kejujuran (part I)


Seorang sahabat, suatu ketika mengirim sebuah sms yang menurut saya sangat inspiring. ketika itu saya merasa menjadi sangat naif tentang harga sebuah kejujuran. betapa nilai kejujuran menjadi artefak dan kamuflase yang dipakai untuk mengaburkan kemunafikan. saya amat lelah.

"musuh terbesar bangsa kita adalah lupa pada kejujuran, jangan kaget, kadang kala saya juga putus asa karena untuk menjunjung kejujuran rasanya berat dan pahit. tapi saya tidak perlu mengeluh, hadapi saja dan sandarkan semua kemungkinan pada tangan Tuhan. di situlah keberanian saya berlipat lipat"

April 8th 2010 [19:11]

Mengapa Berteriak?



Suatu hari sang guru bertanya kepada murid-muridnya;
"Mengapa ketika seseorang sedang dalam keadaan marah, ia akan berbicara dengan suara kuat atau berteriak?"

Seorang murid setelah berpikir cukup lama mengangkat tangan dan menjawab; "Karena saat seperti itu ia telah kehilangan kesabaran, karena itu ia lalu berteriak."
"Tapi..." sang guru balik bertanya, "lawan bicaranya justru berada disampingnya. Mengapa harus berteriak? Apakah ia tak dapat berbicara secara halus?"

Hampir semua murid memberikan sejumlah alasan yang dikira benar me
nurut pertimbangan mereka. Namun tak satupun jawaban yang memuaskan.


Sang guru lalu berkata;

"Ketika dua orang sedang berada dalam situasi kemarahan, jarak antara ke dua hati mereka menjadi amat jauh walau secara fisik mereka begitu dekat. Karena itu, untuk mencapai jarak yang demikian, mereka harus berteriak. Namun anehnya, semakin keras mereka berteriak, semakin pula mereka menjadi marah dan dengan sendirinya jarak hati yang ada di antara keduanya pun menjadi lebih jauh lagi. Karena itu mereka terpaksa berteriak lebih keras lagi."

Sang guru masih melanjutkan;

"Sebaliknya, apa yang terjadi ketika dua orang saling jatuh cinta?

Mereka tak hanya tidak berteriak, namun ketika mereka berbicara suara yang keluar dari mulut mereka begitu halus dan kecil. Sehalus apapun, keduanya bisa mendengarkannya dengan begitu jelas. Mengapa demikian?" Sang guru bertanya sambil memperhatikan para muridnya. Mereka nampak berpikir amat dalam namun tak satupun berani memberikan
jawaban.

"Karena hati mereka begitu dekat, hati mereka tak berjarak. Pada akhirnya sepatah katapun tak perlu diucapkan. Sebuah pandangan mata saja amatlah cukup membuat mereka memahami apa yang ingin mereka sampaikan."
Sang guru masih melanjutkan; "Ketika anda sedang dilanda kemarahan, janganlah hatimu menciptakan jarak. Lebih lagi hendaknya kamu tidak mengucapkan kata yang mendatangkan jarak di antara kamu. Mungkin di saat seperti itu, TAK mengucapkan kata-kata mungkin merupakan cara yang BIJAKSANA. Karena waktu akan membantu anda."

sumber: Unknown

girl's talk


wednesday @ my room, restless, and cold

me [01:41:42] : hun, suddenly i miss him so much

dee [01:43:17] : just cry...let your self cry...

me [01:44:37] : then i just realized that it might be a silly thing...you know, i definitley cannot think about anything at all...or whether it is a sort of my stupid emotion or merely unexplainable-repressed- feeling :((

me [01:45:09] : sorry for waking you up...

dee [01:46:28] : i know that feeling very well, trust me, it hit me an hour ago. and i just cried. cry me a river. it drove me insane as an addict withdrew for drugs... that is why i called it sakaw

dee [01:46:57] : it's okay...love to make you better

me [01:49:34] : i used to it, hun....i am totally giving up with this helpless addiction! just gimme more drugs, i have to burst my dosage up!

dee [01:52:10] : be sincere, hun...do not touch anything about it....i know it just a kind a damn superficial theory, hahahaha... it means that you are asking to the wrong person...me, my self has not done it yet...just trying to forget...

me [01:55:37] : almost 2 years! it seems to me that easier to memorize his cell phone number without thinking even if i have deleted it for thousand times. it comes to me and never seem to fading away from my brain...

dee [01:58:28] : do you still remember your 'nemo'? how many year? mine, 7 years addicted! i do not think that it is a brain disturbance or something, it is fine hun...you can deal with that. loving someone helplessly...foolishly...it supposes that you would taste it by yourself...by your own heart...

me [02:01:12] : hun, you are the most stupid person that i ever knew! just like me...wkwkwk

dee [02:04:25] : enjoy the sakaw, hun. it is like seeing your bloods out of your body, drop by drop...hurt, yet satisfying

me [02:08:52] : yerp, unconsciously i've been keeping this bloody pain for long years, then, i do really love to be tortured... sleep tight, hun... see ya in dream :p

dee [02:09:28] : see ya :)


... yet, i do not really figure out what kind of pain within...what kind of bloody feelings that make us love to be hurt anyway...be tough, darla...
you will find yourself laughing and smilling when you remember everything we shared someday...


Surat untuk Firman


Surat Untuk Firman

Kawan, kita sebaya. Hanya bulan yang membedakan usia. Kita tumbuh di tengah sebuah generasi dimana tawa bersama itu sangat langka. Kaki kita menapaki jalan panjang dengan langkah payah menyeret sejuta beban yang seringkali bukan urusan kita. Kita disibukkan dengan beragam masalah yang sialnya juga bukan urusan kita. Kita adalah anak-anak muda yang dipaksa tua oleh televisi yang tiada henti mengabarkan kebencian. Sementara adik-adik kita tidak tumbuh sebagaimana mestinya, narkoba politik uang membunuh nurani mereka. Orang tua, pendahulu kita dan mereka yang memegang tampuk kekuasaan adalah generasi gagal. Suatu generasi yang hidup dalam bayang-bayang rencana yang mereka khianati sendiri. Kawan, akankah kita berhenti lantas mengorbankan diri kita untuk menjadi seperti mereka?

Di negeri permai ini, cinta hanyalah kata-kata sementara benci menjadi kenyataan. Kita tidak pernah mencintai apapun yang kita lakukan, kita hanya ingin mendapatkan hasilnya dengan cepat. Kita tidak mensyukuri berkah yang kita dapatkan, kita hanya ingin menghabiskannya. Kita enggan berbagi kebahagiaan, sebab kemalangan orang lain adalah sumber utama kebahagiaan kita. Kawan, inilah kenyataan memilukan yang kita hadapi, karena kita hidup tanpa cinta maka bahagia bersama menjadi langka. Bayangkan adik-adik kita, lupakan mereka yang tua, bagaimana mereka bisa tumbuh dalam keadaan demikian. Kawan, cinta adalah persoalan kegemaran. Cinta juga masalah prinsip. Bila kau mencintai sesuatu maka kau tidak akan peduli dengan yang lainnya. Tidak kepada poster dan umbul-umbul, tidak kepada para kriminal yang suka mencuci muka apalagi kepada kuli kamera yang menimbulkan kolera. Cinta adalah kesungguhan yang tidak dibatasi oleh menang dan kalah.

Hari-hari belakangan ini keadaan tampak semakin tidak menentu. Keramaian puluhan ribu orang antre tidak mendapatkan tiket. Jutaan orang lantang bersuara demi sepakbola. Segelintir elit menyiapkan rencana jahat untuk menghancurkan kegembiraan rakyat. Kakimu, kawan, telah memberi makna solidaritas. Gocekanmu kawan, telah mengundang tarian massal tanpa saweran. Terobosanmu, kawan, menghidupkan harapan kepada adik-adik kita bahwa masa depan itu masih ada. Tendanganmu kawan, membuat orang-orang percaya bahwa kata "bisa" belum punah dari kehidupan kita. Tetapi inilah buruknya hidup di tengah bangsa yang frustasi, semua beban diletakkan ke pundakmu. Seragammu hendak digunakan untuk mencuci dosa politik. Kegembiraanmu hendak dipunahkan oleh iming-iming bonus dan hadiah. Di Bukit Jalil kemarin, ada yang mengatakan kau terkapar, tetapi aku percaya kau tengah belajar. Di Senayan esok, mereka bilang kau akan membalas, tetapi aku berharap kau cukup bermain dengan gembira.

Firman Utina, kapten tim nasional sepak bola Indonesia, bermain bola lah dan tidak usah memikirkan apa-apa lagi. Sepak bola tidak ada urusannya dengan garuda di dadamu, sebab simbol hanya akan menggerus kegembiraan. Sepak bola tidak urusannya dengan harga diri bangsa, sebab harga diri tumbuh dari sikap dan bukan harapan. Di lapangan kau tidak mewakili siapa-siapa, kau memperjuangkan kegembiraanmu sendiri. Di pinggir lapangan, kau tidak perlu menoleh siapa-siapa, kecuali Tuan Riedl yang percaya sepak bola bukan dagangan para pecundang. Berlarilah Firman, Okto, Ridwan dan Arif, seolah-olah kalian adalah kanak-kanak yang tidak mengerti urusan orang dewasa. Berjibakulah Maman, Hamzah, Zulkifli dan Nasuha seolah-olah kalian mempertahankan kegembiraan yang hendak direnggut lawan. Tenanglah Markus, gawang bukan semata-mata persoalan kebobolan tetapi masalah kegembiraan membuyarkan impian lawan. Gonzales dan Irvan, bersikaplah layaknya orang asing yang memberikan contoh kepada bangsa yang miskin teladan.

Kawan, aku berbicara tidak mewakili siapa-siapa. Ini hanyalah surat dari seorang pengolah kata kepada seorang penggocek bola. Sejujurnya, kami tidak mengharapkan Piala darimu. Kami hanya menginginkan kegembiraan bersama dimana tawa seorang tukang becak sama bahagianya dengan tawa seorang pemimpin Negara. Tidak, kami tidak butuh piala, bermainlah dengan gembira sebagaimana biasanya. Biarkan bola mengalir, menarilah kawan, urusan gol seringkali masalah keberuntungan. Esok di Senayan, kabarkan kepada seluruh bangsa bahwa kebahagiaan bukan urusan menang dan kalah. Tetapi kebahagiaan bersumber pada cinta dan solidaritas. Berjuanglah layaknya seorang laki-laki, kawan. Adik-adik kita akan menjadikan kalian teladan! (fay/asy)

Menyederhanakan dengan Kasih (part II)


Pernahkah terpikir bahwa waktu yang kita lewati saat ini adalah waktu-waktu yang terakhir bagi kita? Pernahkah terpikir bahwa udara dan oksigen yang kita hirup tidak lagi dapat kita nikmati lagi? Atau, pernahkah terbayang bahwa wajah-wajah yang kita saksikan detik ini adalah wajah-wajah terakhir yang mampu kita lihat?

Saya ingat akan sebuah film Hollywood, tapi saya lupa judulnya, yang menceritakan tentang tragedi runtuhnya Pentagon pada 11 September beberapa tahun yang lalu. Sejujurnya saya tidak terlalu antusias dengan film-film Hollywood, karena banyak hal yang dipelintir kesana kemari. Dalam hal ini saya tidak sedang iseng mengomentari film-film Hollywood, namun ada spirit yang mengingatkan saya pada satu hal, yaitu bahasa kasih.

Akhir-akhir ini saya sangat menggemari terminology tersebut. Entahlah. Mungkin karena juga tengah mengalami sebuah proses yang masih belum tuntas, di tengah perjalanan Sang Sutradara mengajari saya bagaiman berbahasa dengan kasih. Walaupun saya menyari bahwa saya pun saat ini juga masih terbata-bata mengeja aksara-Nya satu demi satu.

Bersyukur saya berproses dari lingkungan dan bergaul dengan orang-orang yang sangat luar biasa, dari berbagai latar belakang, profesi, kepentingan, kasta, dan keyakinan. Mengenal mereka adalah sebuah berkah yang patut saya syukuri, karena saya percaya bahwa tidak setiap orang memiliki kesempatan seperti yang saya miliki. Maaf, terlepas dari kesombongan saya sebagai manusia biasa, namun itu benar adanya.

Pada awal perkuliahan, sekitar tahun 2002, saya mengenal teman-teman yang memiliki adiksi terhadap drugs, bagaimana mereka melepaskan diri dari belenggu ketagihan heroin, serta bertahan dengan pemulihannya. Saya mulai mengikuti perjalanan dan kehidupan mereka lebih dalam, memahami permasalahan mereka lebih jauh. Sampai akhirnya saya dilibatkan dalam sebuah komunitas pecandu drugs dan dunia adiksi. Bersyukur sekali, saya masih diberikan kekuatan iman dan keyakinan sehingga saya masih terlindung dari pengaruh negative dan keinginan untuk ikut mencoba drugs. Namun, yang ajaib dan sampai sekarang saya pikirkan adalah, teman-teman saya yang addicted tidak pernah sekalipun mempengaruhi saya untuk menggunakan drugs, walaupun itu hanya bercanda. Mungkin itu yang membuat saya betah bergaul dengan mereka sampai dengan akhir tahun 2004. Entahlah, yang saya rasakan saat itu adalah mereka begitu sangat menyayangi dan menjaga saya.

Tidak cukup sampai disana, teman-teman juga kerap mengundang dan mengajak saya untuk bergabung dalam sebuah private meeting, yang mereka beri nama Narcotics Anonymous (NA). Adalah sebuah support group yang diadakan setiap 2 kali seminggu, selasa dan jumat malam. Dalam meeting tersebut, mereka berkumpul dan sharing, curhat, dan saling menguatkan satu sama lain. Banyak sekali hal yang saya pelajari dan saya dapatkan dari NA, meskipun saya bukan seorang addict, tapi saya juga ikut berproses di dalamnya. Salah satunya adalah belajar ‘membaca’ bahasa kasih.

Tidak ada kasta disana, tidak ada diskriminasi, pembedaan warna kulit, kepentingan, dan keyakinan. Yang ada hanya satu spirit, yaitu pemulihan. Memahami dan mendekatkan diri kepada Kekuatan Yang Lebih Besar dari Diri Kita dengan keyakinan kita masing-masing. NA sangat lekat dengan kebersamaan, persaudaraan, dimana kita dapat saling mensupport satu sama lain. Ada spirit kekeluargaan dan pendampingan juga. Dapat dibayangkan, NA seperti sebuah spiritual meeting yang sangat khidmat. Saya juga mulai memahami bahwa teman-teman saya juga manusia yang juga ingin ‘hidup normal’ terlepas dari kesalahan dan khilaf yang mereka perbuat, namun saya cukup menghargai kerja keras dan usaha mereka untuk sembuh. Dari sana juga saya juga lebih memahami bahwa seorang addict terkadang bukan sebuah pilihan yang disengaja. Banyak hal yang melatarbelakangi. Kita tidak dapat menghakimi bahwa pengguna narkoba adalah sebuah kesalahan tunggal.

NA mengenalkan bahwa setiap orang berhak mendapatkan kasih sayang tidak peduli apakah dia Islam, bersalib, ataupun tidak bertuhan. Yang saya tahu, dan yang saya pahami bahwa kasih itu luas, kasih itu memberi, dan kasih itu damai. Sejujurnya saya bukan penganut multikulturalisme dan bukan pula seorang sekuleris. Saya masih berdiri teguh pada pijakan aqidah saya, karena bagaimanapun saya tetap akan memandang dari kacamata sebagai seorang muslimah. Walaupun tidak dapat saya pungkiri, ilmu agama saya masih sangat dangkal.

Masih berbicara tentang kasih, suatu ketika seorang teman saya relapse setelah sekian waktu abstinen. Ia terjerumus lagi pada adiksinya. Sering kali ia melakukan hal-hal bodoh yang cenderung merugikannya, bahkan merugikan keluarga dan orang lain. Sangat menyusahkan dan merepotkan memang. Namun, saya cukup surprise dengan upaya teman-teman saya di NA, mereka tetap mendampingi dan mensupport dia untuk dapat pulih. Membantunya untuk mendapatkan keyakinan spiritualnya, disamping juga membantunya untuk mendapatkan perawatan secara medis medis dan rehabilitasi. Jika dipikir secara sederhana, ngapain juga saya peduli dengan masalah mereka, mau-maunya repot dan pusing memikirkan jalan keluarnya, peduli amat dengan mereka yang menggunakan drugs, karena saya juga punya masalah dan tujuan hidup yang lebih worthed. Ternyata saya bukan termasuk orang yang tidak bisa tidak peduli dengan keadaan yang ada di depan mata saya. Saya hanya melihat: yang di sekeliling saya adalah manusia ciptaan Alloh. Dan dalam menciptakan ciptaanNya, Alloh tidak diskriminatif. Alloh berbicara dengan bahasa kasihnya pada semua ciptaanNya. Itu saja yang saya pahami. Sesederhana itu saya membaca aksara Alloh yang Ia tampakkan pada orang-orang di sekitar saya. Jadi alangkah kerdil dan congkaknya saya jika saya bersikap diskriminatif hanya sekedar mengungkapkan empati dan kepedulian saya. Ketika itu yang ada di benak saya adalah, bagaimana hidup saya dan diri saya berguna dan bermanfaat bagi orang-orang sekitar saya, teman-teman yang membutuhkan. Saudara-saudara yang saya sayangi. Saya tidak berduit, dan saya tidak memiliki kekuatan apapun untuk merubah keadaan. Yang saya mampu berikan saat itu hanya dukungan, semangat, dan pertemanan yang hangat. Dan sebuah keluarga. Oleh karena itu, saya tidak mau menyusahkan diri dengan kotak-kotak dan batasaan yang justru membuat pandangan kita jadi terbatasi dan terhalang. Saya hanya ingin melihat dan memahami realitas secara utuh dan tidak terbelah. Karena kasih itu tidak diskriminatif.

Itu definisi kasih menurut saya.

[Cont’d]


Dedicated to: K’ Bayu, K’ Hari, K’ Sinyo, K’ Wishnu, K’Bonex, K’ Risky (R.I.P), Maknyak Lia, and others…wherever you are. I love you all Guyz and God bless you.. J “Just for Today”

Cinta dan Kereta


Jangan berlalu, sayang

Tunggu aku

Persimpangan hanya membuatmu meragu

Hentikan langkahmu sebentar saja dan palingkan wajahmu

Biar kulihat lagi garis lengkung bibirmu

Menatap lagi mata beningmu yang mulai berkaca

Itu yang selalu kurindukan dalam setiap perjalanan menuju kamu

Malam ini aku hanya melihat rambutmu tergerai tersapu angin sore

Masih di sebuah persimpangan yang sama

Kamu bilang bahwa kamu tak lagi memiliki waktu untuk menunggu keretaku

Dan aku bilang memang cinta tidak dapat menunggu

Cinta bukan kereta, sayang

Cinta tidak memiliki stasiun

Ia pun tidak terjadwal

Tidak ada kasta

Namun cinta memiliki jalannya sendiri

Walaupun tidak seperti rel

Cinta juga dapat membunuh

Menubrukmu, remuk jika kamu tidak waspada dan bijak melangkah

Karena, katanya cinta itu buta




Paksi’s writing (November Rain)

On the Redlines and staring at the brighter you.

dekap aku saat gerimis tiba


tik... tak... tik... tak....

masih kurasakan tanganmu menyentuh wajahku
dan masih kuingat nafasmu membelaiku dalam diam
hangat
mengalirkan keteduhan
kedamaian yang belum pernah kurasakan sebelumnya

aku aman dalam tatapmu
aku diam dalam dekapmu saat gerimis tiba
sore ini

tiada tuntutan lain selain hasrat berada di dekatmu
menemaniku menjemput senja, memotret hujan, dan mencium pelangi
tiada doa terkhusyuk yang kupanjatkan selain selalu ada dalam pandanganmu
menjadi yang terindah

sunyi dan detakan waktu
serasa lekang dalam setiap tetesan air langit yang membasuh mesra
aku dan kamu telah merapat, memagut setiap sunyi dan kegelapan
menjalin dan menyatu haru

dekap aku saat gerimis tiba
karena aku dahaga
lindungi aku saat badai dan halilintar tak bersahabat
karena aku tak ingin sekarat
cium aku saat di dunia ini tak lagi ada cinta
aku ingin kamu ada



Grahapena dan Gerimis di sore hari menjelang pulang
Como vai, querido?