Hukum Mencela Agama Lain

Allah swt berfirman, "Dan janganlah kamu memaki sesembahan-sesembahan yang mereka sembah selain Allah, karena mereka nanti akan memaki Allah dengan melampaui batas tanpa pengetahuan. Demikianlah Kami jadikan setiap umat menganggap baik pekerjaan mereka. Kemudian kepada Tuhan merekalah kembali mereka, lalu Dia memberitakan kepada mereka apa yang dahulu mereka kerjakan." (al-An'am:108).

Islam melarang kaum muslimin mencela sesembahan orang-orang kafir tanpa pengetahuan. Ketentuan ini ditujukan agar pencelaan itu tidak berakibat pencelaan balik terhadap Allah swt. Mencela kekafiran, kesyirikan, dan sesembahan-sesembahan palsu selain Allah swt adalah perkara yang hukum asalnya mubah. Akan tetapi jika pencelaan itu mengakibatkan dicelanya Allah dan kesucian kaum muslimin, maka pencelaan terhadap sesembahan-sesembahan orang-orang kafir tersebut menjadi haram dilakukan.

Berdasar ayat di atas, para 'ulama ushul menetapkan suatu kaidah, "Wasilah (perantara) menuju keharaman adalah haram". Setiap perbuatan mubah jika disangka kuat akan mengantarkan kepada keharaman, maka perbuatan itu menjadi haram.

Ini sesuai dengan sabda Rasulullah saw yang termaktub dalam shahih Bukhari dan Muslim,


"Termasuk dosa besar seorang laki-laki yang mengolok dua orang tuanya." Kemudian shahabat bertanya, "Wahai Rasulullah saw, bagaimana seorang laki-laki itu bisa mengolok dua orang tuanya? Rasul menjawab, "Ia mengolok bapak seorang laki-laki, dan lelaki itu mengolok bapaknya, kemudian ia mengolok ibu lelaki itu, dan laki-laki itu balas mengolok ibunya."

Allah swt juga berfirman, "Dan janganlah kamu berdebat dengan Ahli Kitab, melainkan dengan cara yang paling baik, kecuali dengan orang-orang yang dzalim diantara mereka, dan katakanlah, "Kami telah beriman kepada (kitab-kitab) yang diturunkan kepada kami dan yang diturunkan kepadamu; Tuhan kami dan Tuhanmu adalah satu; dan kami hanya kepada-Nya berserah diri." (al-'Ankabut;46)

Ibnu Jarir dan Ibnu Abiy Hatim menuturkan sebuah riwayat dari Ibnu 'Abbas ra, yang mengisahkan tentang komentar orang-orang kafir tatkala turun firman Allah swt,


"Dan janganlah kamu memaki sesembahan-sesembahan yang mereka sembah selain Allah, karena mereka nanti akan memaki Allah dengan melampaui batas tanpa pengetahuan." (al-An'am:108). Orang-orang kafir pun berkata, "Wahai Mohammad, sungguh engkau hentikan pencelaanmu terhadap sesembahan-sesembahan kami, atau kami akan memaki sesembahanmu. Kemudian Allah melarang kaum muslimin mencela berhala-berhala mereka yang mengakibatkan mereka mencela Allah tanpa batas dan tanpa pengetahuan."

Ayat tersebut menjelaskan bahwa setiap umat menyakini bahwa perbuatan, dan agamanya adalah paling baik. Mereka tidak ingin seorangpun mencela agama mereka. Mencela manusia hanyalah hak Allah. Allah tidak memberikan mencela manusia kepada Rasul. Para rasul, tidak lain kecuali menyampaikan dengan terang, dan berdakwah dengan hikmah, dan mau'idhah al-hasanah (contoh yang baik).

Namun, keterangan di atas tidak boleh ditafsirkan bahwa kita harus bermanis muka, dan bersikap nifaq (terhadap aqidah agama bathil) dan meninggalkan aktivitas menyeru kepada kebenaran. Namun, maksudnya adalah tidak "melecehkan" (sesembahan agama bathil) hingga menyebabkan terjadinya pelecehan dan penghinaan balik.

Ketika Allah swt mengutus Musa as dan Harun as kepada Fir'aun, Allah berfirman kepada keduanya,

"Pergilah kamu beserta saudaramu dengan membawa ayat-ayatKu, dan janganlah kamu berdua lalai dalam mengingatKu. Pergilah kamu berdua kepada Fir'aun, sesungguhnya dia telah melampaui batas; maka berbicaralah kamu berdua kepadanya dengan kata-kata yang lemah lembut, mudah-mudahan ia ingat atau takut."(Thaha:43). Nabi Musa pun tatkala menyeru kepada raja Fir’aun, beliau as menyeru dengan perkataan yang sangat halus dan sopan, “Sesungguhnya telah diwahyukan kepada kami bahwa siksa itu (ditimpakan) atas orang-orang yang mendustakan dan berpaling". (Thaha:48).

Islam memerintahkan kita untuk tidak mencela pemeluk keyakinan-keyakinan non Islam, walupun keyakinan mereka layak untuk mendapatkan celaan. Sebab, pencelaan yang tidak didasarkan pada pengetahuan akan memadamkan cahaya aqal dan menyalakan naluri permusuhan dalam jiwa. Selain itu, pencelaan tanpa dasar pengetahuan juga akan menutup pintu penerimaan terhadap da'wah Islam. Di sisi lain, Islam telah memerintahkan kita untuk menjelaskan kebathilan 'aqidah-'aqidah bathil, serta menunjukkan kehinaan dan keburukannya bila keyakinan itu dipeluk dan diamalkan, dengan cara yang jelas dan argumen yang kuat.

ya Allah jangan Engkau hukum kami jika kami tersalah atau kami lupa.


(disadur dari berbagai sumber)

Industri Televisi dalam sistem kapitalisme

Regulasi Media dan Munculnya Sistem Kapitalisme

Ketentuan hukum yang mengatur media massa pers, perfilman dan penyiaran, menjadi dasar bagi posisi institusionalnya. Dengan ketentuan pokok dan peraturan masing-masing media, sifat suatu media dapat dilihat apakah sebagai institusi poitik, kultural ataukah ekonomi (bisnis). Undang-undang Pers tahun 1966 dan 1967 menggambarkan sifat media pers sebagai institusi politik. Sementara itu UU yang sama setelah direvisi lagi tahun 1982, mulai membawa semangat sebagi institusi ekonomi (bisnis) (Siregar, 2006).

Pada tahun 80an dunia pers telah memasuki era industrial, ditandai dengan padat modal, basis manajemen, dan orientasi profit. Dengan begitu secara empiris menunjukkan sifat pers sebagai institusi bisnis. Selain itu, keberadaan 3 wadah media massa sebagai institusi bisnis, politik, dan kultural, tidak dapat dipisahkan dari hukum besi yang berlangsung dalam masyarakat. Dengan sistem sosial yang digerakkan oleh mekanisme pasar, bahkan undang-undang nasionalpun akhirnya tidak dapat menghindari hukum besi ini. Dari sini tidak dielakkan bahwa realitas empiris yang terjadi adalah media tidak bisa lepas dari fungsinya sebagai institusi bisnis. Dengan begitu sifatnya sebagai institusi politik dan, atau kultural hanya sebagai idealisme, atau orientasi normati, bukan sebagai fungsi imperative (Siregar, 2006).

Ketika dikeluarkannya Peraturan Pemerintah (PP) no 20 tahun 1994 yang menyebutkan diperbolehkannya modal asing masuk ke dalam bisnis media massa, sempat mengejutkan beberapa pihak. Pengelola media seperti Don Quichot de la Mancha sepertinya saat ini sudah langka. Media pers yang dilahirkan hanya semata-mata berorientasi pasar. Kalau pun ada yang masih memegang idealisme seperti yang diperjuangkan Mancha,pengelola media harus mengkombinasikan orientasi normatifnya dengan hukum pasar. Praktisnya, para pengelola ini hanya bisa membedakan apakah sebagai pasar yang potensial untuk ‘digarap’ ataukah ataukah tidak. Kenyataannya yang berlangsung adalah sebuah kondisi yang tarik menarik antara berbagai institusi masyarakat dengan hukum pasar. Dalam perkembangan globalisasi yang akan membentuk dunia sebagai dlobal village, hukum pasar kiranya semakin menguat, sehingga wilayah yang dapat dikuasai oleh institusi masyarakat bahkan juga kekuasaan negara juga semakin terbatas. Tak menutup kemungkinan kebijakan perundang-undangan yang seyogyanya sebagai regulasi untuk mengatur para pemain media ini juga akan cenderung menyesuaikan diri dengan hukum pasar pula. Media yang telah menjadi sebuah industri tentu tidak akan lepas dari ketergantungan antar elemen yang membangunnya, termasuk modal dan sistem pasar yang dibangun. Oleh karenanya, keterikatan ini seluruhnya dipengaruhi dalam sebuah ikatan pasar dunia, ikatan sistem kapitalisme, yang tidak hanya sebatas transaksi jual-beli saham dan modal. Banyak kepentingan yang bermain disana, sehingga lambat laun yurisdiksi suatu negara pada akhirnya ditentukan oleh aturan main (rules) internasional. Salah satu contoh konkretnya adalah AFTA yang diresmikan pada tahun 2003, atau APEC tahun 2006. Sangat nyata bahwa penguasa dari sistem kapitalisme ini bukan lagi pada tataran pemerintah negara lagi, tapi sudah lebih pada tataran dunia. Aturan main dalam perdagangan menjadikan duni sebagai pasar tanpa batas negara dengan hukumnya yang bersifat liberal. Sebagai konsekuensi, alat ukur dalam menilai sebuah prodak ataupun keputusan juga ikut berubah. Misalnya prodak film, pada awalnya kita melihat bahwa film tersebut adalah prodak budaya, namun ketika dalam perdagangan internasional ditempatkan sebagai komoditas, maka nilainya pun akan berubah, film tersebut akan bernilai komersil (Siregar, 2006).

Sistem Kapitalisme dalam Media

Dari paparan tersebut sangat jelas bahwa industri media merupakan asset yang sangat menguntungkan dalam bisnis dan perdagangan internasional. Dalam bukunya, Agus Sudibyo mengutip premis dari seorang filsuf Jerman, Marx “Media massa adalah kelas yang mengatur”. Lebih jauh, premis ini menjelaskan tentang posisi media dalam sistem kapitalisme modern. Media massa diyakini bukan sekedar medium lalu lintas pesan antara unsur-unsur sosial dalam suatu masyarakat, melainkan juga berfungsi sebagai alat penundukan dan pemaksaan konsensus oleh kelompok yang secara ekonomi dan politik dominan. Melalui pola kepemilikan dan melalui produk-produk yang disajikan, media adalah perangkat ideologis yang melanggengkan dominasi kelas pemodal terhadap publik yang diperlakukan semata-mata sebagai konsumen, dan terhadap pemegang kekuasaan untuk memuluskan lahirnya regulasi-regulasi yang pro pasar (Sudibyo, 2004).

Sejarah telah menunjukkan bahwa media massa pada akhirnya merupakan lembaga kunci dalam masyarakat modern. Media massa mampu merepresentasikan diri sebagai publik sphere yang utama dan turut menentukan dinammika sosial, politik, dan budaya, di tingkat lokal maupun global. Media juga merupakan medium pengiklan utama yang secara signifikan mampu meningkatkan penjualan prodak barang maupun jasa. Media massa mampu menghasilkan surplus ekonomi dengan menjalankan peran penghubung antara dunia produksi dan konsumsi. Namun, hampir selalu terlambat disadari bahwa media massa, disisi lain juga menyebarkan atau memperkuat struktur ekonomi dan politik tertentu. Media tidak hanya memiliki fungsi sosial dan ekonomi, tetapi juga menjalankan fungsi ideologis. Oleh karena itu, fenomena media bukan hanya membutuhkan pengamatan yang didasarkan pada pendekatan-pendekatan ekonomi, melainkan juga pendekatan politik.

Konsentrasi Media sebagai Konvensi

Bisnis media yang bersifat massive serta padat modal inilah yang sesungguhnya menimbulkan banyak hal, seperti konglomerasi dan monopoli media, baik dalam hal ownership, maupun dalam prodak pemberitaannya. Karena melibatkan banyak elemen dan kepentingan dalam bisnis ini, maka secara tidak langsung dumunculkanlah banyak konvensi sebagai aturan main dalam industri media. Salah satu fenomena yang lazim ditemukan adalah fenomena konsentrasi media, hal ini merupaka reaksi dari media sebagai publik sphere dengan sejumlah fungsi-fungsi sosial yang melekat di dalamnya. Konsentrasi media ini salah satu upaya yang mengarahkan media pada konsolidasi dan konvergensi dalam bisnis media modern. Tentu saja ini tidak akan terlepas dari pengaruh penggunaan teknologi digital pada perangkat-perangkat media.

Jika dikaitkan dengan Empat Teori Pers yang dikemukakan oleh Siebert, Peterson, dan Schramm, maka konsentrasi media ini dapat kita lihat pada jaman Orba, dimana pemerintah sebagai agen pelaku sosial mempunyai kapasitas untuk menentukan arah proses komersialisasi, liberalisasi, privatisasi, dan internasionalisasi, yang kemudian melahirkan kapitaslisme krooni (Sudibyo, 2006). Kebijakan yang diimplementasikan adalah kebijakan yang dictator dan terpusat (authoritarian). Hal ini ditandai bahwa media dikuasai oleh sector privat (pemerintah), yang mengendalikan aturan main media.


Memaafkan


" memaafkan adalah kunci kebahagiaan"

aku sepakat dengan itu, dan aku mengamininya. tapi bukan lantas aku memaksa diriku untuk memaafkan sesuatu, karena menurutku memaafkan adalah proses alami, kita tidak bisa dipaksa untuk memaafkan sesuatu, baik masa lalu, kekalahan, seseorang, dan mungkin kepedihan dalam jiwa kita.
memaafkan memiliki nilai rasa yang agung, bukan hanya sekedar berkompromi:
"oke...baiklah, aku memaklumkan...karena memang harus demikian adanya"
atau
"ya sudahlah, meskipun itu bukan sepenuhnya kesalahanku, tapi aku memaafkannya"

lantas, bagaimana jika kita telah mengucapkan kalimat itu, apakah keadaan menjadi lebih baik? apakah diri kita menjadi lebih lapang?

mungkin ya,
kata-kata yang bersifat kompromi terkadang manjur untuk menipu otak kita, jika beruntung, persepsi kita pun bisa berubah. otak adalah mesin kita untuk berpikir dan berlogika, dia juga yang membuat orang menjadi jenius sekaligus bodoh. betapa bodohnya otak karena ternyata dapat ditipu oleh muslihat lidah...kekuatan kata-kata.

mungkin tidak,
karena memafkan tidak memiliki rumus seperti matematika atau membutuhkan hapalan seperti teori-teori sosial. memafkan adalah proses seperti ketika kamu pergi ke toilet...atau mungkin seperti kamu mengerjakan ujian ebtanas. setiap orang memiliki sudut pandang dan nilai rasa yang berbeda. namun yang terpenting adalah, memaafkan adalah ketika kita dapat menjalani waktu tanpa dibebani oleh kesedihan, kekecewaan, dendam, amarah, dan perasaan negatif lainnya. disinilah guna hati, ia merasakan, tidak berhitung. bertanyalah pada hati.

betapa berharganya kita. sudahkah kita memaafkan?




Media dan Konstruksi Realitas

Superman. Salah satu film superhero yang paling masyhur dan popular. Tentu kita tidak asing dengan alur dan setting ceritanya meskipun pemeran tokoh Superman-nya digonta-ganti dari tahun ke tahun. Tetapi tetap saja kita hafal dengan kisahnya, si ganteng Clark Kent dan kekasihnya Lois Lane yang bekerja sebagai reporter di sebuah penerbit surat kabar Daily Planet. Pada tahun 2006 film ini sempat menjadi film dengan pendapatan tertinggi dan masuk ke dalam nominasi film box office (online).

Tidak dapat dielakkan memang, jika film-film yang diproduksi oleh Hollywood adalah termasuk film-film yang entertaining dan mampu menyenangkan mata (pleasing the eyes), selain setting yang dibuat sangat indah dan apik, aktor dan aktrisnya pun juga ‘dipilih’ yang mampu merepresentasikan tokoh yang akan diperankan. Sebagai contoh pemeran Superman/Clark Kent, selain memiliki paras yang tampan dan berpostur bagus, sang aktor juga harus memancarkan aura laki-laki ‘baik-baik’ dan ‘berkelas’. Tentu saja untuk lolos menjadi pemeran tokoh Superman harus melewati berbagai kualifikasi dan kriteria ‘laki-laki sejati’. Demikian juga halnya dengan tokoh perempuannya, hampir semua perempuan yang menjadi kekasih superhero digambarkan sebagai perempuan yang lemah, selalu menjadi target penjahat, tidak berdaya, berpostur gemulai (lemah), molek secara fisik, serta dependen kepada sang superhero.

Selain film Superman, masih banyak lagi film-film yang juga memiliki penggambaran yang serupa dan telah menjadi tontonan favorit khalayak sejak dahulu kala. Ternyata film-film tersebut tidak hanya menjadi must-see-movies-nya para remaja, namun para orang tua juga banyak yang masih menikmatinya sampai saat ini. Ini artinya bahwa film-film tersebut telah ‘diterima dengan baik’ oleh masyarakat. Penerimaan ini tidak hanya dikarenakan para pemerannya yang tampan dan cantik, namun lebih dari itu, masyarakat juga tanpa sadar menerima nilai-nilai yang tersirat pada film tersebut. Mereka melihat, menerima, meyakini, dan menginternalisasi dalam diri mereka sebagai personal value mereka.

Lebih detil, McQuail menjelaskan bahwa media berperan sebagai pengembangan wahana kebudayaan, bukan saja dalam pengertian pengembangan bentuk seni dan symbol, tetapi juga dalam pengertian pengembangan tata cara, mode, gaya hidup, dan norma-norma perilaku. Secara sederhana dapat disimpulkan bahwa media memberikan berbagai macam ‘pengaruh’ yang sangat masiv kepada pemirsanya.

Dalam ilustrasi film Superman diatas, jika diamati lebih detil dan mendalam, penggambaran tokoh-tokoh ceritanya, alur , serta settingnya tidak semata-mata dibuat begitu saja tanpa makna. Sebagai seorang superhero, Superman dibentuk sebagai seorang laki-laki yang benar-benar super, baik dalam arti secara kekuatan fisik dalam menumpas kejahatan maupun perilakunya. Dalam banyak adegan dan scene, ia ditampilkan sangat kuat secara fisik, dikagumi banyak orang termasuk para wanita karena memang parasnya yang rupawan, baik hati, dan seorang penyelamat kaum yang lemah. Sementara itu Lois Lane, meskipun ia memerankan seorang reporter yang handal, gigih, dan cerdas. Namun tetap saja ia selalu tak berdaya melawan penjahat dan pada akhirnya selalu diselamatkan oleh sang Superman. Penggambaran seperti demikian selalu ditampilkan berulang-ulang tidak hanya di dalam film Superman saja, namun hampir di semua tayangan, baik tayangan di bioskop maupun di televisi. Terpaan tayangan media yang terus menerus disuguhkan kepada khalayak tentu akan memberikan sebuah pengaruh dan bertimbal balik. Khalayak media menjadi ‘memaklumkan’ nilai-nilai bentukan media tersebut, termasuk nilai-nilai patriarkal yang dipromosikan oleh media tersebut seolah sebagai nilai-nilai yang memiliki kebenaran mutlak. Media menetapkan ukuran-ukuran serta kualifikasi bagi nilai-nilai tertentu, misalnya, Superman adalah ukuran yang sempurna bagi laki-laki sejati, meskipun tidak seratus persen seperti Superman, paling tidak seorang laki-laki sejati harus memiliki beberapa kualifikasi yang dimiliki oleh Superman. Sementara itu, seorang perempuan akan dicintai dan disayangi jika memiliki karakteristik seperti Lois Lane atau Marie Jane-Watson (kekasih Spiderman) yang lemah lembut dan baik hati, pasif, dan tidak boleh lebih unggul dari sang laki-laki. Sebaliknya, jika ia tidak memiliki kualifikasi tersebut, atau malah cenderung berkebalikan, maka ia akan ‘menerima konsekuensi’ dari kualifikasi tersebut, misalnya, jika ada perempuan yang suka melawan hukum, bersuara lantang, tidak tunduk kepada laki-laki, serta pemberontak, maka secara otomatis ia akan mendapatkan julukan sebagai perempuan nakal, perempuan penggoda, dan dalam media pun juga akan digambarkan betapa masyarakat sangat membenci dan memusuhinya. Dan yang pasti perempuan seperti itu bukanlah perempuan idaman sang superhero. Hal ini bisa dilihat dari beberapa tokoh antagonis di beberapa fairy tales, misalnya ibu tiri Cinderella, nenek sihir dalam Snow White, dll.

Film (termasuk sinetron) ketika menampilkan sosok perempuan dalam media, maka yang terjadi adalah apa yang disebut dengan konotasi. Dasar dari konsep konotasi ini adalah mitos bahwa perempuan direpresentasikan sebagaimana ia direpresentasikan oleh kacamata laki-laki bukan sebagaimana adanya realitas yang sesungguhnya (Kaplan dalam Fatkhurohman). Artinya bahwa perempuan tidak (berhak) memiliki sudut pandang sendiri, ia tidak memiliki otoritas akan dirinya bahkan untuk menampilkan dirinya pun ia masih bergantung pada cara pandang laki-laki. Betapa dominasi laki-laki menjadi sangat superior dan pada akhirnya inilah dasar terjadinya ketimpangan jender. Dalam hal ini contoh yang paling konkret adalah penggambaran perempuan dalam iklan-iklan prodak kecantikan, misalnya saja iklan pencerah wajah Pond’s. Dalam iklan Pond’s selalu menampilkan perempuan-perempuan yang berusaha mempercantik dirinya, mulai dari mencerahkan kulit wajahnya sampai dengan upaya mengurangi tanda-tanda penuaan. Upaya ini dilakukan bukan karena memang ia sendiri yang menginginkan, tetapi lebih atas dasar mendapatkan cinta si laki-laki pujaannya. Dari sini sangat jelas bahwa betapa dominasi ideologi patriarkhi sangat kuat dan pervasive. Perempuan hanya menjadi korban dari keinginan dan alat untuk menyenangkan mata para kaum laki-laki.

Dari deskripsi diatas, media merupakan pemegang kunci dalam mempromosikan ideologi tayangannya. Bagaimana media memotret sebuah fenomena kemudian dikemas dan ditayangkan menjadi sebuah ‘realitas’ yang dinikmati oleh khalayak. Media sering disebut sebagai cermin (mirror) yang menggambarkan masyarakat. Sebagai cermin, media diharapkan hadir dengan kadar objektivitas dan faktualitas. Untuk itu media harus netral, tidak boleh bersikap dalam menghadapi fakta sosial. Artinya, media adalah institusi yang merdeka, bebas. Namun apakah media menjadi benar-benar bebas dari kepentingan tertentu. Kebebasan pers berdasarkan asas demokrasi yang menjadi acuan nilai bersama (shared value) di ruang publik (public sphere). Dalam sebuah ruang publik, tidak hanya ada pasar, namun juga merupakan ajang bagi aktivitas manusia dalam konteks politik, hukum, dan budaya. Ruang ini menyediakan fakta yang menjadi bahan informasi media, sekaligus menerima informasi tersebut (Siregar, 2006). Dengan kata lain konsep ruang publik disini dapat dianalogikan sebagai battlefield dari sebuah realitas yang ditampilkan, dari nilai-nilai yang dikonstruksikan, dan dari kepentingan-kepentingan yang dimunculkan. Namun demikian, media sebagai ruang bersama fitrahnya juga memperhatikan beberapa nilai-nilai yang tidak boleh lenyap ketika menjalankan fungsi imperatif maupun fungsi subjektifnya. Pertama, ruang kebebasan dan netralitas, artinya media merupakan tempat yang merdeka, tidak berpihak pada kepentingan apapun dan siapapun. Kemerdekaan dan netralitas media akan terlihat dari bagaimana media menampilkan sebuah tayangan dan reportase, misalnya. Kedua, rasionalitas dan kecerdasan, media tidak hanya menjalankan fungsinya sebagai penghibur saja, namun media juga harus mencerdaskan kehidupan bangsa dengan menampilkan tayangan-tayangan yang masuk akal dan mendidik, bukan malah menampilkan tontotan yang akan mendegradasi budaya ataupun mempromosikan nilai-nilai pemecah belah masyarakat. Ketiga, orientasi pada derajad kemanusiaan, perwujudannya adalah melalui kesadaran dan pengembangan wacana public yang bertujuan untuk memerangi konstruksi social yang menindas hak asasi manusia. Orientasi semacam ini hendaknya menjadi “kurikulum” dalam penumbuhan nilai warga (civic education), melalui berbagai institusi kultural seperti keluarga, pendidikan, dan keagamaan (Siregar, 2006).

Disisi lain, John Fiske menjelaskan bagaimana sebuah peristiwa menjadi sebuah “peristiwa televisi” apabila telah diencode oleh kode-kode sosial, dalam bukunya Television Culture, Fiske menjelaskan tiga tahapan yang mengkonstruksi sebuah peristiwa, pertama adalah realitas (reality) yang akan ditandakan (encoded) sebagai realitas, misalnya tampilan, pakaian, perilaku, gesture, dll. Jika dalam bahasa tulis berarti berupa transkrip wawancara, dokumen, dll.

Pada tahap kedua disebut representasi (representation). Realitas yang terencode harus ditampakkan pada technical codes seperti kamera, lighting, editing, musik dan sound. Dalam bahasa tulis ada kata, kalimat, proposisi, foto, grafik, dan sebagainya. Sedangkan alam bahasa gambar atau televisi ada kamera, tata cahaya, editing, musik, dan sebagainya. Elemen-elemen ini kemudian ditransmisikan ke dalam kode representasional yang dapat mengaktualisasikan antara lain karakter, narasi, action, dialog, setting, dan sebagainya. Ini sudah nampak sebagai realitas televisi. Tahap ketiga adalah ideologi (ideology). Semua elemen diorganisasikan dan dikategorikan dalam kode-kode ideologis, seperti patriakhi, individualisme, ras, kelas, materialisme, kapitalisme, dan sebagainya. Ketika kita melakukan representasi atas suatu realita, menurut Fiske, tidak dapat dihindari adanya kemungkinan memasukkan ideologi dalam konstruksi realitas.

Dengan demikian realitas yang diciptakan media adalah realitas simbolik hasil produk atau rekayasa para pengelola (redaksi, wartawan, produser, dan semua orang yang bekerja di media). Konstruksi makna yang lebih dahsyat terjadi pada beberapa kata lewat representasi. Dalam tahap representasi, media dapat dengan sangat leluasa membentuk, membangun, dan bahkan menciptakan realitas buatannya dengan memasukkan unsur-unsur kepentingannya, mulai dari kepentingan politik, ekonomi, sampai budaya yang seolah olah realitas yang mereka tampilkan adalah memang realitas sosial yang apa adanya. Representasi merupakan cara media menampilkan seseorang, kelompok atau gagasan atau pendapat tertentu (Siregar, 2006). Sebagai contoh adalah sinetron yang sekarang marak digemari, tayangan sineton menampilkan tokoh-tokoh protagonis yang selalu ‘menderita’, dan hampir kesemua pemeran protagonisnya adalah perempuan. Disini digambarkan tokoh protagonis ini selalu mendapatkan siksaan dari saudara tirinya, ibu mertuanya, bahkan perempuan lain yang juga menginginkan kekasihnya. Ia digambarkan sangat submissive dan tak berdaya, saking kelewat baik hatinya, ia selalu ‘mengalah’ meskipun ia disiksa baik secara fisik maupun verbal. Dalam beberapa sinetron, seorang ibu tiri juga digambarkan sangat berlebihan, misalnya memiliki sifat yang arogan, dominan, kejam, culas, dan provokatif. Sementara di sisi lain, sinetron juga menampilkan sosok laki-laki yang berwibawa, baik hati, penyayang, dan selalu melindungi si perempuan dari kekejaman ibu tirinya. Kualifikasi-kualifikasi semacam itu lazim kita jumpai dalam banyak sinetron Indonesia, bahkan sudah menjadi trademark. Jika diamati lebih jauh, hampir tidak ada dalam satu hari media televisi yang tidak menayangkan sinetron, mulai dari sinetron di pagi hari, menjelang siang, sore, sampai prime-time.

Contoh lainnya adalah program berita/reportase. Pemberitaan tentang kematian dan perkosaan kerap kali kita temukan pada tayangan berita criminal. Namun ternyata masing-masing stasiun televisi memiliki poin of view yang berbeda dalam mengemas dan menampilkan beritanya. “Kematian” adalah peristiwa yang aktual terjadi namun ternyata satu stasiun TV lebih menyukai pemakaian kata ‘pembunuhan’, bahkan ada juga yang menggunakan kata ‘terbunuh’ dari pada kata ‘meninggal dunia’ atau ‘wafat’. Pemilihan bahasa yang dipergunakan dalam merepresentasikan berita juga sangat mempengaruhi nilai rasa khalayak, bagaimana kahalayak mempersepsikan apa yang mereka dengar dan lihat. Sama halnya ketika memberitakan tentang kasus pemerkosaan, kata ‘digagahi’, ‘dicabuli’ sering kita dengar dari pembaca berita dan selalu diulang-ulang. Sangat jelas bahwa perempuan selalu menjadi korban dan menjadi manusia yang tidak berdaya. Jika kasus perkosaan tersebut telah sampai di media, maka ia akan dikorbankan dua kali. Selain sebagai korban perkosaan, ia juga menjadi korban pemberitaan media.

Konsep konstruksi realitas popular diperkenalkan oleh Peter L. Berger bersama Thomas Luckman (Baran, 1999). Mereka berpendapat bahwa proses sosial melalui tindakan dan interaksinya, dimana individu secara intens menciptakan suatu realitas yang dimiliki dan dialami bersama secara subjektif. Berger dan Luckman memisahkan pemahaman kenyatan dan pengetahuan. Realitas sebagai kualitas yang terdapat di dalam realitas-realitas, yang diakui memiliki keberadaan (being) yang tidak tergantung kepada kehendak sendiri. Isi media pada hakikatnya adalah hasil konstruksi realitas dengan bahasa sebagai perangkat dasarnya. Bahasa bukan saja sebagai alat mempresentasikan realitas namun juga mampu menentukan bentuk apa yang akan diwujudkan dalam realitas tersebut. Oleh karena itu, media memiliki andil yang sangat kuat untuk memberikan pengaruh bagi pembentukan makna dan gambaran yang dihasilkan dari realitas yang dikonstruksinya (Sobur, 2001). Demikian juga yang terjadi dalam media televisi di Indonesia, para pelaku media terlebih dahulu melakukan seleksi terhadap pesan yang akan mereka tampilkan. Dalam proses inilah pengaruh latar belakang dan kepentingan-kepentingan turut campur dalam mengkonstruksi realitas. Tindakan para pelaku media inilah yang nantinya akan memberikan pengaruh kuat terhadap pembentukan makna maupun citra suatu realitas. Media juga memainkan peran khusus dalam mempengaruhi atau mempertahankan suatu budaya tertentu melalui informasi yang diproduksinya (Sobur, 2001)

Jika dikaitkan dengan film Superman, iklan Pond’s, sinetron Indonesia, dan beberapa program berita kriminal yang telah diilustrasikan sebelumnya, maka sangat jelas bahwa televisi dan bioskop menjadi sebuah media yang memberikan informasi yang kepada khalayak dan berpengaruh secara massiv. Hal ini karena media tersebut menayangkan serta mempromosikan nilai-nilai tertentu, dalam hal ini ideologi patriarki yang merupakan pangkal dari ketidakseimbangan jender. Perbedaan Penggambaran dan pembentukan makna pada laki-laki dan perempuan yang sangat tidak adil ini mengakibatkan sebuah upaya pemarjinalan kaum perempuan. Akibatnya perempuan selalu diposisikan menjadi manusia kelas kedua, tertindas, dan menjadi korban. Media secara langsung juga berperan dalam mengkonstruksi sebuah peristiwa yang kemudian (seolah-olah) menjadi realitas social, padahal yang sebenarnya adalah realitas media itu sendiri. Lebih jauh lagi, pelestarian idologi ini semakin subur dikarenakan nilai-nilai patriarki tersebut telah terlembagakan dan sengaja dilembagakan mulai dari keluarga sampai dengan pemerintahan (negara).

Referensi:

Baran, Stanley J., Introduction to Mass Communication (Media Literacy and Culture; Mayfield

Publishing Company, 1999).

Fiske, John., Television Culture (London: Routledge, 2001)

Sobur, Alex, Analisis Teks Media (Bandung: Remaja Rosda Karya, 2001).

Siregar, Ashadi., Etika Komunikasi (Jogjakarta: Pustaka Book Publisher, 2006)

www.detik.com

Model Pengembangan Ekonomi Kreatif Indonesia “ The Triple Helix”

Model pengembangan ekonomi kreatif yang dikembangkan untuk Indonesia berupa bangunan yang terdiri dari komponen pondasi, 5 pilar, dan atap yang saling menguatkan sesuai dengan fungsinya masing-masing. Penjelasan komponen-komponen bangunan ekonomi kreatif adalah sebagai berikut:

1. PONDASI:

People (Sumber Daya Insani), aset utama dari industri kreatif yang menjadi ciri hampir semua subsektor industri kreatif.

2. LIMA PILAR UTAMA yang harus diperkuat dalam mengembangkan industri kreatif adalah:

1. Industry (Industri) yaitu kumpulan dari perusahaan yang bergerak di dalam bidang industri kreatif

2. Technology (Teknologi) yaitu enabler untuk mewujudkan kreativitas individu dalam bentuk karya nyata.

3. Resources (Sumber Daya) yaitu input selain kreativitas dan pengetahuan individu yang dibutuhkan dalam proses kreatif, misal: sumber daya alam, lahan

4. Institution (Institusi) yaitu tatanan sosial (norma, nilai, dan hukum) yang mengatur interaksi antara pelaku perekonomian khususnya di bidang industri kreatif

5. Financial Intermediary yaitu lembaga penyalur keuangan

3. ATAP:

Bangunan ekonomi kreatif ini dipayungi oleh interaksi triple helix yang terdiri dari Intellectuals (Intelektual), Business (Bisnis), dan Government (Pemerintah) sebagai para aktor utama penggerak industri kreatif.

1. Intellectual, kaum intelektual yang berada pada institusi pendidikan formal, informal dan non formal yang berperan sebagai pendorong lahirnya ilmu dan ide yang merupakan sumber kreativitas dan lahirnya potensi kreativitas insan Indonesia.

2. Business, pelaku usaha yang mampu mentransformasi kreativitas menjadi bernilai ekonomis

3. Government, pemerintah selaku fasilitator dan regulator agar industri kreatif dapat tumbuh dan berkembang.

Dalam ekonomi kreatif, sistem “Triple helix” menjadi payung yang menghubungkan antara Cendekiawan (Intellectuals), Bisnis (Business), dan Pemerintah (Government) dalam kerangka bangunan ekonomi kreatif. Di mana ketiga helix tersebut merupakan aktor utama penggerak lahirnya kreativitas, ide, ilmu pengetahuan, dan teknologi yang vital bagi tumbuhnya industri kreatif. Hubungan yang erat, saling menunjang, dan bersimbiosis mutualisme antara ke-3 aktor tersebut dalam kaitannya dengan landasan dan pilar-pilar model ekonomi kreatif akan menentukan pengembangan ekonomi kreatif yang kokoh dan berkesinambungan.

Departemen Perdagangan menggunakan model pengembangan ekonomi kreatif sebagai model acuan yang akan membawa industri kreatif dari titik awal (origin point) menuju tercapainya visi dan misi industri kreatif Indonesia 2030 (destination point). Faktor-faktor yang digunakan membantu menumbuhkan industri kreatif antara lain adalah teknologi, sumber daya, atau resources, dan institution atau lembaga.

Analisis Triple helix pertama kali diungkapkan oleh Henry Etzkowitz dan Loet Leydesdorff, dan kemudian diulas lebih lanjut oleh Gibbons et al (1994) dalam The New Production of Knowledge dan Nowotny et al (2001) dalam Re-Thinking Science. Konsep Triple Helix selain digunakan untuk menjelaskan hubungan ketiga elemen (business, intellectuals, and government), model ini juga dapat memberikan gambaran mengenai koordinat dari simbiosis (irisan) dari masing-masing elemen. Dalam Triple Helix, masing –masing elemen merupakan entitas yang berdiri sendiri, memiliki perannya masing-masing meskipun mereka bersinergi dan mendukung satu dengan yang lainnya atau yang disebut dengan “Reflexivity”.

Koordinat simbiosis dapat diartikan sebagai stabilisasi simbiotik (symbiotic stabilization), kerjasama yang sinergi (synergistic cooperation), saling menguntungkan (mutual benefits), berkoordinasi dalam kegiatan dan pengembangan (coordinate activation and development).

Yinghui Sui dalam jurnal penelitian Meiqing juga menjelaskan bahwa creative city adalah sebuah integrasi inovasi dari sebuah kota dimana menjangkau seluruh dimensi, melibatkan semua warga, dan semua proses saling terhubung satu dengan yang lainnya.

Lebih jauh lagi Sui membagi Creative City menjadi dua konsentrasi, yang pertama adalah sebagai sistem inovasi (innovation systems) yang meliputi:

1. Inovasi teknologi (technological innovation)

2. Inovasi organisasi (organisational innovation)

3. Inovasi institusi (institusional innovation)

4. Inovasi finansial (financial innovation)

5. Inovasi marketing (marketing innovation)

Kedua, Creative City sebagai kota yang mampu menyesuaikan diri (urban conformity), yang didukung oleh proses ilmu pengetahuan dan teknologi (scientific and technological process), didominasi oleh inovasi yang mandiri (independent innovation), dan dilatarbelakangi oleh budaya inovasi (innovation culture). Creative City merupakan sebuah sistem ekonomi yang dapat berkembang seperti juga halnya sistem sosial, dimana didalamnya terdapat social capital, yaitu relasi jaringan yang terbentuk dari kombinasi berbagai aktor yang berada di dalamnya (Meiqing).

John Hartley dalam bukunya yang berjudul Creative Industries, memberikan sebuah definisi industri kreatif tidak hanya melihat dari sektor-sektor pekerjaan yang dapat digarap, namun lebih pada hubungan antar elemen yang membangun sebuah industri kreatif. Industri kreatif merupakan sebuah rantai yang saling mengikat antara elemen yang satu dengan yang lainnya. Hartley juga menyinggung tentang pemanfaatan teknologi dan sisi ekonomisnya.

The idea of the creative industries seeks to descibe the conceptual and practical convergence of the creative arts (individual talent) with Cultural Industries (mass scale), and in the context of new media technologies (ICTs) within a new knowlegde economy, for the use of newly interactive citizen-consumers.

Pada dasarnya ide industri kreatif sendiri muncul dari konseptualisasi “creative arts” dan “cultural industries”. Ada beberapa hal yang harus diperhatikan dalam membahas dan menganalisa permasalahan industri kreatif. Poin-poin tersebut berada dalam satu kerangka pemikiran yang dapat dijadikan batasan dan ukuran. Secara garis besar, kerangka pemikiran Hartley dapat disimplifikasi menjadi 4 poin penting. Pertama industri, terkait dengan perputaran perekonomian dan transaksi pasar. Kedua, organisasi, berhubungan dengan komunikasi dan kerjasama antar instansi/lembaga (pemerintah, swasta, dan komunitas) dan kebijakan. Ketiga, database dan angka statistik. Statistik adalah adalah alat ukur untuk melihat sejauhmana progress sebuah program dilaksanakan. Ini juga dipakai sebagai acuan untuk membuat dasar kebijakan dan konsep program selanjutnya. Keempat adalah individu pelaku industri kreatif, baik itu kreatornya (produsen) maupun user-nya (konsumen).

Lebih jauh, Hartley juga menyinggung tentang kebijakan (policy) yang berkaitan dengan peran pemerintah dalam melindungi dan sebagai wasit dalam perputaran industri kreatif. Kebijakan ini pula yang menjadi pendukung dalam pengembangan industri kreatif lokal untuk memperoleh keuntungan ekonomis.

Dalam konteks profesionalisasi kebijakan budaya (Cultural Policy Professionalisation), terdapat empat poin utama yang menjadi konsep dalam melihat bagaimana penerapan kebijakan bagi pengembangan industri kreatif, yaitu:

1. Sosialisasi reguler mengenai kebijakan budaya kepada masyarakat

Secara sederhana, konsep ini menjelaskan tentang bagaimana membangun komunikasi yang efektif dan transparansi informasi terkait kebijakan, aturan main, dan job description masing-masing sektor. Komunikasi ini lebih kepada pembangunan jaringan (networking) dan kemitraan (partnership) antara pemerintah sebagai pemangku kebijakan, swasta (pebisnis), dan kreator.

2. Sektoralisasi

Untuk memajukan dan memberdayakan industri kreatif, sebagus apapun konsepnya jika penataan dan manajerial sumber daya alam dan sumber daya manusianya belum rapi, maka konsep tersebut tidak akan terlaksana dengan optimal. Sektoralisasi terkait dengan pembangunan infrastruktur dan pengkategorian sektor-sektor dalam industri kreatif. Secara konkret, sektoralisasi disini lebih kepada menampilkan industri kreatif ini secara lebih individual. Artinya pemasaran industri kreatif tidak mengadopsi konsep mall, tetapi menggunakan konsep kios-kios yang berdiri sendiri. Secara terminologi disebut kiosk-isation.

3. Fokus pada Prodak Unggulan

Memenangkan sebuah kompetisi dalam konsep city branding, sebuah kota harus memiliki ciri khas dan keunggulan yang tidak dimiliki oleh kota/wilayah lainnya. Dengan keunggulan tersebut, sebuah kota dapat melakukan branding dengan menjual keunggulan dan keistimewaannya menjadi sebuah daya tarik atau brand image. Misalnya kota Turin, sebelah utara kota Italia, yang mem-branding dengan prodak-prodak unggulannya, misalnya dengan ‘menjual’ kemegahan dan kemewahan Turin City Hall yang berada di tengah-tengah kota, atau selalu menampilkan logo “motorola” sebagai salah satu prodak kebanggan kota Turin untuk mengangkat citra, sehingga mendapatkan brand positioning.

4. Pendekatan Budaya.

Belajar dari beberapa kota yang berhasil dalam program city branding-nya, kota-kota tersebut memulai penerapan kebijakan dan program dengan pendekatan budaya lokal. Pendekatan dengan menggunakan budaya lokal diharapkan konsep/kebijakan dapat lebih mudah diterima oleh masyarakat kota tersebut. Pada akhirnya, partisipasi dan dukungan juga dapat diperoleh dari semua pihak. Lebih jauh lagi, pendekatan budaya dimaksudkan agar masyarakat kota tersebut dapat ikut memiliki budaya lokal mereka dan tidak mudah terombang-ambing oleh budaya luar (asing).

Selanjutnya, jika dikaitkan dengan strategi program, Milena Dragicevic Sesic berpendapat bahwa Cultural Policy Professionalization dapat memberikan sebuah pendekatan dalam mengoptimalisasikan potensi social capital dalam sebuah kota, antara lain:

1. 1. Berorientasi pada permintaan pasar (orientation to market demands)

2. 2. Melihat pada scoop yang lebih besar (seeing a global pictures)

3. 3. Mengikuti kecenderungan/tren (following trends)

4. 4. Memiliki inisiatif menciptakan konsep baru (initiating new concepts)

Berpetualang dalam The Tourist


Venezia! Kota air yang sangat romantis, dengan bangunan-bangunan kuno dan gondolanya. Namun apa jadinya jika kamu ternyata menjadi buronan dan setiap hari terus-terusan dikejar-kejar polisi. Bayangan berdarmawisata plus (mungkin) berbulan madu lenyaplah sudah. Tidak bagi agen Elise (Jolie), meskipun ia menjadi target pembunuhan, ternyata ia masih saja bisa berlenggang dan menikmati fasilitas bintang lima dan pesta dansa mewah yang pada akhirnya menemukan cinta sejatinya di Venezia!

Alkisah seorang bankir yang membawa kabur uang milyaran dolar dari seorang gembong mafia Spanyol. Kemudian ia merubah wajah dan tubuhnya dengan melakukan operasi plastic. Buronan ini dikenal sebagai Alexander Pierce. Perubahan identitas ini membuat polisi Inggris maupun gembong mafia tidak lagi mengenali si Pierce ini. Untuk menyelamatkan uang rampokannya, ia bekerjasama dengan kekasihnya, Elise. Malangnya Elise pun tidak lagi mengenali sosok Pierce yang baru. Maka Pierce pun membuat sebuah scenario dan ‘perintah’ jika Elise ingin bertemu dengannya dengan mengirimkan sepucuk surat. Suatu ketika, saat perjalanan menuju Venezia, Elise bertemu dengan seorang Pelancong bernama Frank Tupello (Depp), seorang guru matematika dari Wisconsin. Dari sinilah kisah kejar-kejaran ini berlangsung. Frank yang polos dan tolol ini pun dijadikan bulan-bulanan karena dianggap sebagai Pierce. Penasaran siapakah Alex Pierce sebenarnya?

Untuk film komedi-action-romantis, film ini lumayan cukup menghibur. Namun kesampingkan harapanmu untuk melihat bagaimana Jolie dan Depp melakukan aksi bela diri seperti di Tomb Raider ataupun di film Pirates of Carribean, karena produser mungkin akan berpikir seribu kali untuk memporak-porandakan Venezia sebagai property syuting ;p. Enjoy the trip!