ADIKSI


‘Kamu’  : Saat jalan-jalan di Bringharjo, banyak warung kopi. Jadi inget kamu.
    Apa kabar, cinta kedua?
Aku        : Cinta kedua?
‘Kamu’  : Ya, sama-sama bikin aku adiksi
Aku        : Wew!, pemulihan itu mahal… ;)
‘Kamu’  : Aku enggak mau pulih. Aku mau adiksi sampai mati ;)
Aku        : Tapi aku nggak mau jadi penyebab kamu mati L
‘Kamu’  : Pilih mana, aku mati karena kopi atau karena kamu?
Aku        : [speechless]
    Miss you lots J

Titik Koordinat

Selalu saja kamu mengeluhkanku yang selalu mempertanyakan semuanya tanpa ada ujung akhirnya
Demikian juga aku yang tak pernah mengerti cara berpikirmu yang sederhana dan beranggapan bahwa semuanya ini given, fixed.
Mana ada di dunia ini yang datang begitu saja dari sono-sononya, ujarku

Jamu kuat itu bernama: Penolakan!


Saya yakin kita cukup familiar dengan kata yang satu itu: Penolakan. Sepanjang kita hidup, pasti akan ada pengalaman mengecap bagaimana sebuah penolakan. Penolakan yang paling sederhana adalah ketika kita tidak lulus UMPTN atau SPMB, ditolak masuk Perguruan Tinggi Negeri. Atau, masihkah kita akrab bagaimana rasanya ditolak di sebuah perusahaan saat kita melamar pekerjaaan? Dan yang mungkin paling ‘menakutkan’ adalah ditolak ketika menyatakan cinta pada seseorang?

Ruang Kosong


Jam 12 kurang seperempat menjelang tengah malam. Penat, letih, tak bisa tidur, dan seluruh emosi ini bercampur jadi satu hingga mengingatkanku pada peristiwa bertahun-tahun yang lalu.
Aku mencoba memulai menulis. Kucoba untuk berkonsentrasi, berusaha sekuat tenaga untuk mengumpulkan sisa-sisa semangat untuk menyelesaikan tugas akhir yang rupanya lebih berat dari yang aku pernah bayangkan. Bukan soal materi dan permasalahan ilmiah yang harus aku pecahkan. Namun lebih karena semangat yang mulai terlepas satu persatu. Harapan…
Hmmm… akhirnya aku menyerah. Kurebahkan badanku, dan kutarik nafasku dalam-dalam.

Mawar Jingga di Suatu Sore

Tidak perlu menjadi pahlawan super untuk menyelamatkan hariku, Jadilah dirimu sendiri yang sejujur-jujurnya.