Menyederhanakan dengan Kasih (part II)


Pernahkah terpikir bahwa waktu yang kita lewati saat ini adalah waktu-waktu yang terakhir bagi kita? Pernahkah terpikir bahwa udara dan oksigen yang kita hirup tidak lagi dapat kita nikmati lagi? Atau, pernahkah terbayang bahwa wajah-wajah yang kita saksikan detik ini adalah wajah-wajah terakhir yang mampu kita lihat?

Saya ingat akan sebuah film Hollywood, tapi saya lupa judulnya, yang menceritakan tentang tragedi runtuhnya Pentagon pada 11 September beberapa tahun yang lalu. Sejujurnya saya tidak terlalu antusias dengan film-film Hollywood, karena banyak hal yang dipelintir kesana kemari. Dalam hal ini saya tidak sedang iseng mengomentari film-film Hollywood, namun ada spirit yang mengingatkan saya pada satu hal, yaitu bahasa kasih.

Akhir-akhir ini saya sangat menggemari terminology tersebut. Entahlah. Mungkin karena juga tengah mengalami sebuah proses yang masih belum tuntas, di tengah perjalanan Sang Sutradara mengajari saya bagaiman berbahasa dengan kasih. Walaupun saya menyari bahwa saya pun saat ini juga masih terbata-bata mengeja aksara-Nya satu demi satu.

Bersyukur saya berproses dari lingkungan dan bergaul dengan orang-orang yang sangat luar biasa, dari berbagai latar belakang, profesi, kepentingan, kasta, dan keyakinan. Mengenal mereka adalah sebuah berkah yang patut saya syukuri, karena saya percaya bahwa tidak setiap orang memiliki kesempatan seperti yang saya miliki. Maaf, terlepas dari kesombongan saya sebagai manusia biasa, namun itu benar adanya.

Pada awal perkuliahan, sekitar tahun 2002, saya mengenal teman-teman yang memiliki adiksi terhadap drugs, bagaimana mereka melepaskan diri dari belenggu ketagihan heroin, serta bertahan dengan pemulihannya. Saya mulai mengikuti perjalanan dan kehidupan mereka lebih dalam, memahami permasalahan mereka lebih jauh. Sampai akhirnya saya dilibatkan dalam sebuah komunitas pecandu drugs dan dunia adiksi. Bersyukur sekali, saya masih diberikan kekuatan iman dan keyakinan sehingga saya masih terlindung dari pengaruh negative dan keinginan untuk ikut mencoba drugs. Namun, yang ajaib dan sampai sekarang saya pikirkan adalah, teman-teman saya yang addicted tidak pernah sekalipun mempengaruhi saya untuk menggunakan drugs, walaupun itu hanya bercanda. Mungkin itu yang membuat saya betah bergaul dengan mereka sampai dengan akhir tahun 2004. Entahlah, yang saya rasakan saat itu adalah mereka begitu sangat menyayangi dan menjaga saya.

Tidak cukup sampai disana, teman-teman juga kerap mengundang dan mengajak saya untuk bergabung dalam sebuah private meeting, yang mereka beri nama Narcotics Anonymous (NA). Adalah sebuah support group yang diadakan setiap 2 kali seminggu, selasa dan jumat malam. Dalam meeting tersebut, mereka berkumpul dan sharing, curhat, dan saling menguatkan satu sama lain. Banyak sekali hal yang saya pelajari dan saya dapatkan dari NA, meskipun saya bukan seorang addict, tapi saya juga ikut berproses di dalamnya. Salah satunya adalah belajar ‘membaca’ bahasa kasih.

Tidak ada kasta disana, tidak ada diskriminasi, pembedaan warna kulit, kepentingan, dan keyakinan. Yang ada hanya satu spirit, yaitu pemulihan. Memahami dan mendekatkan diri kepada Kekuatan Yang Lebih Besar dari Diri Kita dengan keyakinan kita masing-masing. NA sangat lekat dengan kebersamaan, persaudaraan, dimana kita dapat saling mensupport satu sama lain. Ada spirit kekeluargaan dan pendampingan juga. Dapat dibayangkan, NA seperti sebuah spiritual meeting yang sangat khidmat. Saya juga mulai memahami bahwa teman-teman saya juga manusia yang juga ingin ‘hidup normal’ terlepas dari kesalahan dan khilaf yang mereka perbuat, namun saya cukup menghargai kerja keras dan usaha mereka untuk sembuh. Dari sana juga saya juga lebih memahami bahwa seorang addict terkadang bukan sebuah pilihan yang disengaja. Banyak hal yang melatarbelakangi. Kita tidak dapat menghakimi bahwa pengguna narkoba adalah sebuah kesalahan tunggal.

NA mengenalkan bahwa setiap orang berhak mendapatkan kasih sayang tidak peduli apakah dia Islam, bersalib, ataupun tidak bertuhan. Yang saya tahu, dan yang saya pahami bahwa kasih itu luas, kasih itu memberi, dan kasih itu damai. Sejujurnya saya bukan penganut multikulturalisme dan bukan pula seorang sekuleris. Saya masih berdiri teguh pada pijakan aqidah saya, karena bagaimanapun saya tetap akan memandang dari kacamata sebagai seorang muslimah. Walaupun tidak dapat saya pungkiri, ilmu agama saya masih sangat dangkal.

Masih berbicara tentang kasih, suatu ketika seorang teman saya relapse setelah sekian waktu abstinen. Ia terjerumus lagi pada adiksinya. Sering kali ia melakukan hal-hal bodoh yang cenderung merugikannya, bahkan merugikan keluarga dan orang lain. Sangat menyusahkan dan merepotkan memang. Namun, saya cukup surprise dengan upaya teman-teman saya di NA, mereka tetap mendampingi dan mensupport dia untuk dapat pulih. Membantunya untuk mendapatkan keyakinan spiritualnya, disamping juga membantunya untuk mendapatkan perawatan secara medis medis dan rehabilitasi. Jika dipikir secara sederhana, ngapain juga saya peduli dengan masalah mereka, mau-maunya repot dan pusing memikirkan jalan keluarnya, peduli amat dengan mereka yang menggunakan drugs, karena saya juga punya masalah dan tujuan hidup yang lebih worthed. Ternyata saya bukan termasuk orang yang tidak bisa tidak peduli dengan keadaan yang ada di depan mata saya. Saya hanya melihat: yang di sekeliling saya adalah manusia ciptaan Alloh. Dan dalam menciptakan ciptaanNya, Alloh tidak diskriminatif. Alloh berbicara dengan bahasa kasihnya pada semua ciptaanNya. Itu saja yang saya pahami. Sesederhana itu saya membaca aksara Alloh yang Ia tampakkan pada orang-orang di sekitar saya. Jadi alangkah kerdil dan congkaknya saya jika saya bersikap diskriminatif hanya sekedar mengungkapkan empati dan kepedulian saya. Ketika itu yang ada di benak saya adalah, bagaimana hidup saya dan diri saya berguna dan bermanfaat bagi orang-orang sekitar saya, teman-teman yang membutuhkan. Saudara-saudara yang saya sayangi. Saya tidak berduit, dan saya tidak memiliki kekuatan apapun untuk merubah keadaan. Yang saya mampu berikan saat itu hanya dukungan, semangat, dan pertemanan yang hangat. Dan sebuah keluarga. Oleh karena itu, saya tidak mau menyusahkan diri dengan kotak-kotak dan batasaan yang justru membuat pandangan kita jadi terbatasi dan terhalang. Saya hanya ingin melihat dan memahami realitas secara utuh dan tidak terbelah. Karena kasih itu tidak diskriminatif.

Itu definisi kasih menurut saya.

[Cont’d]


Dedicated to: K’ Bayu, K’ Hari, K’ Sinyo, K’ Wishnu, K’Bonex, K’ Risky (R.I.P), Maknyak Lia, and others…wherever you are. I love you all Guyz and God bless you.. J “Just for Today”

9 komentar:

dafi mengatakan...

hidup untuk berbagi kebahagiaan.. mantab tulisane.. keep spirit yoo..

Unknown mengatakan...

suwun...suwun...mari jadikan hidup lebih bermanfaat :)

Watiek Ideo mengatakan...

Wow pet,baca tulisanmu bikin trharu. Ditambah pas bc yg bagian dedicated to bla..bla..

Unknown mengatakan...

iya Wot, aku bener2 berterimakasih pada mereka semuanya...hehe...wherever they are! :)

Unknown mengatakan...

makasih dek.............tulisane mengingatkan aq akan meninggal.....kesimpulane ingin selalu berbuat baik di setiap ada kesempatan

Unknown mengatakan...

makasih dek

Unknown mengatakan...

siiiiip.......emang pantas jadi team kreatif sampean dek

Unknown mengatakan...

kaka': hehehe makasi juga udah baca...tim kreatif opo kak??

Unknown mengatakan...

team kreatif opo ae............soale sampean seneng nulis