang tua juga banyak yang masih menikmatinya sampai saat ini. Ini artinya bahwa film-film tersebut telah ‘diterima dengan baik’ oleh masyarakat. Penerimaan ini tidak hanya dikarenakan para pemerannya yang tampan dan cantik, namun lebih dari itu, masyarakat juga tanpa sadar menerima nilai-nilai yang tersirat pada film tersebut. Mereka melihat, menerima, meyakini, dan menginternalisasi dalam diri mereka sebagai personal value mereka.
Lebih detil, McQuail menjelaskan bahwa media berperan sebagai pengembangan wahana kebudayaan, bukan saja dalam pengertian pengembangan bentuk seni dan symbol, tetapi juga dalam pengertian pengembangan tata cara, mode, gaya hidup, dan norma-norma perilaku. Secara sederhana dapat disimpulkan bahwa media memberikan berbagai macam ‘pengaruh’ yang sangat masiv kepada pemirsanya.
Dalam ilustrasi film Superman diatas, jika diamati lebih detil dan mendalam, penggambaran tokoh-tokoh ceritanya, alur , serta settingnya tidak semata-mata dibuat begitu saja tanpa makna. Sebagai seorang superhero, Superman dibentuk sebagai seorang laki-laki yang benar-benar super, baik dalam arti secara kekuatan fisik dalam menumpas kejahatan maupun perilakunya. Dalam banyak adegan dan scene, ia ditampilkan sangat kuat secara fisik, dikagumi banyak orang termasuk para wanita karena memang parasnya yang rupawan, baik hati, dan seorang penyelamat kaum yang lemah. Sementara itu Lois Lane, meskipun ia memerankan seorang reporter yang handal, gigih, dan cerdas. Namun tetap saja ia selalu tak berdaya melawan penjahat dan pada akhirnya selalu diselamatkan oleh sang Superman. Penggambaran seperti demikian selalu ditampilkan berulang-ulang tidak hanya di dalam film Superman saja, namun hampir di semua tayangan, baik tayangan di bioskop maupun di televisi. Terpaan tayangan media yang terus menerus disuguhkan kepada khalayak tentu akan memberikan sebuah pengaruh dan bertimbal balik. Khalayak media menjadi ‘memaklumkan’ nilai-nilai bentukan media tersebut, termasuk nilai-nilai patriarkal yang dipromosikan oleh media tersebut seolah sebagai nilai-nilai yang memiliki kebenaran mutlak. Media menetapkan ukuran-ukuran serta kualifikasi bagi nilai-nilai tertentu, misalnya, Superman adalah ukuran yang sempurna bagi laki-laki sejati, meskipun tidak seratus persen seperti Superman, paling tidak seorang laki-laki sejati harus memiliki beberapa kualifikasi yang dimiliki oleh Superman. Sementara itu, seorang perempuan akan dicintai dan disayangi jika memiliki karakteristik seperti Lois Lane atau Marie Jane-Watson (kekasih Spiderman) yang lemah lembut dan baik hati, pasif, dan tidak boleh lebih unggul dari sang laki-laki. Sebaliknya, jika ia tidak memiliki kualifikasi tersebut, atau malah cenderung berkebalikan, maka ia akan ‘menerima konsekuensi’ dari kualifikasi tersebut, misalnya, jika ada perempuan yang suka melawan hukum, bersuara lantang, tidak tunduk kepada laki-laki, serta pemberontak, maka secara otomatis ia akan mendapatkan julukan sebagai perempuan nakal, perempuan penggoda, dan dalam media pun juga akan digambarkan betapa masyarakat sangat membenci dan memusuhinya. Dan yang pasti perempuan seperti itu bukanlah perempuan idaman sang superhero. Hal ini bisa dilihat dari beberapa tokoh antagonis di beberapa fairy tales, misalnya ibu tiri Cinderella, nenek sihir dalam Snow White, dll.
Film (termasuk sinetron) ketika menampilkan sosok perempuan dalam media, maka yang terjadi adalah apa yang disebut dengan konotasi. Dasar dari konsep konotasi ini adalah mitos bahwa perempuan direpresentasikan sebagaimana ia direpresentasikan oleh kacamata laki-laki bukan sebagaimana adanya realitas yang sesungguhnya (Kaplan dalam Fatkhurohman). Artinya bahwa perempuan tidak (berhak) memiliki sudut pandang sendiri, ia tidak memiliki otoritas akan dirinya bahkan untuk menampilkan dirinya pun ia masih bergantung pada cara pandang laki-laki. Betapa dominasi laki-laki menjadi sangat superior dan pada akhirnya inilah dasar terjadinya ketimpangan jender. Dalam hal ini contoh yang paling konkret adalah penggambaran perempuan dalam iklan-iklan prodak kecantikan, misalnya saja iklan pencerah wajah Pond’s. Dalam iklan Pond’s selalu menampilkan perempuan-perempuan yang berusaha mempercantik dirinya, mulai dari mencerahkan kulit wajahnya sampai dengan upaya mengurangi tanda-tanda penuaan. Upaya ini dilakukan bukan karena memang ia sendiri yang menginginkan, tetapi lebih atas dasar mendapatkan cinta si laki-laki pujaannya. Dari sini sangat jelas bahwa betapa dominasi ideologi patriarkhi sangat kuat dan pervasive. Perempuan hanya menjadi korban dari keinginan dan alat untuk menyenangkan mata para kaum laki-laki.
Dari deskripsi diatas, media merupakan pemegang kunci dalam mempromosikan ideologi tayangannya. Bagaimana media memotret sebuah fenomena kemudian dikemas dan ditayangkan menjadi sebuah ‘realitas’ yang dinikmati oleh khalayak. Media sering disebut sebagai cermin (mirror) yang menggambarkan masyarakat. Sebagai cermin, media diharapkan hadir dengan kadar objektivitas dan faktualitas. Untuk itu media harus netral, tidak boleh bersikap dalam menghadapi fakta sosial. Artinya, media adalah institusi yang merdeka, bebas. Namun apakah media menjadi benar-benar bebas dari kepentingan tertentu. Kebebasan pers berdasarkan asas demokrasi yang menjadi acuan nilai bersama (shared value) di ruang publik (public sphere). Dalam sebuah ruang publik, tidak hanya ada pasar, namun juga merupakan ajang bagi aktivitas manusia dalam konteks politik, hukum, dan budaya. Ruang ini menyediakan fakta yang menjadi bahan informasi media, sekaligus menerima informasi tersebut (Siregar, 2006). Dengan kata lain konsep ruang publik disini dapat dianalogikan sebagai battlefield dari sebuah realitas yang ditampilkan, dari nilai-nilai yang dikonstruksikan, dan dari kepentingan-kepentingan yang dimunculkan. Namun demikian, media sebagai ruang bersama fitrahnya juga memperhatikan beberapa nilai-nilai yang tidak boleh lenyap ketika menjalankan fungsi imperatif maupun fungsi subjektifnya. Pertama, ruang kebebasan dan netralitas, artinya media merupakan tempat yang merdeka, tidak berpihak pada kepentingan apapun dan siapapun. Kemerdekaan dan netralitas media akan terlihat dari bagaimana media menampilkan sebuah tayangan dan reportase, misalnya. Kedua, rasionalitas dan kecerdasan, media tidak hanya menjalankan fungsinya sebagai penghibur saja, namun media juga harus mencerdaskan kehidupan bangsa dengan menampilkan tayangan-tayangan yang masuk akal dan mendidik, bukan malah menampilkan tontotan yang akan mendegradasi budaya ataupun mempromosikan nilai-nilai pemecah belah masyarakat. Ketiga, orientasi pada derajad kemanusiaan, perwujudannya adalah melalui kesadaran dan pengembangan wacana public yang bertujuan untuk memerangi konstruksi social yang menindas hak asasi manusia. Orientasi semacam ini hendaknya menjadi “kurikulum” dalam penumbuhan nilai warga (civic education), melalui berbagai institusi kultural seperti keluarga, pendidikan, dan keagamaan (Siregar, 2006).
Disisi lain, John Fiske menjelaskan bagaimana sebuah peristiwa menjadi sebuah “peristiwa televisi” apabila telah diencode oleh kode-kode sosial, dalam bukunya Television Culture, Fiske menjelaskan tiga tahapan yang mengkonstruksi sebuah peristiwa, pertama adalah realitas (reality) yang akan ditandakan (encoded) sebagai realitas, misalnya tampilan, pakaian, perilaku, gesture, dll. Jika dalam bahasa tulis berarti berupa transkrip wawancara, dokumen, dll.
Pada tahap kedua disebut representasi (representation). Realitas yang terencode harus ditampakkan pada technical codes seperti kamera, lighting, editing, musik dan sound. Dalam bahasa tulis ada kata, kalimat, proposisi, foto, grafik, dan sebagainya. Sedangkan alam bahasa gambar atau televisi ada kamera, tata cahaya, editing, musik, dan sebagainya. Elemen-elemen ini kemudian ditransmisikan ke dalam kode representasional yang dapat mengaktualisasikan antara lain karakter, narasi, action, dialog, setting, dan sebagainya. Ini sudah nampak sebagai realitas televisi. Tahap ketiga adalah ideologi (ideology). Semua elemen diorganisasikan dan dikategorikan dalam kode-kode ideologis, seperti patriakhi, individualisme, ras, kelas, materialisme, kapitalisme, dan sebagainya. Ketika kita melakukan representasi atas suatu realita, menurut Fiske, tidak dapat dihindari adanya kemungkinan memasukkan ideologi dalam konstruksi realitas.
Dengan demikian realitas yang diciptakan media adalah realitas simbolik hasil produk atau rekayasa para pengelola (redaksi, wartawan, produser, dan semua orang yang bekerja di media). Konstruksi makna yang lebih dahsyat terjadi pada beberapa kata lewat representasi. Dalam tahap representasi, media dapat dengan sangat leluasa membentuk, membangun, dan bahkan menciptakan realitas buatannya dengan memasukkan unsur-unsur kepentingannya, mulai dari kepentingan politik, ekonomi, sampai budaya yang seolah olah realitas yang mereka tampilkan adalah memang realitas sosial yang apa adanya. Representasi merupakan cara media menampilkan seseorang, kelompok atau gagasan atau pendapat tertentu (Siregar, 2006). Sebagai contoh adalah sinetron yang sekarang marak digemari, tayangan sineton menampilkan tokoh-tokoh protagonis yang selalu ‘menderita’, dan hampir kesemua pemeran protagonisnya adalah perempuan. Disini digambarkan tokoh protagonis ini selalu mendapatkan siksaan dari saudara tirinya, ibu mertuanya, bahkan perempuan lain yang juga menginginkan kekasihnya. Ia digambarkan sangat submissive dan tak berdaya, saking kelewat baik hatinya, ia selalu ‘mengalah’ meskipun ia disiksa baik secara fisik maupun verbal. Dalam beberapa sinetron, seorang ibu tiri juga digambarkan sangat berlebihan, misalnya memiliki sifat yang arogan, dominan, kejam, culas, dan provokatif. Sementara di sisi lain, sinetron juga menampilkan sosok laki-laki yang berwibawa, baik hati, penyayang, dan selalu melindungi si perempuan dari kekejaman ibu tirinya. Kualifikasi-kualifikasi semacam itu lazim kita jumpai dalam banyak sinetron Indonesia, bahkan sudah menjadi trademark. Jika diamati lebih jauh, hampir tidak ada dalam satu hari media televisi yang tidak menayangkan sinetron, mulai dari sinetron di pagi hari, menjelang siang, sore, sampai prime-time.
Contoh lainnya adalah program berita/reportase. Pemberitaan tentang kematian dan perkosaan kerap kali kita temukan pada tayangan berita criminal. Namun ternyata masing-masing stasiun televisi memiliki poin of view yang berbeda dalam mengemas dan menampilkan beritanya. “Kematian” adalah peristiwa yang aktual terjadi namun ternyata satu stasiun TV lebih menyukai pemakaian kata ‘pembunuhan’, bahkan ada juga yang menggunakan kata ‘terbunuh’ dari pada kata ‘meninggal dunia’ atau ‘wafat’. Pemilihan bahasa yang dipergunakan dalam merepresentasikan berita juga sangat mempengaruhi nilai rasa khalayak, bagaimana kahalayak mempersepsikan apa yang mereka dengar dan lihat. Sama halnya ketika memberitakan tentang kasus pemerkosaan, kata ‘digagahi’, ‘dicabuli’ sering kita dengar dari pembaca berita dan selalu diulang-ulang. Sangat jelas bahwa perempuan selalu menjadi korban dan menjadi manusia yang tidak berdaya. Jika kasus perkosaan tersebut telah sampai di media, maka ia akan dikorbankan dua kali. Selain sebagai korban perkosaan, ia juga menjadi korban pemberitaan media.
Konsep konstruksi realitas popular diperkenalkan oleh Peter L. Berger bersama Thomas Luckman (Baran, 1999). Mereka berpendapat bahwa proses sosial melalui tindakan dan interaksinya, dimana individu secara intens menciptakan suatu realitas yang dimiliki dan dialami bersama secara subjektif. Berger dan Luckman memisahkan pemahaman kenyatan dan pengetahuan. Realitas sebagai kualitas yang terdapat di dalam realitas-realitas, yang diakui memiliki keberadaan (being) yang tidak tergantung kepada kehendak sendiri. Isi media pada hakikatnya adalah hasil konstruksi realitas dengan bahasa sebagai perangkat dasarnya. Bahasa bukan saja sebagai alat mempresentasikan realitas namun juga mampu menentukan bentuk apa yang akan diwujudkan dalam realitas tersebut. Oleh karena itu, media memiliki andil yang sangat kuat untuk memberikan pengaruh bagi pembentukan makna dan gambaran yang dihasilkan dari realitas yang dikonstruksinya (Sobur, 2001). Demikian juga yang terjadi dalam media televisi di Indonesia, para pelaku media terlebih dahulu melakukan seleksi terhadap pesan yang akan mereka tampilkan. Dalam proses inilah pengaruh latar belakang dan kepentingan-kepentingan turut campur dalam mengkonstruksi realitas. Tindakan para pelaku media inilah yang nantinya akan memberikan pengaruh kuat terhadap pembentukan makna maupun citra suatu realitas. Media juga memainkan peran khusus dalam mempengaruhi atau mempertahankan suatu budaya tertentu melalui informasi yang diproduksinya (Sobur, 2001)
Jika dikaitkan dengan film Superman, iklan Pond’s, sinetron Indonesia, dan beberapa program berita kriminal yang telah diilustrasikan sebelumnya, maka sangat jelas bahwa televisi dan bioskop menjadi sebuah media yang memberikan informasi yang kepada khalayak dan berpengaruh secara massiv. Hal ini karena media tersebut menayangkan serta mempromosikan nilai-nilai tertentu, dalam hal ini ideologi patriarki yang merupakan pangkal dari ketidakseimbangan jender. Perbedaan Penggambaran dan pembentukan makna pada laki-laki dan perempuan yang sangat tidak adil ini mengakibatkan sebuah upaya pemarjinalan kaum perempuan. Akibatnya perempuan selalu diposisikan menjadi manusia kelas kedua, tertindas, dan menjadi korban. Media secara langsung juga berperan dalam mengkonstruksi sebuah peristiwa yang kemudian (seolah-olah) menjadi realitas social, padahal yang sebenarnya adalah realitas media itu sendiri. Lebih jauh lagi, pelestarian idologi ini semakin subur dikarenakan nilai-nilai patriarki tersebut telah terlembagakan dan sengaja dilembagakan mulai dari keluarga sampai dengan pemerintahan (negara).
Referensi:
Baran, Stanley J., Introduction to Mass Communication (Media Literacy and Culture; Mayfield
Publishing Company, 1999).
Fiske, John., Television Culture (London: Routledge, 2001)
Sobur, Alex, Analisis Teks Media (Bandung: Remaja Rosda Karya, 2001).
Siregar, Ashadi., Etika Komunikasi (Jogjakarta: Pustaka Book Publisher, 2006)
www.detik.com